RSS

Adakah Pertemanan Abadi?

Siang ini aku terbangun. Kuambil telpon genggamku kemudian kuketik sebuah pesan
'aku bangun tidur
mimpi main ke rumahmu
kebangun gara-gara mimpi sholat, dan memang belum sholat
kangeeeen'

Aku sekarang hanya bisa mengenang kisah.
Masa di mana aku dan kalian masih bersama.
Masa di mana bertemu tak menjadi persoalan.
Sekarang hal itu menjadi berbeda, setelah kalian menikah.

Kedekatan terakhirku dengan kalian adalah ketika kalian memintaku menjadi sie. humas. Mengantar satu persatu undangan ke rumah teman-teman. Kedekatan berikutnya adalah ketika acara akad kalian terlaksana dan terlegelarnya resepsi pernikahan.
Disaat seperti itulah pertemanan kita baru terasa.
Memang benar kata orang, 'kau tak pernah tahu apa yang kau miliki hingga nanti kau kehilangan'

Perasaan suka itu ada, ketika kamu telah menemukan belahan jiwamu.
Perasaan dukapun demikian, ketika jelas nampak di depan mata kita tak akan bisa seperti dulu lagi.

Aku belajar, saat satu persatu dari kalian memutuskan untuk membina rumah tangga.
Pertemanan mempunyai siklus. Kita adalah beberapa orang asing yang dipertemukan untuk menjadi bagian dari perjalanan hidup kita. Kita juga seorang manusia yang mempunyai mimpi. Pertemanan kita memang sejalan, tetapi tujuan hidup kita berbeda. Bukankah kita berjalan bersama untuk saling mendukung mimpi kita?

Teringat olehku pada sebuah sore, saat aku main ke rumahmu
Kita memang sudah jarang bertemu. Prioritasku sudah tak seperti dulu. Aku tak bisa sering menghubungimu. Tapi kita masih bisa saling mendo'akan.
Kata-kata itu selalu terngiang saat aku mulai merasa sendiri. Saat aku rindu kebersamaan kita.

Tak ada yang abadi di dunia ini. Begitupun dengan kebersamaan kita. Tapi pertemanan kita akan selalu ada. Karena kita masih bisa saling menyapa meski lewat do'a.

Kenapa Aku Mengenalmu?

Aku bukan seorang yang berpaham bahwa ada kebetulan di dunia ini. Semua sudah digariskan olehNya. Begitupun dengan pertemuanku denganmu.
Pertemuanku denganmu bukan sebuah kebetulan. Ia telah digariskan pada hari, jam, dan detik itu juga. Aku tak menyangka bisa mengenalmu hari itu. Kamu menyuguhkan sekotak perkenalan yang menyenangkan, dan aku suka. Kamu berhasil membuatku menerima kehadiranmu, dan aku terbiasa. Banyak hal baru yang kamu tunjukkan buatku. Tentang apa yang tak ku mengerti dan apa yang tak ku tahu.
Kupikir tetap berada bersamamu adalah hal yang tak terlalu sulit. Tak perlu segala hal ihwal untuk menjaga eksistensi keberadaanku untukmu. Tapi ternyata aku salah. Kamu menjaga jarak seketika. Perlahan tapi pasti. Aku merasakannya. Kamu seolah sudah tak nyata, menjadi bayangan, kemudian menghilang.
Sempat bertanya aku salah apa? Tapi kamu sudah tak terkejar dan aku masih berteman dengan penasaran. Dan tiba-tiba ada yang datang memberi penjelasan. Lidahku peluh, ternyata aku belum benar-benar mengenalmu. Ia mengindahkan, memberi masukan, mengubah pemikiran bahwa tak selamanya hitam benar-benar gelap.
Aku sadar, mengenalmu bukanlah sebuah kesakitan. Ia adalah terima kasih yang tak perlu dimengerti.

Hujan Matahari

Buku Hujan Matahari karya Mas Kurniawan Gunadi saya beli tahun lalu sekitar delapan bulan lalu. Kenapa saya beli bukunya? Karena saya suka tulisan Mas Gun. Saya tidak setiap hari membuka blog, tapi setiap kali membuka blog dan membaca tulisan Mas Gun, saya selalu tertegun. Tulisan yang saya baca di hari itu, pas dengan suasana hati. Entah sebuah kebetulan atau apa tapi sering terulang seperti itu.

Baiklah, ijinkan saya mulai mereview Hujan Matahari. Saya pernah mendengar istilah menulislah dengan hati, maka akan sampai ke hati. Mungkin seperti itulah Hujan Matahari tercipta. Buku karya Mas Gun ini sarat dengan rasa. 

