RSS

Bapak dan Putri Jagoannya

Bapak memang masih sering menganggapku putri kecilnya yang jika pulang dari perantauan, ke mana-mana harus diantar. Padahal 'putri kecilnya' di sana, ke mana-mana sendiri. Tapi tak jarang juga bapak menganggapku seorang jagoan seperti lelaki yang berbentuk gadis.

Untuk sebuah event dalam keluarga, sarana pra-sarana biasanya menjadi urusan bapak. Sedangkan emak, yang mengurus bagian dapur dan sejenisnya. Tetapi, saat emak dan yang lain melipat kardus, disaat yang sama bapak dengan senang hati memberiku sebuah obeng untuk merakit kipas angin karena suasana di rumah yang memang gerah. Karena emak juga nggak berkomentar tapi malah mendukung, jadilah aku merakit kipas angin diantara tumpukan kardus.

Bapak, dalam sebuah perjalanan, sekali ucap mengajak putrinya 'nongkrong' di bengkel hanya untuk mengganti oli tanpa bertanya putri kecilnya setuju atau tidak.

Bapak yang masih sering membelikan kaos untuk putrinya. Kaos versi cowok yang kalo dipake cewek, jadi kedodoran. Tapi untuk yang satu ini, jadi hal yang aku suka. Sekali waktu, memakai kaos kedodoran merupakan hal yang menyenangkan.

Bapak dengan sifat uniknya pada salah satu kejadian.
Bapak: Bapak mau ke Jogja, kamu titip apa?
Aku: Titip kaos lengan panjang warna gelap
Beberapa hari kemudian
Bapak: Ini pesenanmu
Aku: Horeee.. (membuka bungkus kresek)
        (speechless memandang emak)
Emak: Hahaha...  
Aku: Pak, aku kan pesennya warna gelap. Bukan warna hitam?
Bapak: Itu kan warna gelap
Emak: Makanya, kalo pesen ke bapakmu yang spesifik. Menurut bapakmu, warna gelap ya hitam, warna terang ya putih hahaha (masih tertawa)
Bapak: (diam, tak ada komentar)

Inilah Bapakku dan segala sifat kebapakannya yang sering membuat termenung. Hahaha.

Kisah Dibawa Pulang

Pada salah satu jendela kereta
Duduk melamun seorang wanita
Coba kau lihat sedalam mata
Dia membawa serentetan kata
Satu rangkaian cerita

Satu gerbong memekak suara
Cerita bersambung memekak telinga
Hanya dia yang bersuara, dengan mata

Sebuah surat
tergenggam rapat
Seperti hati yang terikat
perlahan tersayat

Tak seharusnya ada
Sepenggal kisah kita
Sebulir air mata, berkata

Hitungan Kayuhan Sepeda

Tak ada yang menarik akhir-akhir ini. Pikiran dan hati sedang bersinggungan dan aku sendiri tak tahu apa yang ingin aku utarakan sampai sore ini. Aku sengaja datang ke sini, di lapangan terbuka dekat perpustakaan kampus, melepas hiruk pikuk pikiran di tengah keramaian orang. Aku memarkir sepeda motorku di tepi jalan. Duduk bersila di pinggir lapangan, mengamati sejauh pandangan.

Hari ini seperti kemarin kupikir, aktivitas yang sama, olahraga yang dilakukan banyak orang umumnya. Tapi ternyata tidak, aku menangkap sebuah cerita, yang tersirat dari perilaku dua orang bocah. Mereka sedang berlatih sepeda.

Kayuhan pertama. Tentang kemauan.
Memulai terkadang menjadi hal sulit. Tentang apapun yang ingin dilakukan bahkan dicapai. Seperti mereka berdua. Seorang yang satu memegang boncengan bagian belakang dan seorang yang lain siap mengayuh. Kayuhan pertama  sungguh membutuhkan keberanian. Keberanian untuk memulai.

Kayuhan kedua dan ketiga. Tentang kegigihan.
Setiap langkah mempunyai ujiannya masing-masing. Tentang sebuah kepercayaan bahwa yang dilakukan saat ini adalah sebuah proses kehidupan. Entah jatuh atau bertahan, itu semua pilihan. Seperti bocah yang belajar mengayuh di sana, kayuhan kedua dan ketiganya oleng. Dia jatuh di rumput awalnya, namun ia mengayuh kembali. Semangat untuk menjalani.

