RSS

Sepenggal Impian di Emperan Toko (4)

"Apa itu, Om?" Aku penasaran dengan gulungan kertas yang diikat dengan pita warna merah yang Om Bagas berikan padaku.
"Buka aja." Katanya sambil menyodorkan gulungan kertas itu.
Aku menerimanya. Kulepas ikatan pita merah itu, dan kubuka gulungan kertasnya. Disana terpampang jelas wajahku dalam bentuk sketsa. Aku sedang tertawa lebar dengan jilbab khas anak SMP yang kupakai setiap harinya. Di pojok kanan bawah terdapat tulisan be a good girl as always, tanggal dan simbol yang selalu Om Bagas gunakan untuk setiap karyanya.
"Hwaaaa.. Om Bagaaaasss. Baguuuusss!" Aku memeluk sketsa yang diberi Om Bagas sambil setengah menjerit.
"Ssst, teriaknya jangan kenceng-kenceng! Nanti orang ngira aku ngapa-ngapain kamu." Kata Om Bagas menepuk bahuku.
"Ini bagus, Om. Aku terharu." Aku memandang lekat sketsa yang dibuat Om Bagas.
"Tapi, Om..."
"Apa?"
"Ini nggak bayarkan? Seingetku Aku nggak pernah pesen." Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
"Hahaha.. Kamu mau bayar ini pakek apa? Buat beli komik aja kamu harus nabung dulu berhari-hari, apalagi buat bayar ini." Om Bagas terpingkal.
"Ya kali Om, aku disuruh bayar. Tapi makasih banyak lho Om. Habis ini aku mau minta Ibu buat beliin pigura, mau aku pasang di kamarku." Aku nyengir.
"Bener-bener fans sejati ya kamu? Hahaha..."
"Kan aku udah bilang dari awal kalo aku suka karyanya Om Bagas." Aku menggulung kembali sketsa pembelian Om Bagas.
Entah kenapa suasana tiba-tiba hening. Om Bagas menunduk, entah apa yang dipikirkan.
"Jeng..." Katanya tiba-tiba.
"Apa, Om?"
"Selalu jadi gadis baik ya!"
Aku memasang tampang bingung, tak paham dengan maksud Om Bagas dan hanya mengangguk.
Sore itu adalah hari terakhirku bertemu Om Bagas. Besoknya Om Bagas sudah tak membuka lapak lagi di emperan toko. Terasa aneh memang sepulang sekolah tak ada Om Bagas, tapi mau gimana lagi.

Beberapa waktu setelahnya aku juga disibukkan dengan persiapan masuk pondok. Menguras tenaga dan pikiran. Tapi Alhamdulillah, aku lolos. Aku pulang hanya jika ada libur panjang. Sampai tahun ke dua SMAku, aku pulang dari pondok. Ku buka kamarku.
"Buuu.." teriakku dari dalam kamar.
"Apa, Jeng?"
"Ini apa? Ko' ada bungkusan kado besar banget di kamarku?" Kulihat ada sebidang kotak berukuran besar yang dibungkus kado.
"Buka, aja. Jeng. Itu kado. Sebulan yang lalu dikasih. Kamunya masih di pondok."
Kusobek perlahan kertas kado yang membungkus sebidang kotak itu. Sekarang terlihat jelas isinya. Aku terduduk di lantai, mengangah tak percaya. Kututup mulutku dengan kedua tanganku. Mataku berkaca. Sebuah lukisan berpigora ukuran 30R. Disana berlatar biru muda, ada dua orang di lukisan itu. Seorang laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki sedang sibuk menggambar dan yang perempuan berseragam sekolah sedang duduk di depannya melihat gambar si laki-laki itu. Seketika aku teringat Om Bagas.
Di pojok kiri pigura, terselip sebuah amplop berwarna biru. Ku ambil amplop tersebut, di sana ada tulisan 'untuk Ajeng'. Kubuka amplopnya.

