RSS

Jika Rindu

Jika rindu bisa bersemu
Ia mungkin akan memerah
Membuatmu tersipu
Malu

Jika rindu bisa berkata
Ia mungkin akan menjadi pencerita
Mengagungkan kisah-kisah
Yang menorehkan kisah kita

Jika rindu bisa mengalun
Ia mungkin akan menjadi sebuah lagu
Sendu
Yang bisa memanjakan telingamu

Jika rindu bisa ditanya
Siapa dia sebenernya
Ia mungkin akan menjawab
Rindu adalah
Aku sejarak kamu
Yang belum genap bertemu

Kepadamu Yang Akan Menjadi Teman Hidupku

Menuliskanmu mungkin tak akan ada habisnya
Apalagi jika kita nanti bersama
membangun bahtera
Dunia kita akan berlimpah cerita

Kamu adalah kumpulan do'a yang setiap hari kupanjatkan
Kini dihadirkan dalam bentuk nyata
Kamu adalah penggalan-penggalan impianku yang sempat kulupakan
Dan kini dihadiahkan oleh Sang Pencipta

Kita adalah orang baru
Orang yang saling tak tahu
Tapi ditakdirkan bertemu

Kamu dengan penilaianmu
Aku dengan keyakinan dari Tuhanku
Kita melangkah dalam satu tujuan baru

Dunia kita berbeda
Kamu membawaku pada dunia yang tak aku tahu sebelumnya
Ketika yang kutahu hanya langit kelabu
Kamu menunujukkan langit sewarna senja

Terima kasih tak terhingga
Berani menghadap orang tuaku
Terima kasih tak terkira
Memberi kesan yang baik pada pertemuan pertama kita
Terima kasih setulus hati
Perlahan-lahan mewujudkan impian
yang tak pernah kuceritakan pada siapapun sebelumnya

Sajak - Sajak Patah

Aku seperti sajak-sajak patah
Tak berurutan pada deretan suku kata
Bisa dieja
Tapi tak membentuk kalimat utama

Aku seperti sajak-sajak patah
Yang ingin berucap
Tapi tak mampu merangkum makna

Hanya padamu, tepian kata tak bisa kugenggam
Aku hanyut tenggelam dalam gelombang yang kamu buat
Ada rasa pada kata-kata
Ia terbata
Lalu bungkam

Begitulah aku
Seperti sajak patah
Ketika menatap matamu

Racun itu Bernama Rindu

Senja di Bali. Akhirnya aku menapakkan kakiku di sini lagi setelah setahun lalu. Tanah Lot adalah tempat terbaik versiku untuk menikmati sunset. Seleraku memang selera kebanyakan orang, tapi tak tahu kenapa aku ingin pergi ke sini lagi. Hahaha... aku menertawai diriku sendiri. Menikmati sunset adalah tameng yang kuciptakan untuk pergi ke sini. Buat apa jauh-jauh ke Bali hanya untuk menikmati sunset? Sunset bisa dinikmati dimanapun jika aku memang menyukainya. Karena sebenarnya aku datang ke sini untuk melepas rindu. Rindu yang tak mungkin aku katakan apalagi aku teriakkan.
Rindu ini sangat menyiksa. Rindu yang menyesakkan. Ragaku yang sehat, seolah-olah terkena asma karenanya. Rindu bisa menimbulkan efek luar biasa. Seperti saat ini, aku berusaha keras membendung air mata yang sejak tadi sudah ingin lepas dari pertahanannya. Rindu seseorang yang patah hati bagai menenggak racun yang siap menggiring mati. Dikatakan tak mungkin, disimpan sendiri menyiksa.
Entah berapa lama aku duduk di sini. Aku memandang kosong lautan yang menyuguhkan pemandangan megah, matahari yang kembali ke peraduannya. Sedangkan yang tergambar olehku adalah bayangan kita setahun lalu. Kita berdiri bersisian, memandang sunset kala itu.
Aku tertunduk dalam, menutup mata masih berusaha membendung air mataku. Setelah merasa tenang, aku kembali membuka mata. Aku menangkap bayangan seseorang yang berdiri di sampingku. Sepertinya aku mengenal sosok itu, tapi tidak mungkin.

"Wita..." Belum selesai aku bergulat dengan hatiku, aku menoleh ke sumber suara itu. Dan ternyata benar, itu kamu.

Alam sepertinya bersekongkol untuk membuat hatiku sesak berkali-kali lipat. Bagaimana mungkin di hari yang sama dengan tempat yang begini luas, kamu berdiri di sini bertemu denganku.
Mata kita beradu beberapa detik. Tak ada kata yang keluar. Kamu duduk di sebelahku diam. Wajahku pucat pasih. Aku memang rindu tapi tak berharap untuk bertemu. Situasi seperti ini adalah situasi yang sulit untukku.

