RSS

Dear, You (Calon Masa Depanku)

Aku menyayangimu sebelum kamu ada, ketika kamu masih tertulis dalam garis takdirku. Kamu terbayang dalam pantulan senyum anak kecil dari sepupu-sepupuku dan anak-anak kecil di sekelilingku. Aku mulai sadar kenapa kamu disebut buah hati, karena kamu begitu berharga dan memang berharga, semua kasih sayang tercurah untukmu.
Aku begitu menyayangimu karena ibuku dan ibu-ibu yang lain. Kamu tau? Menjadi ibu ternyata tidak mudah tapi itu tidak pernah terucap dari ibuku. Ibuku begitu tulus merawatku dan selalu menunjukkan yang terbaik untukku dan itu untuk kebaikanku. Karena itu aku ingin memperlakukanmu sama seperti itu kelak.
Masa-mu dan masa-ku mungkin akan jauh berbeda, Karena itu aku belajar memahami. Belajar memahami itu bukan hal yang mudah. Aku membutuhkan dua puluh tahun untuk mengerti hal itu. Dan tahun berikutnya aku akan melatih ketidakpahamanku untuk menyambutmu. Aku tidak akan menuntutmu untuk mengerti. Aku akan membiarkanmu berpikir sesuai umurmu dengan pemahaman yang sudah kulatih.
Hey, ada satu cerita pendek kenapa aku begitu perduli kepadamu akhir-akhir ini.
Aku sadar kamu begitu berharga, oleh karena itu aku berusaha menjaga.  Ternyata merawatmu adalah salah satu PR besar untukku dari serentetan masa depanku yang harus aku pelajari. Aku begitu ingin tau, oleh karena itu aku mencari tau, sampai aku temukan kutipan seorang penulis.
Karena kita tidak pernah belajar bagaimana caranya menjadi anak, tapi kita ada waktu untuk belajar menjadi orang tua (Kurniawan Gunadi, 2014).
Dari sini aku mengerti kenapa ada orang bilang bahwa belajar itu dilakukan seumur hidup, mungkin salah satunya karena kamu.
Nah, selagi kamu masih sebentuk garis takdirku, biarkan aku mempersiapkan segala yang terbaik untukmu. Do'akan aku agar bisa mewujudkannya untuk kebaikanmu.

Salam sayang untukmu

Selagi Masih Bisa

Ceritakan apa saja yang kamu mau, apa saja yang ingin kamu sampaikan selagi aku masih bisa mendengarmu.

Jawab saja apa yang aku tanyakan jika kamu berkenan, selagi aku ingin tau.

Aku masih punya cukup waktu untukmu sepagi ini bahkan sampai larut malam nanti, mungkin. Karena aku tak tahu berapa lama waktuku.

Aku memberikanmu waktu untuk datang menghampiriku, mengulas apa saja yang ingin kamu bahas. Entah itu tentang kebiasaan, kesukaan, bahkan kebencian. Jangan heran jika kadang aku mencela, karena sesuatu lebih baik jika pada tempatnya kan?

Aku ingin tahu dan aku punya waktu untuk saat ini. Jangan bertanya jika suatu hari tiba-tiba aku menghilang dari peredaranmu dan tidak punya waktu untukmu. Bukan kah sudah kukatakan tadi? Bicaralah selagi bisa.

Aku jarang bertanya karena kamu sering tak berkenan atas pertanyaanku. Jadi jangan salahkan aku jika kamu kehabisan bahan pembicaraan sedangkan aku hanya diam saja. Aku sudah mencoba menawarkan saat itu, tapi kamu enggan.

Secangkir Candu

Secangkir candu bernama rindu
Ia tertenggak bersama sembilu
Menikam pilu menjadi keluh
Bermuara menjadi sajak bertuliskan Tuan tak bernama
Adakah sendu dalam sebuah candu?
Ia bersarang dalam kubahan rasa yang bersimpuh asa

Ada resah dalam secangkir candu
Ia mengakar tajam bersama rindu
Menawan segala rasa dan mengungkapkannya sebagai tanda seru

Ini rindu bukan pilu
Ia tak pernah bermaksud sendu
Hanya belajar mengerti bersama pilu