Halo, Jeng. Gimana kabarnya? Masih inget aku, yang biasanya kamu panggil Om? hehe..
Maaf ya, tak sempat menemuimu secara langsung. Aku tau, mungkin aku memberi ini di waktu yang kurang tepat, sewaktu kamu masih di pondok. Tapi ini memang harus aku berikan sebelum aku kembali ke rutinitasku buat kamu yang sangat berjasa. Ini adalah sebuah lukisan yang khusus aku hadiahkan buat kamu. Mungkin ini nggak sebanding dengan apa yang sudah kamu lakukan buat aku. Di hari terakhir kita ketemu dulu, aku belum ngucapin terima kasih ke kamu. Terima kasih sebesar-besarnya buat kamu. Di hari pertama kamu singgah ke lapakku, aku pikir kamu cuma bocah ingusan sambil lalu. Datang karena tertarik sesaat. Itu awal pikiranku. Tapi ternyata tidak. Kamu memang fans sejatiku, Jeng. Fans nomer satuku.
Apa kamu tahu, Jeng?
Kenapa aku buka lapak di emper toko itu? Aku tidak punya tempat untuk berkreasi. Ekspektasi orang-orang sekitarku terlalu tinggi. Mereka hanya melihatku sebagai penerus usaha orang tuaku. Tak ada yang menghargai hobiku, termasuk orang tuaku sampai aku bertemu kamu. Enam bulan sebelum bertemu kamu aku merintis orderanku di kalangan teman-temanku. Aku berkilah kalau itu usaha temanku dan aku hanya mempromosikannya. Mereka tak ada yang tahu kalau itu hasil buatanku. Ya setidaknya dari sana aku merasa karyaku dihargai. Enam bulan setelahnya aku bertemu kamu. Seorang anak kecil yang masih polos yang terkagum-kagum melihat karyaku. Kamu dengan karakter dan kepolosanmu menjadi motivasiku kalau karyaku masih dapat terus berkembang. Aku tersadar saat kamu pernah berkata 'kenapa Om nggak jadi komikus aja? sebagai fans yang baik, aku bakal beli karya Om.' Aku semakin percaya saat aku memberikan sketsa wajah ke kamu. Ekspresimu nggak akan aku lupa. Matamu yang terbelalak senang dan jeritanmu. Aku semakin yakin untuk memulai hal besar.
Dan dari hari itulah semuanya dimulai, Jeng. Aku mengembangkan minatku ke sanggar lukis sehari setelah pertemuan terakhir kita. Aku bercita-cita menjadi pelukis sejak kecil Jeng, tapi tak ada yang bisa mengerti. Bulan-bulan awal aku sembunyi-sembunyi. Tapi setahun setelahnya aku bisa meyakinkan orang tuaku. Aku berhenti kuliah, fokus pada apa yang aku impikan. 
Sekarang aku sudah punya galeri sendiri di Jakarta. Aku menjadi guru seni di sanggarku sendiri. dan sudah beberapa kali mengadakan pameran di sana. 
Maaf untuk pertanyaanmu yang kadang tidak aku jawab. Aku pikir kamu tak perlu tahu masalahku. Aku juga nggak mau jika pada akhirnya kamu menyukai karyaku karena belas kasihan dan ujung-ujungnya memotivasiku untuk terus maju. Aku cuma butuh sebuah penghargaan tulus seperti yang kamu lakukan selama ini. Terima kasih sudah hadir di masa sulitku, terima kasih sudah dengan terang-terangan menjadi fansku. Tanpa kamu sadari, kamu adalah motivator handal yang terbungkus dalam wujud bocah, aku dapat banyak pelajaran dari kamu. Sekolah yang rajin ya. Kalo nanti main ke Jakarta jangan lupa mampir ke sanggarku. Ini alamat dan nomer telpon yang bisa kamu hubungi kalo kamu ke sana.
Salam bahagia,
Idolamu :p

nb: Mungkin pada akhirnya aku nggak jadi komikus seperti yang kamu bayangkan. Tapi apa yang kamu lihat sekarang adalah hasil karyaku. Lagi-lagi ini gratis, kamu nggak perlu nabung untuk beli lukisanku. hahaha...