Kayuhan keempat dan seterusnya. Tentang kebahagiaan.
Pencapaian merupakan tujuan. Untuk sebuah pencapaian, selalu ada kebahagiaan pada akhirnya. Seperti si bocah yang kini tertawa dengan luka di lututnya. Mengayuh sepeda walaupun dengan patah-patah tapi wajahnya kini ceria.

Hidup memang seperti belajar mengayuh sepeda. Terima kasih bocah, sudah mau bercerita. Walaupun tak ada sepatah kata, tapi aku bisa menangkap maknanya.

Ingatan Seorang Pelupa

Aku lemah mengingat nama dalam jangka panjang. 

Jika telah lewat masanya, nama akan menjadi angan yang hanya akan tercekat pada tenggorokan. Mungkin aku akan memegang kepala. Mengingat-ingat sebuah kata yang kamu tanyakan sedari tadi. Hanya ada gambaran dalam ingatanku tanpa aku bisa menyebut namanya. Aku dengan jelas bisa membayangkan sebuah wajah atau sebuah benda. Tapi namanya aku lupa seketika.

Mungkin aku bisa terdiam untuk waktu yang sedikit lama. Saat kamu berpapasan denganku di suatu tempat. Saat kita hanyalah teman biasa yang dulunya tak terlalu dekat. Kamu dengan lantangnya bisa memanggil namaku, aku tersenyum seketika membalas sapaanmu. Aku memang tahu kalau kamu adalah temanku semasa kecil dulu. Tapi maaf, namamu telah samar di memori otakku. Aku masih menatap punggungmu yang melenggang pergi begitu saja. Dan masih berpikir keras, siapa namamu sebenarnya.

Dan yang lebih parah lagi adalah tentang nama sebuah jalan. Aku adalah sebuah pengingat jalan yang buruk. Jika suatu hari kamu bertanya sebuah alamat padaku. Mungkin aku akan menggeleng tak tahu. Padahal sebenarnya alamat yang kamu tanyakan adalah sebuah jalan yang aku lewati setiap hari.

Hujan dan Ikatan Karet Gelang

Hujan sudah mulai tak kenal waktu. Ia datang tanpa berita, jatuh begitu saja membasahi jalan raya. Aku menjadi korban setiap bulirnya. Saat itu aku sedang mengendarai motor dalam perjalanan menuju rumah. Aku menepi, mencari tempat berteduh karena jas hujanku tidak kubawa. Motorku kuparkirkan di sebuah warung kaki lima yang masih tutup. Keberuntunganku hari itu adalah terdapat sebuah kursi panjang yang siap diduduki. Ada seorang bocah di sana, duduk memandangku yang kebingungan.

Aku hendak merutuk, tapi urung kulakukan. Hujan adalah sebuah nikmat, dia adalah sebongkah harapan yang dirindukan bumi untuk setiap jengkal tanahnya. Untuk sebuah nikmat, apa yang harus disalahkan? Aku hanya kesal karena ia tak memberi tanda seperti biasanya. Tak ada mendung dan kawan-kawannya. Hujan di terik siang, seperti cerita yang punya alur berbeda.

Aku duduk di pojok bangku panjang, mengeringkan tampias hujan yang menerpa wajah dengan telapak tangan. Aku menoleh ke arah bocah kecil itu. Dia masih memandangku lalu menunduk memainkan jarinya.
Aku tersenyum kearahnya.
"Namamu siapa?" Celetukku di tengah derasnya hujan.
"Andik." Jawabnya singkat masih tetap menunduk.
"Kelas berapa?"
"Kelas 3." Andik menjawab singkat.
"Rumahmu di mana?"
Dia mengangkat tangan kanannya menunjuk ke seberang jalan.
"Kenapa nggak pulang?" Aku masih mencoba mengajaknya bicara.
Dia hanya menggeleng, masih tetap menunduk.
Anak kecil selalu malu-malu.

