RSS

Hai, Kau...

Saat dulu kita sering berjumpa, percakapan ratusan menit sudah menjadi hal biasa. Hingar bingar tawa, lantang menggema menghiasi kisah kita yang entah dimulai dari mana.

Darimu aku sedikit banyak belajar, arti dari menerima. Kita bukanlah manusia tanpa celah. Selalu ada yang menjadi topik perdebatan kita. Aku dengan prinsipku, kamu dengan pola pikirmu. Tak jarang kita berada di kutub berbeda.

Hai, Kau...
Tuhan memang tak suka kita berandai-andai. Tapi jika boleh kupinta satu hal padaNya, aku ingin memelukmu kadangkala. Dimana kata-kata dan keberadaan adalah senjataku saat kita masih bersama. Jarak merubah segalanya. Aku yang hanya bisa memanggilmu sebatas tarian jemari, tak bisa lagi mendengar dengan leluasa isi hati.

Hai, Kau...
Aku menyadari, hidup itu dinamis. Kalau kamu ingin menangis, silahkan ambil jatah isak tangis. Karena aku tau, salah satu hal melegakan yang bisa dilakukan sendirian adalah menangis.

Rumah Dengar

Aku ingin membangun sebuah rumah untukmu. Tak terlalu besar, tapi kuharap kamu nyaman singgah di dalamnya. Tak terlalu mewah, tapi kuharap rumah ini yang pertama kamu ingat ketika kamu merasa lelah.

Aku ingin menyediakanmu sebuah tempat, dimana kamu bebas bercerita apa saja. Apa saja. Termasuk khayalan tak masuk akalmu atau beban yang kamu pikir tak ada orang yang tau rasanya jadi sepertimu.

Kamu tak perlu takut bercerita ini itu karena aku hanya akan menjawab jika kamu tanya saja. Kamu tak perlu takut aku akan berpikir macam-macam, karena aku sudah mengosongkan segala prasangka dari otakku.

Jika kebanyakan orang ingin menceritakan dirinya, aku siap jadi pendengarnya. Berjam-jam, berhari-hari, berbulan-bulan, selama kamu mau.

Aku tau, tiada lebih berharga ketika sebuah cerita benar-benar didengar, bukan dinilai dan dikomentari. Aku tau, perasaan lega ketika semua kosakata yang menghimpit dada perlahan-lahan dikeluarkan. Aku tau, perasaan kecewa ketika sebuah cerita terabaikan karena segenggam ponsel.

Cinta Sebatas Mata

Kamu tahu rasanya? Jatuh cinta sebatas mata? Jatuh cinta sebatas pandangan tanpa bisa berkata, aku cinta. Aku tak pernah sesuka ini. Setiap bertemu, lidah terasa keluh dan hanya bisa memandang wajahmu dari jauh. Yang bisa kulakukan setiap hari adalah dirundung pilu memikirkan bagaimana caranya mengatakan padamu.

Sampai pada akhirnya aku tiba di hari ini. Hari yang tak pernah aku bayangkan seumur hidupku, hari pernikahanmu. Hari yang membuatku berpikir seribu kali untuk memenuhi undanganmu. Entah sudah berapa lama aku membodohi diriku sendiri untuk semua yang terjadi. "Kalau memang suka, ya bilang aja. Tapi nggak kan? Aku nggak bisa berharap kalo kayak gini. Iya kalo dia memang suka, kalo nggak? Terlanjur nunggu ee... dia sama orang lain. Sedihnya dua kali lipat. Sudah harapan pupus, orang yang berniat baik juga disia-siakan." Begitu jawabanmu dari salah seorang temanmu kala bertanya tentangku.

Terserah. Jika itu pikiranmu tentangku setelah kutahu cerita itu dari temanmu. Aku suka dan itu sungguh-sungguh. Kalau saja kamu tahu, mencintai tak sesederhana itu bagiku yang seorang laki-laki ini. Bagaimana caraku membahagiakanmu jika kita hidup bersama kelak? Sedangkan aku hanya mampu mencukupi kehidupan diriku sendiri.