Ada tiga point besar yang ingin saya utarakan tentang Hujan Matahari.
Yang pertama tentang sudut pandang. Dalam Hujan Matahari ini tertulis berbagai sudut pandang, mulai dari sudut pandang seorang laki-laki, perempuan, ayah, ibu, hujan, dll. Saya terkesan, Mas Gun mampu menuliskannya secara sempurna. Kalo boleh jujur, saya sebagai perempuan heran dengan tulisan-tulisan Mas Gun yang memakai sudut pandang perempuan.  Seperti tulisannya yang berjudul Suatu Sore di Bawah Pohon Randu misalnya. Apakah Mas Gun sangat mengerti perempuan? Hehe..

Yang kedua adalah tentang pesan dan pemahaman yang disampaikan dalam Hujan Matahari. Hujan Matahari tidak hanya sekedar bacaan. Selalu ada pesan yang tekandung dalam setiap judulnya. Bukan hanya pesan, tapi juga pemahaman yang terkandung di dalamnya. Hal-hal yang sering terlupakan atau malah sudah lelah dipikirkan diangkat oleh Mas Gun dalam beberapa tulisan. Setiap akhir tulisan yang dibuat Mas Gun di Hujan Matahari, selalu membuat saya berhenti sejenak. Berpikir. Buku ini sarat makna. Seperti tulisan Belum Waktunya dan Memastikan Rasa contohnya. Mungkin Mas Gun telah melewati banyak pengalaman. Sehingga bisa mengemas buku ini dengan baik.

Yang ketiga adalah masa lalu (ini adalah pendapat saya pribadi, bukan secara umum tentang buku ini, hihi..). Membaca Hujan Matahari seperti membuka diary saya sendiri dalam beberapa tulisannya. Saya seperti digiring mundur pada masa itu, pada perasaan kala itu. Ada bagian yang sudah terlupa kini dan sekarang kembali teringat. Masa lalu dan kehidupan saya kini, ternyata hadir juga dalam Hujan Matahari. Mencari Sahabat dan Tidak Selalu contohnya.

Hujan Matahari bisa dibaca di segala suasana, terik, mendung, semangat, atau galau sekalipun. Hujan Matahari memang perpaduan yang tepat untuk segala suasana. Terakhir yang ingin saya ucapkan kepada Mas Gun. Terima kasih sudah menciptakan Hujan Matahari dan karya-karya lainnya. ditunggu buku selanjutnya dan karya-karya yang lainnya. Semoga selalu meginspirasi

Pantai-Pantai di Perantauanku

Sudah lama ingin mengekspose tempat-tempat ini tapi baru keturutan sekarang. Aku masih menjadi anak rantau, di sini memang bukan kota besar. Tak sepadat  kota kelahiranku. Tapi kota perantauanku ini memiliki keindahan alam yang bagus (menurutku). Kali ini aku akan berbicara tentang pantainya. Pantai-pantai di kota Jember yang sudah pernah aku kunjungi.

1. Watu Ulo
Watu Ulo merupakan sebuah pantai yang berada di sebelah selatan kota Jember tepatnya di kec. Ambulu. Berjarak sekitar 40 km atau kurang lebih satu setengah jam kalo dari dari kampus. Watu Ulo jika diartikan dalam bahasa Indonesia artinya batu ular, batu yang berbentuk ular. Kalau tidak salah begini kisah yang pernah aku dengar. Ada seekor ular naga raksasa yang menjelma menjadi penunggu pantai selatan pulau Jawa. Ekornya berada di Banyuwangi, badannya berada di Watu Ulo ini dan kepalanya berada di pantai Puger.

Dapat dilihat ada batu besar memanjang di sana (abaikan penampakan perempuan berbaju hitam), kemungkinan itu badan yang diceritakan karena bentuk batu itu bersisik menyerupai sisik ular. Sayangnya aku tidak mengambil foto batu tersebut dari jarak dekat.
Menurut pendapatku, pemandangan di Watu Ulo seperti standart pemandangan pantai biasa. Pasir di sini berwana coklat seperti tanah.

2. Papuma
Papuma sebenarnya merupakan sebuah tanjung, bukan pantai tapi kebanyakan orang-orang menyebutnya pantai. Letak Papuma ini persis di sebelah Watu Ulo. Hanya saja jalannya sedikit menanjak, semacam ada pantai di bukit. Tapi pemandangan di Papuma patut di acungi jempol. Aku sudah beberapa kali ke sana. Mulai dari jadi pengunjung sampai jadi tour guide. Beda dengan Watu Ulo, pasir di Papuma berwarna putih walau mereka bersebelahan. Dan bagi teman-teman yang suka berfoto ria, di sini recomended untuk foto-foto. hihi..

