RSS

Hujan Akhir Pekan

Kepadamu terik yang memanas lima hari kemarin
Membawa cerita hiruk pikuk bumi yang kamu terangi
Bersimbah peluh dan tawa kepada khalayak yang kamu lewati

Kepada terik yang tersisa hari ini
Aku termenung di depan kamar
menunggu deretan pakaian yang belum sempurna kering
Karena ada yang menunggumu setelah ini
Berharap kamu mengerti bahwa dia juga punya mimpi
Hujan akhir pekan
Seperti meminta waktu kepadamu
untuk melepas rindu yang tak terbendung lima hari kemarin
Rindu tetesan air kepada tanah
yang menimbulkan bau khas yang disukai orang kebanyakan

Hujan akhir pekan
Memberi kesempatan untuk kita
bercengkrama dengan orang terdekat
Tak perlu ke mana-mana
Cukup di rumah dengan makanan seadanya

Karena Aku Tidak Bisa Memilih Siapa Orang Tuaku

"Aku pengen nikah muda biar jarakku sama anakku nanti nggak jauh-jauh banget. Biar nanti kalo anakku sudah besar aku nggak tua-tua banget. Kasihan anakku kalo dia udah besar dan aku udah tua."

Aku selalu tersenyum ketika mendengar pernyataan beberapa teman tentang ini. Mereka sedang menata kehidupannya kelak. Mengharapkan sosok suami idaman versi mereka dan memikirkan usia ideal mereka untuk memiliki anak. Ya, mereka berpikiran bahwa jarak yang tidak jauh dari umur anak mereka akan sangat membantu kehidupannya dan kehidupan anaknya kelak. Mereka meniru jarak umur mereka dengan orangtuanya, pas. Jarak yang tak terlalu jauh akan membantu hubungan psikologi antara anak dan orangtuanya karena orangtua masih bisa mengikuti 'tren' anaknya.  Aku tidak terlalu berkomentar untuk urusan itu.

Seperti yang ada dengan fenomena sekitar, umur teman-temanku sekarang rata-rata 24-25 tahun dengan orang tua yang masih berusia 40an tahun. Ya, umur ideal untuk anak dan orang tua. Aku berkaca pada diriku, seorang anak semata wayang yang dilahirkan dari rahim seorang ibu berumur 30an tahun. Sekarang umur Mama sudah setengah abad lebih dan aku masih di bangku kuliah. Sedangkan anak dari teman-teman Mama dan Bapak kebanyakan sudah bekerja dan mempunyai anak. Minder awalnya, apalagi ketika ada yang bertanya "kapan mantu?". Sedangkan aku sendiri belum bisa memberikan apa-apa.

Hidup, mati, rejeki, jodoh adalah takdir. Jika takdir telah digariskan, manusia bisa berbuat apa. Aku tak bisa memilih orang tua seperti apa yang aku inginkan. kapan aku dilahirkan, di kota mana aku dibesarkan dan dari keluarga seperti apa. Terkadang aku hanya bisa merenung, melihat fenomena orang tua teman-temanku di bangku sekolah dulu. Bertanya kenapa begini dan kenapa begitu tanpa terlontar satupun. Sampai suatu hari aku sadar bahwa pertanyaan tak ada artinya, pemahamanku mulai tumbuh ketika aku masuk kuliah dan sempat ku tulis di sini. Ya, aku belajar memahami bertahun-tahun sampai pada akhirnya hal itu sudah bukan lagi menjadi hal yang aku pikirkan sampai sekarang. 

Orang tuaku mungkin tak mengikuti dan mengerti tren di era usiaku sekarang, tapi beliau mengajarkan berbagai hal yang bisa aku terapkan di segala masa. Mama dan Bapak adalah orang yang membuatku jatuh cinta berkali-kali. Orang tua yang bisa menginspirasi, pasangan favoritku, hartaku yang paling berharga, orang tua terhebat yang Allah hadiahkan buatku.

Novel Bulan

Tepat sebelum dua puluh empat jam novel ini sampai di tanganku, aku sudah selesai membacanya, Novel Bulan, novel serial fantasi setelah Bumi. Aku menunggunya setahun lalu. Novel ini lagi-lagi aku beli langsung dari Toko Buku Delisa dan lagi-lagi datang disaat yang tidak terduga.

Haaaa... ritme novel ini lebih santai daripada Bumi. Imajinasiku lebih berwarna karena kali ini petualangan Raib, Seli dan Ali berada di Klan Matahari. Klan dengan pakaian dan lingkungan yang serba cerah. Ada beberapa pertanyaan yang sempat hinggap di pikiran tapi akhirnya terjawab. Bulan, kenapa novel ini dinamai Bulan bukan Matahari padahal mereka ada di klan Matahari? Karena ini adalah petualangan Raib, Seli, Ali, dan para ksatria Klan Bulan untuk membangun diplomasi di klan Matahari. Covernya bertulis Bulan tapi kenapa di cover malah gambarnya bunga? Pertanyaan itu terjawab setelah aku selesai membaca novel ini.