Aku mengamatinya. Bocah yang mengaku bernama Andik itu mengenakan kaos biru bergambar Spiderman dengan celana selutut berwarna senada. Dia mengayunkan kakinya yang memakai sendal jepit ke depan dan belakang sembari memilin sebuah benda di tangannya.
"Boleh pinjem karet gelangnya?" Tanyaku spontan. Entah kenapa aku teringat sesuatu saat melihat karet gelang yang biasa digunakan kebanyakan orang untuk mengikat bungkus makanan itu.
Andik mendekat ke arahku, menyerahkan karet gelang yang sedari tadi dipilinnya.
"Bisa gini nggak?" Aku meletakkan karet gelang diantara ibu jari dan telunjuk tangan kiriku, menjepitnya di tengah sehingga terdapat dua ujung. Ujung yang terjulur di telapak tangan, kumasukkan ke ibu jari dan ujung yang terjulur di punggung tanganpun demikian. Kemudian telapak tangan kananku menyusuri ibu jari tangan kiri dari atas ke bawah, dan karet gelang berhasil lepas dengan sendirinya seperti permainan sulap. Itu adalah permainan karet gelang yang kuingat saat masih kecil. 
"Kok bisa?" Pertanyaan pertama dari Andik untukku. Wajahnya terlihat antusias, penasaran lebih tepatnya. Dia duduk mendekat.
Aku tersenyum jail. 
"Nih, coba." Aku menyerahkan karet gelang ke Andik.
Dia memainkannya dan tak berhasil. Aku tertawa melihatnya. Dia menyerahkan tangannya, minta diajari. Aku mengajarinya dan berhasil. Dia tergelak, tertawa.
"Dari karet gelang ini kamu bisa buat sesuatu yang lain nggak?" Tanyaku penasaran.
Dia diam tak menjawab. Berkutat dengan karet gelang yang dibawanya, memperlihatkan bermacam-macam ketrampilan mengkreasikan karet gelang seperti bentukan bintang, roket, beberapa huruf alfabet, dan lainnya. Aku takjub karena hanya permainan seperti tadi yang aku bisa.
Dan sekarang yang ada, aku yang diajari Andik bermain karet gelang. Untuk ukuran seorang bocah. Dia cukup telaten mengajariku. Hujan di terik siang ini memang menyuguhkan cerita yang berbeda.

Karet gelang. Sebuah benda biasa, penuh kreatifitas. Mainan pelebur usia. Antara perempuan (hampir) seperempat abad dan bocah (hampir) sedasawarsa.

(Kamu) Tujuanku

Sepatu Lusuh
Sepasang sepatu berwarna biru, lusuh. Aku memulai hari dengan itu. Menapaki jalan berliku. Setapak langkahku beralas sepatu yang kubeli beberapa tahun lalu.
Perjalanan Jauh
Aku menyukai hidupku yang berkeliling ke pelosok negeriku. Banyak tempat yang harus kutuju. Alam sungguh indah, diciptakan begitu istimewa oleh Sang Maha Pencipta. Sebelum aku tua, mari berkelana. Agar bisa bercerita kepada anak cucu betapa megah negeriku.
Bertemu Kamu
Kali ini pantai mejadi tempat singgah. Aku letakkan sepatuku di tepian. Menapaki pasir dengan kaki tak beralas adalah salah satu karunia. Aku memegang kamera. Mengambil beberapa gambar yang tertangkap mata. Air di laut memang punya pesona. Kuletakkan kamera dan ranselku di samping sepatu biru lusuhku. Aku mendekat ke bibir pantai. Menyapa ombak yang singgah di tepian. Senyumku mengembang seperti biasa, mengagumi keindahan alam. Aku memejamkan mata, menikmatinya.
“Sandalku!”
Sebuah teriakan mengejutkanku. Kubuka mataku, terlihat sebuah sandal terbawa arus mendekatiku. Kakiku reflek menahan laju sandal itu.
“Terima kasih.”
Kalimat pertama yang terucap olehmu kepadaku. Aku tergugu, diam membisu. Alam seakan berkata bahwa kamu akan menjadi salah satu tujuanku.

Sepatah-Patah Cerita (Cinta)

Sepatah-patah menjadi kata.
Ejaan pertama tentang asal mula. Tentang pembuka sebuah cerita dalam deretan gerbong kereta. Kita berjumpa, dalam tujuan yang (mungkin) sama . Aku hanya menerka karena kita berada pada satu kereta. Kamu yang entah dari mana, terduduk menghadap jendela. Kita saling sapa ketika kamu melihatku ada. Kamu membuka percakapan antara kita tentang ke mana, berapa lama, dan banyak hal lainnya.