Aku terpaku melihat lukisan di depanku, terbayang masa SMPku saat bertemu Om Bagas. Semoga selalu sukses Om :)

Sepenggal Impian di Emperan Toko (3)

Sudah setahun aku mampir ke lapak milik Om Bagas. Dia sudah seperti kakakku sendiri. Banyak sekali hal yang diceritakan ke aku. Tapi lebih tepatnya aku yang lebih banyak cerita. Om Bagas adalah tipikal lelaki pendiam. Kadang aku mengerjakan PR di lapak Om Bagas kalo sedang malas pulang cepat.
"Om, do'ain aku ya?"
"Do'ain apa?"
"Minggu depan aku mau Ujian Nasional Om. Deg deg an nih."
"Kamu belajar nggak?"
"Ya belajar Om, tapi sekolah tiga tahun ditentukan tiga hari itu rasanya gimana gitu."
"Ya jadiin itu motivasi. Aku do'ain moga kamu bisa ngerjainnya. Dapet nilai bagus. Terus satu lagi."
"Apa Om?"
"Mulai besok, mending kamu langsung pulang ke rumah. Istirahat yang cukup, biar bisa dibuat belajar malemnya. Main ke sininya kalo kamu sudah selesai ujian. Oke?"
"Iya Om."
Aku menuruti kata Om Bagas. Esoknya, sepulang sekolah aku hanya menyapa Om Bagas di lapaknya tidak mampir seperti biasa. Dan seminggupun berlalu.
"Halo Ooomm.." Aku tertsenyum sumringah.
"Yang seneng udah selesai ujian. Sini sini." Om Bagas mempersilahkanku duduk di bangku kecil sebelahnya.
"Gimana ujiannya? Sukses?"
"Alhamdulillah, Om. Do'ain nilainya bagus ya."
"Pasti, selalu itu." Dia mengangkat jempolnya.
"Lagi nggak ada orderan, Om?" Kulihat Om Bagas tidak sedang meyelesaikan sketsanya.
"Hari ini sepi, Jeng. Ada si tadi, tapi sudah diambil orangnya. Btw, habis ini kamu mau lanjut sekolah di mana?"
"Ada sekolah bagus Om, tapi harus sekalian mondok di sana. Jadi mungkin habis ini aku mondok, Om."
"Jadi bu Nyai dong habis itu? hehe.."
"Apaan sih, Om. Orang masih bau kencur gini."
"Haha.. anak ingusan lebih tepatnya. Eh, rumahmu sebelah mana?"
"Om tau pojokan kompleks toko ini? Belok kanan, nanti ketemu minimarket kiri jalan. Nah, rumahku sebelahnya pas yang cat ijo. Mau main?"
"Nggak, cuma tanya aja."
"Nggak kerasa ya, Om?"
"Apanya?" Dia memasang wajah bingung.
"Aku maen-maen ke sini udah setahunan lebih.  Terus bentar lagi aku nggak ke sini. Om nanti jangan lupain aku ya? Kalo nerbitin komik kabarin aku ya. Hihihi..." Aku tergelak.
"Beres, nanti kalo komikku jadi, kamu orang pertama yang aku kasih tahu." Dia tersenyum lebar, "Aku juga habis ini tutup lapak, Jeng. Besok udah nggak jualan di sini"
"Lho, ko' gitu? Om mau ke mana?" Tanyaku dengan nada sedih.
"Aku ada proyek, Jeng. Jadi sudah nggak bisa nyambi di sini lagi." Om Bagas mengangkat alisnya.
Aku cuma diam mendengar jawaban Om Bagas.
"Oh ya Jeng, ini buat kamu." Tiba-tiba Om Bagas mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.

Sepenggal Impian di Emperan Toko (2)

Sesampainya di rumah, ternyata Mas sudah pulang. Sedang melihat tv. Aku duduk di sebelahnya.
"Dari mana aja kamu jam segini baru pulang?"
"Nangkring di emperan toko Mas. hehe.."
"Ngapain?" Mas mengangkat alisnya heran.
"Terpesona sama orang. hahaha."
"Ngomong yang bener. Ditanyain masnya kok." Mas mencubit pipiku.
"Aduh Maaas.. sakit." Aku mengusap-usap pipiku.
Aku melanjutkan obrolanku, "Terpesonanya si bener Mas. Tapi sama karyanya orang. Jadi tadi di komplek toko itu ada orang kerjaannya gambar sketsa gitu. Bagus banget mas. Kayak di komik-komik gitu cuma itu real. Aku berhenti di sana. Tanya-tanya. Kalo tafsiranku sih yang gambar itu seumuran Mas. Tapi tadi taku panggil Om. Lha dia ngagetin nepuk pundakku, akunya reflek."
"Hati-hati lho sama orang yang nggak dikenal, dek. Awas diculik!" Mas menakutiku.
"Kelihatannya baik Mas orangnya, lagian kalo diculik nggak mungkin. Di sana kan rame. Tenang aja, kalo nanti kenapa-kenapa aku bisa teriak."
"Bagus, kalo ada apa-apa bilang aku ya!"
"Beres, Mas."