"Apa kabar?" Tanyamu memecah keheningan.
"Seperti yang kamu lihat." Aku tak mungkin mengatakan aku baik-baik saja setelah melihatmu dalam keadaan seperti ini.

Ada jeda diantara kita. Hening yang begitu lama karena aku tak bertanya balik kepadamu. Hanya deru ombak yang terdengar mewakili perasaan kita masing-masing, mungkin.

"Terima kasih ya, Wit." Kamu memecah keheningan kembali.
"Untuk?" Aku memandang heran ke arahmu.
"Karena masih mau menyimpan rahasiaku walau kita sudah tidak lagi bersama. Terima kasih karena tidak menceritakannya kepada orang-orang. Hal itu sempat menghantuiku. Aku bersiap-siap menerima resiko jika hal itu sampai terjadi. Tapi hingga detik ini, semua baik-baik saja. Jadi, terima kasih untuk kebaikanmu."
Aku tertegun mendengar pernyataanmu.
"Kamu tidak perlu khawatir tentang itu. Seharusnya kamu sudah tau bahwa aku orang yang bisa menjaga rahasia." Semakin lama nada bicara semakin tak terdengar. Sial, kenapa aku seolah memaksa dia untuk memahamiku. Sudah bukan waktunya.
"Rahasiamu sepenuhnya hakmu. Aku tak punya andil untuk berbagi pada siapapun. Kamu tak perlu khawatir tentang itu." Aku memperbaiki sikap dan nada bicaraku.
Kamu menyunggingkan senyum. Senyum yang dulu selalu menentramkan hati, tapi lain hal sekarang. Raut mukamu memancarkan kelegaan.
"Aku harus pergi. Besok aku akan kembali dengan penerbangan pertama." Aku bergegas memungut sandal yang tergeletak disampingku berlalu tanpa minta persetujuanmu.
"Sampai ketemu lagi Wit." Katamu lirih yang masih bisa terdengar olehku.
Aku tak menyahuti.

Sebaiknya kita tak bertemu untuk waktu yang lama. Aku sudah cukup paham kenapa kita dipertemukan sekarang. Awalnya aku bahagia karena aku tahu kita sama-sama saling memikirkan. Tapi kenyataannya adalah kamu memikirkanku hanya karena kamu takut rahasia yang kuketahui seluk beluknya dengan gampangnya kuceritakan kepada orang banyak. Sedangkan aku memikirkanmu karena perasaan ini masih ada. Kita memang dari dulu tak pernah sejalan.
Aku sudah tak kuasa menahan bendungan air mata. Aku tak perlu takut orang sekitar melihatku karena malam telah tiba. Tak ada yang bisa melihat wajahku dalam gelap. 

Janjimu dan Gulungan Pita Kaset

Kebanyakan orang mungkin akan menganggapku kurang kerjaan karena masih mau menunggu. Menunggu kesungguhan kata-katamu yang pernah kamu ucapkan kala itu. Aku sendiri tak tahu apakah kata-katamu hanya bualan semata atau pesan tersirat yang tertangkap indera pendengaranku.

Kebanyakan orang mungkin akan menganggapku tidak waras karena memercayaimu. Memercayai kata-kata yang pernah keluar dari mulutmu. Aku tak tahu apakah itu caramu untuk memeriahkan suasana atau sebuah keinginan yang terucap sungguh-sungguh.

Kebanyakan orang mungkin akan menertawakanku karena berharap padamu. Berharap pada janji-janji yang kamu buat. Aku tak tahu apakah janji-janji itu semata hanya untuk menyenangkan hatiku atau memang caramu untuk mewujudkan mimpiku.

Dari waktu ke waktu, kata-katamu seperti gulungan pita kaset yang dimainkan pada sebuah tape. Ia mengalun syahdu, memanjakan telingaku, menenangkan perasaanku. Tapi sebuah kaset tape sudah usang dimakan jaman. Ia tertinggal jauh dengan mp3 dan teknologi canggih lainnya. Hampir tak ada tape recoder terpasang di setiap rumah pada jaman sekarang. Seperti itukah semua ucapan yang kamu lontarkan dulu? 

Aku mulai ragu.

Rahasia Kecil Dibalik Perjalanan

Aku seorang petualang. Mengembara ke berbagai tempat, tanpa tujuan. Kukunjungi banyak daerah. Mulai dari bentangan samudra dengan debur ombaknya, gedung-gedung bertingkat yang menjulang tinggi, hingga kios para pedagang dengan sejuta cindera matanya.

Aku seorang petualang. Menapaki setiap jengkal jalan tanpa pemandu ataupun petunjuk. Aku sering tersesat, menghampiri tempat-tempat yang bahkan tak pernah terbesit dalam bayangan. Takjub dengan pengelihatan sendiri.