Sepatah-patah menjadi rasa.
Ejaan kedua tentang cinta. Tentang alur sebuah cerita yang mengalir indah. Iramanyapun senada, membuat bunga dalam rasa yang kata orang disebut cinta. Kamu memang seorang manusia yang baru hadir di kehidupan nyata. Yang beberapa waktu lalu hingga detik ini masih membeberkan cerita, tapi tak sadar telah menyebar pesona. Tentang tutur kata yang kamu punya dan sedari tadi telah menyentuh rasa, menjadi secuil suka. Aku terpanah tanpa tahu harus berkata apa. Sungguh sulit dipercaya, mungkin ini yang dinamakan cinta.

Sepatah-patah menjadi luka.
Ejaan ketiga tentang derita. Tentang akhir sebuah cerita yang sudah berbeda dari makna indah. Terpampang di depan mata bahwa tak ada yang sempurna, begitupun dengan rasa. Ketika dering telponmu bergema, ceritamu berhenti seketika. Senyummu merekah membaca sebuah nama. Kamu menjawabnya. Nada bicaramu berubah, menjadi lebih mesra. Aku sadar seketika, ada yang salah tentang apa yang kurasa. Terhanyut oleh jalan cerita membuatku tak berdaya. Hatiku patah, terpecah-pecah.

Mungkin Tuhan ingin mengajarkan bahwa terlalu mudah jatuh cinta itu berbahaya.

Serambi Masjid

Sabtu malam adalah waktu favortiku. Bukan karena uforia yang disebut malam minggu oleh orang kebanyakan. Aku tak begitu suka hingar bingar, hanya sesekali ketika aku ingin. Cuma waktunya saja yang kebetulan sama.

Ketika kebanyakan orang akan pergi ke tempat hiburan, aku beda lagi. Ku kayuh sepedaku menuju masjid dekat rumah. Bertemu kamu seperti biasanya.

Tak tahu sudah berapa lama usia pertemanan kita. Mulai masih berwujud bocah ingusan sampai sudah kenal dandan. Kita memang berbeda tapi pemikiran kita searah. Kamu seorang aktifis, dari dulu aktif di berbagai organisasi dan kegiatan, masih berlaku sampai sekarang. Berbeda denganku yang hanya jadi rakyat jelata. Dunia kita memang sudah berbeda. Kita menimba ilmu di tempat yang berlainan arah. Tapi pertemanan kita masih sama. Walau tak sesering dulu, tapi kita sempatkan untuk bertatap muka. Dan hari Sabtu malam adalah waktu untuk kita.

Seperti biasa aku datang lebih cepat. Menunggumu yang masih di jalan. Adzan Maghrib berkumandang, tepat dengan kehadiranmu di depanku disertai senyum sembari memelukku.

"Walhamdulillahhirabbil'alaamiin." Imam menutup do'a.
Kita yang masih berbalut mukenah menuju serambi masjid, duduk bersila memulai cerita.

Di serambi masjid semua tercurah. Tentang mimpimu yang membuncah. Tentang cerita remeh temehku yang mengundang gelak tawa. Tentang nostalgia masa lalu kita. Tentang apa saja. Kita bercerita tanpa ada jedah kecuali adzan Isya' berkumandang. Dan masih berlanjut setelahnya, haha.. Semoga Allah tidak marah, menjadikan serambi masjidNya sebagai sarana cerita kita.

Lagu yang Tak Pernah Jadi

Aku seorang musisi. Ratusan lagu aku ciptakan. Banyak yang sedang didendangkan di radio dan media lainnya. Tak sedikit yang memintaku menciptakan lagu untuk mereka. Aku tak pernah kehabisan kata menulis syair, aku tak pernah kehabisan nada menjadikannya melodi yang mengalun syahdu. Tapi lagu untukmu tak pernah jadi karena menggambarkanmu dalam sebuah kata menjadi hal yang teramat susah. 