Esoknya selepas sekolah aku langsung menuju emperan toko.
"Halo, Om." Aku nyengir lebar.
"Eh, kamu Jeng."
Kulihat Om Bagas hampir menyelesaikan sketsanya.
"Laris ya, Om?"
Dia tersenyum lebar, "Alhamdulillah, ini pesenan temanku di kampus, Jeng."
"Lho, Om ini mahasiswa?"
Dia mengangguk.
"Kampusnya di mana?" Aku menggelar koran yang sudah kubawa dari rumah, duduk disampingnya.
"Tuh, di depan kantor kedutaan."
"Anak teknik dong? Nggak nyangka. Tapi kalo anak seni bisa gambar itu udah biasa ya Om. Lanjutkan Om." cerocosku.
"Iya, aku anak teknik."
"Tapi kenapa nggak buka lapak di kampus aja, Om? Pasti lebih laris. Kan banyak temen-temennya Om Bagas di sana?"
Dia diam saja,  masih melanjutkan aktivitasnya mungkin sedang fokus. Aku bisa memaklumi.
"Tapi jam segini apa nggak kuliah Om?" Tanyaku tiba-tiba.
"Kebetulan jam segini aku nggak ada jam kuliah, jadi bisa di sini sampai sore."
Om Bagas sudah selesai dengan sketsanya. Dia mengambil botol air mineral kemudian meminumnya.
"Om kenapa nggak jadi komikus aja? Kalo Om bikin komik, pasti aku beli. Tenang Om, aku nggak bakal minta gratisan. Sebagai fans yang baik, aku bakal beli karyanya Om."
Dia sedikit tertgun kemudian tertawa.
"Hahaha.. beneran mau beli?"
"Iya, Om. Aku punya banyak komik di rumah tapi kebanyakan komikus Jepang kayak Aoyama Gosho dll. Yang lokal cuma dua, karyanya Om Sweta Kartika sama Om Alex Irzaqi. Mungkin Om Bagas mau jadi komikus lokal ketiga favoritku? Gambar Om Bagas bagus lho, kerasa hidup. Makanya aku suka di sini. Selain alasan karena nggak bisa gambar, jadinya aku suka lihat orang-orang yang pinter gambar. Sedikit iri sih Om." cerocosku
"Ya kalo kamu suka liatin orang gambar ke sini setiap hari aja."
"Beneran nggak apa-apa Om?" Mataku terbelalak senang.
Dia tersenyum.
Sejak hari itu, hampir setiap hari aku menyempatkan diri mampir ke lapak Om Bagas.

Sepenggal Impian di Emperan Toko (1)

