RSS

Bapak dan Putri Jagoannya

Bapak memang masih sering menganggapku putri kecilnya yang jika pulang dari perantauan, ke mana-mana harus diantar. Padahal 'putri kecilnya' di sana, ke mana-mana sendiri. Tapi tak jarang juga bapak menganggapku seorang jagoan seperti lelaki yang berbentuk gadis.

Untuk sebuah event dalam keluarga, sarana pra-sarana biasanya menjadi urusan bapak. Sedangkan emak, yang mengurus bagian dapur dan sejenisnya. Tetapi, saat emak dan yang lain melipat kardus, disaat yang sama bapak dengan senang hati memberiku sebuah obeng untuk merakit kipas angin karena suasana di rumah yang memang gerah. Karena emak juga nggak berkomentar tapi malah mendukung, jadilah aku merakit kipas angin diantara tumpukan kardus.

Bapak, dalam sebuah perjalanan, sekali ucap mengajak putrinya 'nongkrong' di bengkel hanya untuk mengganti oli tanpa bertanya putri kecilnya setuju atau tidak.

Bapak yang masih sering membelikan kaos untuk putrinya. Kaos versi cowok yang kalo dipake cewek, jadi kedodoran. Tapi untuk yang satu ini, jadi hal yang aku suka. Sekali waktu, memakai kaos kedodoran merupakan hal yang menyenangkan.

Bapak dengan sifat uniknya pada salah satu kejadian.
Bapak: Bapak mau ke Jogja, kamu titip apa?
Aku: Titip kaos lengan panjang warna gelap
Beberapa hari kemudian
Bapak: Ini pesenanmu
Aku: Horeee.. (membuka bungkus kresek)
        (speechless memandang emak)
Emak: Hahaha...  
Aku: Pak, aku kan pesennya warna gelap. Bukan warna hitam?
Bapak: Itu kan warna gelap
Emak: Makanya, kalo pesen ke bapakmu yang spesifik. Menurut bapakmu, warna gelap ya hitam, warna terang ya putih hahaha (masih tertawa)
Bapak: (diam, tak ada komentar)

Inilah Bapakku dan segala sifat kebapakannya yang sering membuat termenung. Hahaha.

Kisah Dibawa Pulang

Pada salah satu jendela kereta
Duduk melamun seorang wanita
Coba kau lihat sedalam mata
Dia membawa serentetan kata
Satu rangkaian cerita

Satu gerbong memekak suara
Cerita bersambung memekak telinga
Hanya dia yang bersuara, dengan mata

Sebuah surat
tergenggam rapat
Seperti hati yang terikat
perlahan tersayat

Tak seharusnya ada
Sepenggal kisah kita
Sebulir air mata, berkata

Hitungan Kayuhan Sepeda

Tak ada yang menarik akhir-akhir ini. Pikiran dan hati sedang bersinggungan dan aku sendiri tak tahu apa yang ingin aku utarakan sampai sore ini. Aku sengaja datang ke sini, di lapangan terbuka dekat perpustakaan kampus, melepas hiruk pikuk pikiran di tengah keramaian orang. Aku memarkir sepeda motorku di tepi jalan. Duduk bersila di pinggir lapangan, mengamati sejauh pandangan.

Hari ini seperti kemarin kupikir, aktivitas yang sama, olahraga yang dilakukan banyak orang umumnya. Tapi ternyata tidak, aku menangkap sebuah cerita, yang tersirat dari perilaku dua orang bocah. Mereka sedang berlatih sepeda.

Kayuhan pertama. Tentang kemauan.
Memulai terkadang menjadi hal sulit. Tentang apapun yang ingin dilakukan bahkan dicapai. Seperti mereka berdua. Seorang yang satu memegang boncengan bagian belakang dan seorang yang lain siap mengayuh. Kayuhan pertama  sungguh membutuhkan keberanian. Keberanian untuk memulai.

Kayuhan kedua dan ketiga. Tentang kegigihan.
Setiap langkah mempunyai ujiannya masing-masing. Tentang sebuah kepercayaan bahwa yang dilakukan saat ini adalah sebuah proses kehidupan. Entah jatuh atau bertahan, itu semua pilihan. Seperti bocah yang belajar mengayuh di sana, kayuhan kedua dan ketiganya oleng. Dia jatuh di rumput awalnya, namun ia mengayuh kembali. Semangat untuk menjalani.

Kayuhan keempat dan seterusnya. Tentang kebahagiaan.
Pencapaian merupakan tujuan. Untuk sebuah pencapaian, selalu ada kebahagiaan pada akhirnya. Seperti si bocah yang kini tertawa dengan luka di lututnya. Mengayuh sepeda walaupun dengan patah-patah tapi wajahnya kini ceria.

Hidup memang seperti belajar mengayuh sepeda. Terima kasih bocah, sudah mau bercerita. Walaupun tak ada sepatah kata, tapi aku bisa menangkap maknanya.