Aku seorang musisi. Beberapa penghargaan aku dapat untuk karyaku. Dalam kategori yang berbeda mereka mejadi hits. Bertahan menjadi playlist di radio dan acara musik berminggu-minggu. Katanya laguku mengalun pilu, tepat dengan suasana hati yang sedang kacau. Tapi sebuah lagu untukmu tak pernah jadi. Entah apa yang aku cari, mungkin ekspaktasi laguku untukmu yang terlalu tinggi.

Aku seorang musisi. Inspirasiku tercecer sebatas penglihatan mata. Apa yang aku lihat bisa aku sulap menjadi sebuah lagu. Tak ada yang meragukan kemampuanku. Mereka berkata seperti itu. Tapi menciptakan lagu untukmu aku tak bisa. Melihatmu justru membuatku kehilangan kata, terbata.

Sampai detik ini, saat aku mengetik tulisan ini. Lagu untukmu tak pernah jadi. Entah, mungkin suatu hari nanti.

Kemana Bukitku Kau Ambil?

Pagi ini begitu sejuk, matahari belum nampak. Aku mengayuh sepedaku semenjak tadi, sendiri. Area persawahan terbentang di depan mata, padi yang menguning terhampar luas siap untuk di panen. Tiga puluh menit berlalu, aku berhenti mengayuh. Aku menepi, berhenti sejenak melepas dahaga. Duduk seenaknya di trotoar sebuah perumahan, menenggak air di botol minuman yang aku bawa dari rumah. Sekarang aku menghadap pada sebuah lahan kosong, sebuah bukit kecil berdiri tegak di depanku. Rumputnya dikerumuni kambing-kambing milik warga sekitar. Walaupun sedikit berbau kambing, aku suka duduk di tempat ini. Karena dari sini aku bisa melihat matahari menyingsing, keluar dari singgasananya untuk menampakkan diri.

Hari ini adalah hari terakhirku bersepeda seperti ini. Menikmati pemandangan sebatas jangkauan mata. Aku harus bersiap meninggalkan tempat ini menuju kota orang untuk menjemput mimpi. Aku berlama-lama duduk menghadap bukit kecil ini. Mengabadikan moment kesukaanku dengan kamera di handphoneku, matahari terbit. Suatu hari aku akan kembali ke sini saat waktu memberikan kesempatan.
***
Tiga tahun berlalu sejak saat itu. Aku memang sering pulang ke rumah, tapi tak sempat ke mana-mana. Istirahat di rumah jauh lebih menyenangkan. Entah kenapa hari ini aku rindu pada kebiasaan lamaku. Sehabis subuh kukayuh sepedaku. Masih terlalu pagi, sejauh mata memandang aku masih berpapasan dengan ibu-ibu yang hendak berangkat ke pasar. Rute bersepedaku aku rubah, agak memutar jauh agar aku bisa sampai bukit kesukaanku tepat pada waktunya. Lama tak bersepeda cukup membuat kakiku payah. Tapi kakiku masih terus saja mengayuh, melaju.

Semua sudah berubah. Aku sedikit tak percaya, hamparan sawah yang biasanya ku lihat sekarang tak sehijau dulu. Sejuknya memudar lantaran berdiri beberapa bangunan rumah. Manusia bertambah banyak, tetapi lahannya tidak. Sawah sudah termakan zaman, kalah dengan bangunan kokoh bernama rumah. Itu adalah pemandangan lumrah yang terjadi sekarang.

Aku tiba pada bukit kesukaanku. Sepi, tak ada kambing merumput. Aku terhenyak seketika. Mencoba menerka, apa aku salah tujuan? Aku melihat sekitar. Ini perumahan yang sama, tapi dengan bukit yang berbeda. Bukit yang tinggal separuh, digerus mesin besar penggali tanah.

Pemandangan indah sepertinya mulai tumbang dimakan zaman. Semua yang bisa dijadikan lahan akan tergerus menjadi deretan bangunan. Termasuk bukit kecil di depanku sekarang, yang hampir rata dengan tanah. Jika paku bumi dihilangkan, lantas nikmat apa yang bisa membuatnya tertancap bertahan? 

Matahari mulai menampakkan wujudnya, tak segagah dulu seperti pemandangan yang kuabadikan di galeri handphoneku, menyising dibalik bukit, menghangatkan. Sekarang dia menyinsing dibalik traktor besar penggerus tanah, menyengat.