"Pulang dulu yaaaaa.. Besok jangan lupa berangkat pagi. Kamu waktunya piket kelas!" Aku cuma nyengir mendengar ocehan teman sebangkuku yang hendak pulang ke rumah.
Aku adalah seorang siswi SMP kelas VIII. Sekolahku tak jauh dari rumah. Cukup berjalan kaki lima menit, melewati kompleks pertokoan, tak jauh di deretan pertokoan itu sekolahku berdiri.
Masih jam satu. Rumah pasti masih sepi. Ayah, Ibu, sama Mas pasti masih belum pulang, pikirku. Aku bosan di rumah sendirian kalo pulang sekolah. Tapi nggak tau mau main ke mana. Aku berjalan santai setiba di kompleks pertokoan. Di sana sebenarnya ada toko buku, tapi aku sedang tak ada uang. Sampai di halaman sebuah toko yang tutup aku berhenti. Terpampang berbagai macam sketsa wajah dengan berbagai macam ukuran. Tergambar ekspresi yang sempurna.
"Mau bikin, Dek?" Dia menepuk bahuku.
"Eh... nggak, Om. Cuma lihat aja. Nggak apa-apa kan?" Aku terjingkat karena ada seseorang yang tiba-tiba menepuk bahuku.
"Iya, nggak apa-apa."
Jika dilihat dari fisiknya, menurut perkiraanku orang yang sekarang di depanku ini sebenarnya seumuran dengan Masku yang sedang kuliah. Tapi aku terlanjur memanggilnya Om. Tak apalah.
"Om baru ya di sini? Perasaan kemaren waktu aku pulang sekolah belum ada."
"Iya, baru hari ini buka. Kebetulan toko ini bukanya malam. Jadi minta ijin yang punya toko dulu ee.. ternyata dibolehin." Dia mengambil sebuah kertas berukuran A4 dengan alasnya dan sebatang pensil.
"Ooo.. Om mau gambar?" Aku lebih mendekat ke arahnya.
"Iya. Ini lagi ada pesenan."
Aku berjongkok di depannya. Dia mulai menggambar sketsa wajah. Sekali gores langsung mulus. Lihai sekali pikirku, aku aja nggak bisa gambar. Sejarah pelajaran gambarku adalah dua buah gunung yang ditengahnya ada jalan yang diintari sawah.
"Kamu nggak pulang? Nggak dicari Ibumu?" Dia menghententikan aktivitasnya menatapku.
Aku mendongak ke arahnya, "Jam segini di rumah sepi Om. Ayah sama Ibu masih kerja. Masku masih kuliah. Males di rumah sendirian."
Dia hanya mengangguk.
"Namamu siapa?"
"Ajeng, Om. Namanya Om siapa?"
"Namaku Bagas." ia melanjutkan sketsanya.
Disana tergambar dua bocah laki-laki bersama ibu dan ayahnya.
"Sudah lama Om kerja ginian?"
"Suka nggambarnya sih udah lama Jeng, Tapi buka usaha gini baru enam bulan."
"Om kok pinter gambar sih?"
"Hahaha... pertanyaanmu susah dijawab, Jeng." Baru kali itu dia tertawa.
Aku cuma garuk-garuk kepala, "Salah Om?"
"Ya kan tiap orang punya bakat sendiri-sendiri, Jeng." Dia tersenyum lebar.
"Iya juga sih."
"Eh, kamu duduk bersila aja. Nih pakai koran. Jangan jongkok gitu. Nggak capek kamu jongkok terus?" Dia memberiku sehelai kertas koran.
"Lumayan capek Om. hehehe.."
Om Bagas melanjutkan sketsanya. Aku melanjutkan melihat sketsanya.
"Jam berapa ini Jeng? Kamu nggak pulang?"
Aku melihat jam tanganku, "Wew.. nggak kerasa Om udah mau sore. Ya udah Ajeng pulang dulu ya Om. Boleh mampir lihat lagi kan Om?"
"Iya, boleh. Ya udah sana pulang. Nanti dikira kamu diculik lagi."
"Sip Om, aku pulang dulu."
Aku berdiri, melipat kertas koran yang diberikan Om Bagas tadi, membuangnya ke tempat sampah, lalu pulang.

Terima Kasih

Terima kasih sudah memberi kesan
Walau hanya separuh jalan
Tapi sudah cukup sebagai pelajaran

Terima kasih telah menjadi kenangan
Walau hanya untaian angan
Akan selalu terpatri dalam ingatan

Terima kasih telah mejadi cerita
Walau sekarang sudah tak di depan mata
Akan kurangkum menjadi rentetan kata

Terima kasih sudah pernah singgah
Walau hanya sementara
Tapi sudah cukup untuk mengenal asa

Terima kasih pernah menjadi candu
Walau sempat didekap rindu
Tapi itu hanya masa lalu

Membersamai Masa Lalu

Setiap orang meletakkan masa lalu pada tiga tempat yang berbeda.

Ada orang yang meletakkan masa lalunya di depan. Ia meletakkannya di depan agar selalu terlihat. Bukan karena ingin berkaca, tapi karena memang ia menikmati masa lalunya. Entah itu kebahagiaan yang luar biasa atau bisa jadi tentang penyesalan yang mendalam. Ditatapnya kemana-mana, mungkin karena sangat berarti dan sangat tertancap di hati.

Ada orang yang meletakkan masa lalunya di samping. Alih-alih bukan sebagai pendamping, hanya saja ingin masa lalunya hadir sebagai pengingat. Tak harus dilihat, tapi harus selalu dekat.

Ada orang yang meletakkan masa lalunya di belakang. Dijadikannya sebagai pelajaran agar tak terulang. Masih ingatkah dengan teka-teki kenapa kaca mobil di depan lebih besar daripada kaca spion? Mungkin itu paham mereka yang digunakan sebagai acuan menghadapi masa lalu. Agar masa lalu dilihat sesekali karena jelas terpampang masa depan di depan mata yang harus dijalani.