Detik ini aku berhadapan denganmu, memaksakan diri untuk tersenyum seraya menjabat tanganmu, "Semoga menua dengan orang yang tepat." Dan itu kalimat terakhirku untukmu.

Bermain-main dengan Kebahagiaan

Bertambah umur bukanlah pilihan karena kita tak bisa berkompromi dengan waktu. Namun gaya hidup menjadi cerita lain ketika umur yang bertambah dibarengi dengan keinginan yang tidak biasa. Apalagi menghalalkan segala cara.

Seperti seseorang yang duduk tertunduk di hadapanku. Demi gaya hidup yang diinginkannya, dia rela merampas kebahagiaan banyak orang yang sudah lama merindukan tanah suci. Dan tugasku pagi ini adalah melemparkan beberapa pertanyaan untuknya. "Mulai kapan Anda melakukan hal ini?" Pertanyaan kesekian.
Dia hanya menunduk diam. Belum satupun pertanyaanku yang dijawabnya.
Aku menghela nafas, mencoba pertanyaan berikutnya.
"Siapa saja yang ikut terlibat dengan kasus ini?"
Masih dengan sikap yang sama, dia hanya diam.

Aku mencondongkan badanku kearahnya. "Oke, mungkin anda beraksi secara diam-diam. Diam-diam merampas hak orang lain dan memilih diam untuk sesi ini. Anda kami adili dengan cara yang masih baik. Kalau Anda seperti ini terus, bagaimana jika saya tawarkan kepada Anda agar bisa diadili langsung oleh Tuhan? Bayangkan peluru ini secara diam-diam menghujam jantung Anda." Aku tersenyum sinis menatap lurus padanya.

Seketika kepalanya terangkat, melihat gerakan tanganku yang mengangkat pistol tepat di depan pengelihatannya. Air mukanya mendadak pucat pasi, mulutnya seperti ingin berkata namun tak bisa. Keringatnya mulai muncul berwujud titik kecil di dahinya.

Hidup seperti ini kadang membuatku terbawa suasana.

Hujan

Hujan itu sarang kenangan. Pada genangan-genangannya, terselip air mata. Lantas, apakah kesedihan bisa luruh hanya dengan turunnya hujan?

Aku menghela napas panjang. Tak ada yang bisa menjawab pertanyaan yang muncul di otakku karena aku sendiri enggan bertanya pada orang lain tentang hal itu. Aku hanya memandangi hujan di teras rumahku. Berusaha membuang semua kenangan yang mengendap di otak.

Aku tak sendirian, ada kamu yang kupaksa datang ke rumah menjadi tempat sampah untuk semua kegalauanku tentangnya. Anggap saja aku tak sendirian, walaupun kesadaranmu sudah berpindah pada layar lima inch itu, setidaknya ragamu masih menginjak bumi. Kita diam dalam dunia masing-masing.

Aku menepuk pundakmu sedikit keras, berharap kesadaranmu menyatu dengan ragamu kemudian mendengarkan ucapanku.
"Hmm.." hanya sesingkat itu responmu tanpa beralih pada layar kecil itu.
"Aku ingin meluruhkan kesedihanku." Kataku setelahnya.
"Caranya?" Pandanganmu beralih ke mataku.
"Berdiri di bawah hujan. Meluruhkan kesedihan, memeluk kenangan, dan membiarkannya mengalir menjadi genangan."
"Terserah." Pandanganmu beralih kembali pada ponselmu.

Aku tak mengindahkan reaksimu dan berjalan pada halaman rumah. Menyerahkan semua beban pikiran, kenangan, kesedihan pada hujan sore itu.

Tak lama setelahnya, aku kembali ke teras dan tak melihatmu duduk di bangku. Hanya sesuatu yang tertinggal pada tempat dudukmu, payung. Ada sebuah catatan yang terselip di sana. Dan coretan tangan milikmu yang entah ke mana.
"Ada yang lebih penting daripada sekedar meluruhkan kesedihan. Menyelamatkan harapan yang masih tersimpan di hatimu." Tulisan manusia logis yang menyebalkan tapi selalu ada.