Pohon kelapanya lagi meranggas. Kalau lagi hijau, bagus banget.



3. Payangan
Payangan adalah pantai yang akhir-akhir ini sedang booming di kalangan teman-teman sekitarku. Pantai ini berjarak sekitar dua km dari Watu Ulo. Pantainya si biasa, tapi pemandangan dari atas bukitnya yang jempol. Disarankan sebelum ke sini sarapan dulu. Karena kemarin aku dan teman-temanku nggak tahu medan, kami memutuskan sarapan (kami membawa bekal) di atas bukit sedangkan bukit di Payangan cocok sebagai area pemanasan untuk mendaki gunung. Kalo aku inget Payangan tiba-tiba muncul backsound 'mendaki gunung lewati lembah, sungai mengalir indah ke samudra, bersama teman berpetualang'.
Disana ada dua bukit jika kita menghadap ke pantai. Aku sarankan naik ke bukit yang sebelah kanan karena sepertinya tidak seterjal bukit yang aku dan teman-temanku naiki. Kami belum sempat naik ke bukit satunya, sudah terlalu lelah. Disarankan juga berangkat pagi, cuaca di sana sangat menyengat jika matahari sudah mulai naik, dibandingkan Watu Ulo dan Papuma.
Bukit yang terlihat di sana adalah bukit yang aku sarankan


4. Puger
Puger sebenarnya lebih terkenal dengan TPInya (Tempat Pelelangan Ikan) karena hasil lautnya yang cukup dominan. Beberapa ratus meter dari TPI, terdapat pantai Puger yang aku ceritakan merupakan bagian dari kisah ular naga raksasa tadi. Pantai Puger terletak di selatan Jember tepatnya di kec. Puger, 35 km dari kampus atau lebih kurang satu setengah jam. Medan untuk ke sana lumayan terjal karena jalan menuju sana belum diaspal hanya tertata batuan-batuan kapur (Puger juga terkenal dengan produksi batu kapur, terdapat gunung kapur di sana). Di Puger kita juga dapat menikmati pemandangan pulau Nusa Barong, bahkan menyebrang ke sana. Tapi ombak dan angin di Puger cukup kencang, jadi jika ingin menyebrang harus menunggu saat ombak tidak besar.
Aku tau pantai Puger ini secara kebetulan. Dikarenakan beberapa tahun yang lalu aku KKN di kecamatan Puger. Tapi karena laptop sempat eror, foto-foto Puger dan foto-foto KKN yang lain hangus :'(
Ini gambaran pantai Puger yang aku ambil di google (abaikan bapak-bapak yang bersarung).


Nah, itu adalah pantai-pantai di Jember yang sudah pernah aku kunjungi. Jika kalian berminat datang kemari dan butuh tour guide, insyaAllah aku siap membantu :D

Kado Untukmu

Aku termenung di depan wastafel kamar mandi penginapan. Lusa adalah ulang tahunmu dan aku belum punya ide apapun untuk kado ulang tahunmu.
Aku teringat kejadian tiga bulan yang lalu, saat mendekati hari ulang tahunku.
"Kamu pengen kado apa? Aku bingung kado apa yang cocok untuk pria sepertimu. Kamu sudah bisa membeli apapun sendiri. Ada sebuah permintaan mungkin?", tanyamu kala itu.
"Hey, aku bukan anak kecil yang selalu harus kamu beri kado setiap ulang tahunku tiba. Tapi karena kamu bertanya seperti itu dan mulai minggu depan kita jarang bertemu, aku ingin benda yang bermanfaat dan setiap hari aku butuhkan. Terserah apapun itu, aku akan menerimanya.", jawabku saat itu.

Di hari ulang tahunku, kamu menyerahkan sebuah kotak kecil padaku.
"Buka sewaktu kamu di jalan ya. Selamat ulang tahun.", katamu sambil tersenyum.
Hari itu memang ulang tahunku dan juga hari dimana aku berangkat ke luar kota untuk urusan pekerjaanku. Kamu mengantarku ke stasiun kereta sembari menyerahkan hadiah ini padaku.
Kubuka kotak hadiahmu, dan isinya adalah sikat gigi bersama pasta giginya. Aku tersenyum membuka hadiahmu. Disitu terdapat secarik surat darimu
Selamat Ulang Tahun,
Kaget ya dengan hadiah yang aku beri sebagai hadiah ulang tahunmu? Maaf ya, aku tidak bisa memberi hadiah mahal untukmu karena aku yakin kamu bisa membelinya sendiri. Sikat dan pasta gigi ini adalah hadiah yang menurutku bermanfaat untukmu. Sengaja aku beri sikat dan pasta gigi yang didesaian khusus untuk orang-orang yang sering berpergian sepertimu. Aku cuma ingin harimu menyenangkan, bertemu banyak orang adalah salah satu tugasmu. Mungkin benda ini bisa membantu. Senyum sehat, senyum Indonesia :)
Tatapanku tertuju pada sikat gigi pemberianmu. Kamu memang seorang wanita yang menyenangkan dengan pemikiran tak terduga.

