RSS

Ingatan Seorang Pelupa

Aku lemah mengingat nama dalam jangka panjang. 

Jika telah lewat masanya, nama akan menjadi angan yang hanya akan tercekat pada tenggorokan. Mungkin aku akan memegang kepala. Mengingat-ingat sebuah kata yang kamu tanyakan sedari tadi. Hanya ada gambaran dalam ingatanku tanpa aku bisa menyebut namanya. Aku dengan jelas bisa membayangkan sebuah wajah atau sebuah benda. Tapi namanya aku lupa seketika.

Mungkin aku bisa terdiam untuk waktu yang sedikit lama. Saat kamu berpapasan denganku di suatu tempat. Saat kita hanyalah teman biasa yang dulunya tak terlalu dekat. Kamu dengan lantangnya bisa memanggil namaku, aku tersenyum seketika membalas sapaanmu. Aku memang tahu kalau kamu adalah temanku semasa kecil dulu. Tapi maaf, namamu telah samar di memori otakku. Aku masih menatap punggungmu yang melenggang pergi begitu saja. Dan masih berpikir keras, siapa namamu sebenarnya.

Dan yang lebih parah lagi adalah tentang nama sebuah jalan. Aku adalah sebuah pengingat jalan yang buruk. Jika suatu hari kamu bertanya sebuah alamat padaku. Mungkin aku akan menggeleng tak tahu. Padahal sebenarnya alamat yang kamu tanyakan adalah sebuah jalan yang aku lewati setiap hari.

Hujan dan Ikatan Karet Gelang

Hujan sudah mulai tak kenal waktu. Ia datang tanpa berita, jatuh begitu saja membasahi jalan raya. Aku menjadi korban setiap bulirnya. Saat itu aku sedang mengendarai motor dalam perjalanan menuju rumah. Aku menepi, mencari tempat berteduh karena jas hujanku tidak kubawa. Motorku kuparkirkan di sebuah warung kaki lima yang masih tutup. Keberuntunganku hari itu adalah terdapat sebuah kursi panjang yang siap diduduki. Ada seorang bocah di sana, duduk memandangku yang kebingungan.

Aku hendak merutuk, tapi urung kulakukan. Hujan adalah sebuah nikmat, dia adalah sebongkah harapan yang dirindukan bumi untuk setiap jengkal tanahnya. Untuk sebuah nikmat, apa yang harus disalahkan? Aku hanya kesal karena ia tak memberi tanda seperti biasanya. Tak ada mendung dan kawan-kawannya. Hujan di terik siang, seperti cerita yang punya alur berbeda.

Aku duduk di pojok bangku panjang, mengeringkan tampias hujan yang menerpa wajah dengan telapak tangan. Aku menoleh ke arah bocah kecil itu. Dia masih memandangku lalu menunduk memainkan jarinya.
Aku tersenyum kearahnya.
"Namamu siapa?" Celetukku di tengah derasnya hujan.
"Andik." Jawabnya singkat masih tetap menunduk.
"Kelas berapa?"
"Kelas 3." Andik menjawab singkat.
"Rumahmu di mana?"
Dia mengangkat tangan kanannya menunjuk ke seberang jalan.
"Kenapa nggak pulang?" Aku masih mencoba mengajaknya bicara.
Dia hanya menggeleng, masih tetap menunduk.
Anak kecil selalu malu-malu.

Aku mengamatinya. Bocah yang mengaku bernama Andik itu mengenakan kaos biru bergambar Spiderman dengan celana selutut berwarna senada. Dia mengayunkan kakinya yang memakai sendal jepit ke depan dan belakang sembari memilin sebuah benda di tangannya.
"Boleh pinjem karet gelangnya?" Tanyaku spontan. Entah kenapa aku teringat sesuatu saat melihat karet gelang yang biasa digunakan kebanyakan orang untuk mengikat bungkus makanan itu.
Andik mendekat ke arahku, menyerahkan karet gelang yang sedari tadi dipilinnya.
"Bisa gini nggak?" Aku meletakkan karet gelang diantara ibu jari dan telunjuk tangan kiriku, menjepitnya di tengah sehingga terdapat dua ujung. Ujung yang terjulur di telapak tangan, kumasukkan ke ibu jari dan ujung yang terjulur di punggung tanganpun demikian. Kemudian telapak tangan kananku menyusuri ibu jari tangan kiri dari atas ke bawah, dan karet gelang berhasil lepas dengan sendirinya seperti permainan sulap. Itu adalah permainan karet gelang yang kuingat saat masih kecil. 
"Kok bisa?" Pertanyaan pertama dari Andik untukku. Wajahnya terlihat antusias, penasaran lebih tepatnya. Dia duduk mendekat.
Aku tersenyum jail. 
"Nih, coba." Aku menyerahkan karet gelang ke Andik.
Dia memainkannya dan tak berhasil. Aku tertawa melihatnya. Dia menyerahkan tangannya, minta diajari. Aku mengajarinya dan berhasil. Dia tergelak, tertawa.
"Dari karet gelang ini kamu bisa buat sesuatu yang lain nggak?" Tanyaku penasaran.
Dia diam tak menjawab. Berkutat dengan karet gelang yang dibawanya, memperlihatkan bermacam-macam ketrampilan mengkreasikan karet gelang seperti bentukan bintang, roket, beberapa huruf alfabet, dan lainnya. Aku takjub karena hanya permainan seperti tadi yang aku bisa.
Dan sekarang yang ada, aku yang diajari Andik bermain karet gelang. Untuk ukuran seorang bocah. Dia cukup telaten mengajariku. Hujan di terik siang ini memang menyuguhkan cerita yang berbeda.

Karet gelang. Sebuah benda biasa, penuh kreatifitas. Mainan pelebur usia. Antara perempuan (hampir) seperempat abad dan bocah (hampir) sedasawarsa.

(Kamu) Tujuanku

Sepatu Lusuh
Sepasang sepatu berwarna biru, lusuh. Aku memulai hari dengan itu. Menapaki jalan berliku. Setapak langkahku beralas sepatu yang kubeli beberapa tahun lalu.
Perjalanan Jauh
Aku menyukai hidupku yang berkeliling ke pelosok negeriku. Banyak tempat yang harus kutuju. Alam sungguh indah, diciptakan begitu istimewa oleh Sang Maha Pencipta. Sebelum aku tua, mari berkelana. Agar bisa bercerita kepada anak cucu betapa megah negeriku.
Bertemu Kamu
Kali ini pantai mejadi tempat singgah. Aku letakkan sepatuku di tepian. Menapaki pasir dengan kaki tak beralas adalah salah satu karunia. Aku memegang kamera. Mengambil beberapa gambar yang tertangkap mata. Air di laut memang punya pesona. Kuletakkan kamera dan ranselku di samping sepatu biru lusuhku. Aku mendekat ke bibir pantai. Menyapa ombak yang singgah di tepian. Senyumku mengembang seperti biasa, mengagumi keindahan alam. Aku memejamkan mata, menikmatinya.
“Sandalku!”
Sebuah teriakan mengejutkanku. Kubuka mataku, terlihat sebuah sandal terbawa arus mendekatiku. Kakiku reflek menahan laju sandal itu.
“Terima kasih.”
Kalimat pertama yang terucap olehmu kepadaku. Aku tergugu, diam membisu. Alam seakan berkata bahwa kamu akan menjadi salah satu tujuanku.