Aku seorang petualang. Kutemui banyak wajah. Mulai dari pesona seorang kepala suku sampai bulir lelah pencari nafkah. Selalu ada yang bisa kunikmati dari berbagai ekspresi. Aku selalu merekamnya dalam memori.

Aku seorang petualang. Banyak hal yang bisa kuceritakan. Tentang perjalananku, tentang asal mula petualanganku, tentang kisahku dengannya yang berakhir dengan tanda tanya.

Aku seorang petualang. Yang bisa saja tinggal, bukan sekedar singgah. Tapi dia tak pernah menyuruhku berhenti. Aku tahu diri.

Jarak

Setiap kalimat punya spasi
Begitupun setiap hati
Punya ruang tersendiri

Setiap nada punya melodi
Begitupun cinta
Selalu punya bahasa

Aku akan menunggu
Pada sebuah jeda
Ketika hati dan pikiran
Tertaut pada dirinya sendiri

Ketika sebuah pertanyaan
Membutuhkan jawaban
Aku akan mengambil jarak
Untuk bisa melihat dengan leluasa

Lelaki Tak Banyak Kata

Lelaki tak banyak kata dengan cinta sejuta makna
Meninggalkan segores rasa 
dalam, tak terhapus 
Dia mencecar rasanya sendiri
mematri jauh dalam hati 
Hingga juwita utuh, jatuh hati

Lelaki tak banyak kata mengoyak isi hati 
Menyebar tanda tanya hingga ceceran ilusi 
Rasa yang tak terganti seolah sirna ditelan bumi

Lelaki tak banyak kata pergi tanpa permisi, alih-alih undur diri 
Hanya selarik pesan, aku akan kembali

Lelaki tak banyak kata menebar teka-teki
Membuat padanan kata yang sulit dimengerti
Hingga juwita menanti dan bertanya dalam hati
Arti cinta itu sendiri

Di Balik Bayangan

Berkisah seorang pendongeng tentang berpuluh-puluh cerita kepada wajah-wajah yang dijumpainya. Menguras emosi, menggelak rentetan tawa, menderu rintihan tangis. Tak ada yang meragukan ceritanya, pada setiap kalimat yang ia lontarkan begitu saja dari mulutnya. Tapi nyatanya ceritanya sendiri tak pernah sampai. Tersimpan rapat di hati dan terkunci mulut sendiri.

Terlantun alunan lagu dari penyanyi ternama. Mereka menyebutnya diva, raja, entah apa yang julukan yang disandang mendekati maha. Terenyuh hati dengan nyanyiannya, syair-sayir yang melekat pada pendengarnya. Tak ada yang meragukan kualitas suaranya. Namun lagu kesukaannya tak ada yang mempersembahkan. Dia melantunkannya sendiri tanpa intonasi.

Melejit prestasi seorang jenius. Memenangkan segala macam perlombaan. Menyabet segala macam penghargaan. Mempunyai predikat tercerdas dan ter- ter- lainnya. Sanggup memukau siapa saja yang berada dalam lingkungannya. Tak ada yang meragukan kehebatannya. Namun tak ada yang tahu apa keinginan terbesarnya. Ia simpan rapi hingga tak terdeteksi.

Malam ini aku meracau, menuliskan kisahmu yang kelihatannya sedikit kacau atas semua kesempurnaanmu. Kisah yang seolah tanpa celah tapi mempunyai kubangan lubang mengangah. Kisah yang tak pernah tersampaikan namun tertangkap jelas oleh mata. Sebuah kisah yang tak akan pernah kamu baca.

Jeda Waktu

Kamu menyuguhkan klimaks
tanpa kutahu prolognya
Kamu memberikan hadiah
tanpa kutahu maksudnya

Bagimu mungkin sempurna
bagiku apalah artinya

Kamu datang tiba-tiba tanpa kata,
Memaksa menerima keberadaanmu yang memang jelas nyata
Menyuruhku menghabiskan waktu bersama

Haruskah terburu-buru seperti dikejar waktu?
Apa tak ada jeda waktu bagiku untuk mengenalmu utuh?

Kamu tetap diam, membisu

Di Batas Senja

Di batas senja, kita tertumbuk mata
Tanpa kata

Apa yang kamu semogakan, seakan menjadi nyata. Begitu arti isyarat mata
Kayuhan do'a telah sampai pada singgasanaNya
Kamu terpaku
Aku tergugu

Di batas senja, kita menyingkap cerita
Tentang kata-kata yang tertata dalam goresan pena
Tentang namamu yang selalu terjaga dalam do'a

Kapan dikata cinta, jika kita saling memalingkan rupa
Kamu tertunduk tanpa kata sapa
Aku memperhatikan melalui ekor mata

Cinta melumpuhkan kata
Mengolah rasa seakan tiada
Kita berdua berprasangka
Terkurung tanda tanya

Di batas senja, kita mengeja makna
Menghubungkan benang merah menjadi sebuah hikmah

Kamu menyuguhkan bahtera
Mengajakku berlayar bersama
Mengarungi cita-cita kita yang hampir serupa
Kamu nahkoda
Aku navigatornya

Cerita yang Menguning

Tergeletak sebuah buku di atas meja baris belakang suatu pojok perpustakaan. Hari ini memang sepi, waktu yang tepat untuk menenangkan diri.