Bang Tere Liye selalu bisa membuat alur cerita menarik dan aku selalu suka. Aku selalu suka dengan penulis yang mempunyai 'benang merah' dalam ceritanya. Penulis yang selalu memunculkan keingintahuan pembaca, kenapa begini dan kenapa begitu dan terjawab pada akhirnya, aku mengistilahkannya benang merah dan bang Tere selalu punya itu. Contohnya seperti kata-kata Fala-tara-tana pada Raib saat memasangkan gelang, kenapa dia berkata seperti itu? jawabannya ada di akhir cerita. Contoh lain adalah keluarga Ilo. Masih ingat dengan Ilo seorang designer terkenal di klan Bulan yang menolong Raib dkk? Ternyata nama keluarganya mempunyai makna I Love You. Ilo, Vey, Ou, dan Ily adalah singkatannya. Dan masih banyak yang lainnya

Kemudian ada hal menarik lagi yang disampaikan bang Tere untuk pembaca. Ini yang membuat aku tertawa. Pada halaman 296 ada adegan dimana Ali dan Seli berdebat pada paragraf terakhir halaman tersebut tertulis
"Tidak Sel. Aduh, sepertinya hanya aku yang memperhatikan hal - hal kecil dalam petualangan ini. Kalian sama seperti pembaca novel yang kadang tidak memperhatikan detail, kemudian protes kenapa begini kenapa begitu..."

Dan seperti biasa, di akhir cerita aku selalu mempunyai pertanyaan. Kalau Pangeran tanpa Mahkota, Tamus, Fala-tara-tana IV menjadi satu, bagaimana pertarungan akhir ini? Apakah akan ada pertarungan antar klan? Entahlah, kita lihat saja pada kelanjutan serial Bumi tahun depan, MATAHARI.

Well, secara keseluruhan novel ini adalah novel penyegar otak. Karena akhir-akhir ini yang kubaca adalah buku-buku non-fiksi, Bulan telah berhasil menyegarkan imajinasiku kembali. Terhanyut dalam imajinasiku sendiri. Aku nggak bisa membayangkan jika serial ini difilmkan, apa jadinya? Sesuai ekspektasiku kah? Novel ini punya nilai fantasi yang tinggi.

Bagi yang belum baca, aku sarankan segera baca. Novel ini recomended sekali untuk dibaca, mengajarkan arti setia kawan, ketulusan, keberanian, kepedulian. Selamat membaca :)

Aku Ingin

Aku ingin berhenti sejenak.
Berkelana ke tempat yang tak ku tahu, menikmati suguhan Sang Pencipta. Memandangi hamparan lautan, padang ilalang, kabut pagi hari, atau apapun suguhan alam. Di sini sudah terlalu penat, melihat sekitarku berlalu lalang. Dengan langkah cepat maupun wajah terlipat.

Aku ingin mengedarkan pandangan.
Duduk di sudut ruangan, mungkin juga taman atau sekedar tempat makan. Mengamati orang sekitar, aku suka melakukannya. Melihat seorang anak yang digandeng ibunya, muda mudi canggung yang menyantap makanannya atau seseorang yang sibuk dengan gadgetnya dan sesekali merenung. Di sini sudah terlalu bosan melihat sekitarku yang memakai atasan putih dan bawahan hitam dengan tentengan yang dibawa untuk keperluannya dengan menggandeng orang yang membantunya untuk tujuan yang sama.

Aku ingin diam.
Diam dengan pikiran sendiri. Duduk bersila di pojokan toko buku. Membaca buku-buku yang ada seenaknya dan terhanyut dengan kata-kata. Di sini tak dapat ku temukan ketenangan. Setenang saat terhanyut rangkaian kata.

Aku ingin duduk.
Hadir dalam sebuah seminar penulis kesukaan, melihat orang-orang inspiratif dan mengambil pelajaran darinya. Mengantri book signing dan berfoto dengannya. Sepertinya menyenangkan. Atau duduk menikmati pagelaran teatrikal. Menikmati drama yang disajikan. Setidaknya yang dipertontonkan adalah sebuah drama, bukan sepenggal sedih kisah nyata.

Aku ingin ada di rumah.
Walau tak ada siapapun sedari pagi sampai sore hari. Walau hanya sendiri ditemani telivisi. Setidaknya itu di rumah. Tempat ini memang sudah tak asing, tapi rumah tetap terasa lebih nyaman.