Aku memutuskan untuk mengirim pesan padamu. Kuambil ponselku yang terletak dimeja samping tempat tidur.
Mau kado apa? Aku belum punya ide untuk kado ulang tahunmu.

Tak lama ponselku bergetar. Pesan darimu. Kubaca balasanmu.
Kepastian.

Ambilkan Bulan

Sudah larut, tapi mata masih terjaga. Aaaa.. ini gara-gara kopi tadi sore. Sudah berkali-kali aku ganti posisi. Mulai dari miring, tengkurep, sampai duduk bersandar bantal, hasilnya nihil. Akhirnya aku berjalan menuju jendela kamar. Kusingkap tirai, sebenernya agak horor ngebayangin kalo pas aku singkap tirai dan Dor! ada wajah nempel di jendela. Tapi sepertinya imajinasiku terlalu berlebihan. Diluar sepi, tapi sepertinya ada seseorang di halaman sedang duduk-duduk. Kuambil sweaterku dan menyejajarinya.
"Kak, ko' duduk di sini? Nggak tidur?", kakak menoleh ke arahku.
"Nggak dek, lagi panas.", katanya.
"Panas dari mana Kak? Dingin gini.", aku menunjuk sweaterku.
"Panas pikiran adeeek.", kakak mengacak rambutku.
"Ceritalah kaaaak. Sapa tau aku bisa bantu.", aku merajuk.
"Anak kecil tau apa.", kakak mengangkat sebelah alisnya.
"Diskriminatif banget, walaupun kakak sudah tua dan aku masih imut, aku ini pendengar yang baik lho kak.", aku mengedipkan sebelah mataku.
"Aw! Sakit kaaak.", kakak mencubit pipiku. Kakak, saudara laki-laki yang tidak terlalu banyak bicara kalau nggak dipaksa. Jarang cerita tentang masalahnya, lebih suka mendengarkan ceritaku. Lebih sering mengintimidasiku tepatnya. Walapun begitu, kakak adalah saudara terbaik. Selalu ada buat aku.
"Anak kecil kenapa jam segini belum tidur?", tanyanya.
"Insomnia gara-gara kopi. Udah dimerem-meremin tetep aja nggak bisa. Kesalahan nyeruput kopi punya Ayah."
"Kualat itu namanya, kopi Ayah ko' diminum. Buat sendiri sana, masak anak cewek males."
"Ya kan cuma pengen ngincip aja kak.", belaku.
Hening kemudian. Kakak sepertinya larut lagi dengan pikirannya kali ini menghadap atas.
"Kak.", aku menyenggolnya.
"Hmm..", dia masih melihat atas tak memperhatikanku.
"Liat apaan?", tanyaku.
"Ambilkan bulan dek.", celetuknya.
"Hah? Apa?"
"Ambilkan bulan Dek, ambilkan bulan dek, yang slalu bersinar di langit."
"Malah nyanyi. Minta Ibu lho, Kak. Kan itu lagu buat Ibu.", kataku.
"Pamali nyuruh-nyuruh orang tua, ada yang lebih kecil kenapa nggak, hahaha."
Aku menepuk jidat. Mulai nih penindasan.
"Kakak masih waras kan? Aku nggak mau punya kakak setengah miring.", aku menjulurkan lidah pada kakak.
"Do'ain kakak ya.", katanya tak menanggapi leluconku tadi.
"Buat?"
"Kondisi seperti ini nggak enak, Dek. Kalau ketemu orang mesti ditanya kapan begini, kapan begitu. Ya kakak pengen juga, tapi namanya belum nemu. Udah usaha ke sana ke sini, buktinya?"
Sepertinya aku mulai paham apa yang dipikirkan kakak.
"Sudahlah Kak, nggak usah diambil hati. Anggep aja motivasi, anggep juga do'a dan anggep kalau mereka care sama kakak. Yakin deh, kalo Kakak sudah berhasil dengan apa yang mereka tanyakan, pasti ada pertanyaan lain lagi. Pada dasarnya hidup ini adalah tanda tanya kak, jadi dijalani aja.", aku menepuk bahu kakak.
Kakak tersenyum mendengar jawabanku.