Kuambil buku yang tergeletak sembarangan itu. Buku bercover hijau dengan lembar-lembar kertas yang sudah menguning. Sebuah buku yang bercerita tentang sebuah kisah. Dua orang yang mempunyai rasa, memupuk asa dan pada akhirnya harus terpisah. Aku membacanya dan menyungging senyum sesudahnya.

Aku ingat cerita tentang kita yang hampir sama tapi tak sepenuhnya. Sebuah cerita memang tak harus berakhir indah dan tak semuanya sama. Kisah dalam buku ini abadi, dikemas dalam lembar-lembar kertas beberapa ratus halaman. Kertas yang sudah kuning, teriring usia. Kertas yang sudah kuning dan mulai usang. Seperti kisah kita sekarang. Usang, berlapis kenangan. Tapi kisah kita tak abadi. Tak ada yang perlu dikemas dari cerita kita. Bahkan endingnyapun tak pernah ada. Karena kisah kita diakhiri dengan tanda tanya. 

Ada kisah tak sempurna. Kisah yang tak ada awal atau akhirnya. Kisah kita usang seperti lembaran buku yang menguning ini, tapi ceritanya tak abadi seperti di dalamnya. 


Selamat Menapaki Kebahagiaan, Kawan.

Hai, Sodara 
Semoga selalu sehat dan berbahagia.

Hari ini adalah awal tahun, ketika aku menulis coretan ini. Pikiranku sudah ke mana-mana. Dipenuhi mimpi-mimpi baru, dipenuhi hal-hal yang segera ingin aku lakukan dalam hitungan 365 hari ke depan sampai tiba-tiba terbesit pikiran tentang kalian.

Tahun ini, adalah tahun kalian. Jika kalian membaca tulisan ini, bisa dipastikan kalian sudah mencapai puncak bahkan sudah purna tugas dalam menempuh studi di hutan belantara yang penuh liku-liku.

Pikiranku kembali ke masa-masa pertama kali kita bertemu. Bahasan yang sudah-sudah tapi tetap membuat tertawa. Aku bertemu kalian dengan cara-cara yang tak lazim. Kompor gas, cuci baju, dan speechless di lapangan waktu ospek. Kalian tentu tahu di bagian mana kalian berada. Hahaha…
Pertemanan kita mengalir begitu saja. Kita adalah kumpulan orang-orang unik yang dipertemukan dalam sebuah ‘pesantren’ dan hanya satu orang yang lulus dari tempat  itu. Yang tiga, angkat koper duluan. Haha…
Tak ada pertemanan yang sempurna. Marah, kecewa, kesel pasti ada. Tapi dari sana kita belajar banyak hal. Bagaimana aku dan kalian saling tahu karakter masing-masing.

Selamat ya…
Selamat untuk pencapaian kalian saat ini. Semoga  ilmu yang kalian dapat membawa berkah. Sukses untuk ke depannya.

Terima kasih.
Terima kasih karena sudah menjadi sahabat, saudara, teman seperjuangan. Terima kasih karena mau berteman denganku. Orang yang sangat banyak kekurangannya, orang yang (mungkin) sering bikin kesel. Orang yang kadang nggak tau harus gimana saat kalian gelisah galau merana.
Terima kasih atas segala candaan, teguran, nasehat yang kalian berikan. Kalian adalah orang-orang terpilih yang dilengkapi koneksi khusus sehingga bisa nyambung bicara denganku hahaha :p
Terima kasih untuk setiap pelajaran yang kalian berikan.

Maaf…
Maaf untuk segala hal yang tidak menyenangkan selama kita berteman. Maaf, mungkin terkesan melow, tapi hati memang lagi melow *eaaa

Saat ini, ketika aku menulis coretan ini. Aku mulai menikmati sisa kebersamaan kita. Aku sudah tahu gimana rasanya berpisah dengan sahabat dan aku nggak mau menyesal untuk kesekian kalinya. Semoga kalian selalu bahagia. Keep in touch ya. Kalo ada apa-apa kabari. Yang di sini masih bisa menampung cerita kalian. Haha..



Selamat berbahagia, selamat menapaki kebahagiaan. Semoga kita bisa bertemu dan berkumpul lagi di lain kesempatan. Dan semoga kita tidak akan pernah menjadi asing suatu hari nanti.


Salam sayang
dari yang tersayang
haha.. :p