Cincin Jari Manis

Melingkar sebuah cincin di jari manis kiri. Sejak kecil hingga kini. Ia tersemat hampir satu seperempat dasawarsa hingga merekam jejak putih melingkar pada kulit. Banyak yang mengartikan bahwa ia merupakan simbol termiliki. Padahal itu hanya sebuah aksesoris namun terkadang berfungsi sebagai penjagaan diri.

Hari ini semua berubah, termasuk cincin di jari manis. Semenjak kehadiran seseorang dari dunia lain. Dia bukan alien, dia seseorang yang berasal dari luar orbit 'duniaku'. Seseorang yang mempunyai niat baik membina hubungan denganku. Seseorang yang sekarang duduk disampingku, mengucap janji di hadapan Ayah dan Bapak penghulu. Semenit lalu kami bertatap muka. Tak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya. Ia memandangku lekat, tampias wajahnya menggambarkan ketegangan namun ia menutupinya dengan senyuman tanggung yang canggung. Aku mengerti maksud eskpresi wajahnya yang seperti itu, aku hanya membalasnya dengan senyum.
"Saya terima nikah dan kawinnya..."
Kalimat itu terdengar jelas dalam indera pendengaranku. Jantungku berdegup tak beraturan. Air mata menggenang di pelupuk. Dia mengucapkan sebuah janji yang tak hanya di hadapan Ayah, bapak penghulu juga saksi-saksi, tapi sebuah janji yang terikrar di hadapan sang Ilahi.
"Sah.." terucap dari bibir para saksi.
Dia menghembuskan nafas lega, tersenyum sumringah kemudian memanjatkan do'a.

Tersemat selingkar cincin dalam jari manis. Cincin pengganti ia terdahulu yang melingkar satu seperempat dasawarsa. Tersemat cincin jari manis, bukan hanya sebuah aksesoris tapi sebenar-benar bukti bahwa hati sudah termiliki.

Tempat itu Bernama Pundak Emak

Sore ini aku merenung di sebuah emperan toko tempatku singgah. Akhir-akhir ini semua terasa berat. Aku berhenti sejenak untuk melepas dahaga. Pikiranku bergumul dengan peluh.

Apa yang kamu tunggu dari sebuah peluh?
Tempat berteduh

Aku ingin bercerita
Mengeja satu per satu bilangan peluh
yang hampir terangkum dalam barisan kata
bernama mengeluh

Aku menepis pikiranku sendiri. Emak tak mengajariku begitu.

Kring.. kring..
Telpon genggamku berbunyi
Emak menelponku.
Telepati terhubung. batinku.

"Halo Assalamu'alaikum." Jawabku
"Wa'alaikumsalam. Lagi dimana, Nduk?"
"Ini di supermarket beli minum."
"Sudah makan?" Pertanyaan rutin terdengar dari mulut emak.
"Belum Mak. Habis ini." Jawabanku yang sering begitu. Untuk menenangkan hati emak. haha..
"Emak lagi apa?"
"Ini lagi nunggu Bapakmu, mau ke kondangan. Ya udah, dilanjut nanti aja ya kalo kamu sudah sampai kos. Ada pesen?"
"Iya, Mak. Nggak ada."
"Hati-hati kalo pulang. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Emak memutus sambungan telponnya.

Aku terpisah ratusan kilometer dari rumah, dari Emak dan Bapak. Emak selalu begitu. Bertanya hal yang bisa ditebak, tapi itulah seninya. Sebuah perhatian khas seorang ibu. Ibu mana yang tega membiarkan anaknya kelaparan? Hihi...

Sebenarnya ada satu hal yang tak bisa aku jawab. Ada pesen? Pertanyaan itu yang tak bisa aku jawab lancar. Semua menguap tatkala suara emak terdengar.

Aku ingin bercerita, tentang apa yang aku rasa. Walau hanya sekedar resah, tapi hatiku mencegah. Jika boleh kuminta satu hal, aku ingin berada pada satu tempat. Tempat itu bernama pundak emak. Aku ingin bersandar pada pundak emak, memeluknya, menangis. Aku tak tahu apa yang aku tangisi, yang aku tahu itu bisa melegakan semuanya. Peluh mungkin hanya tinggal peluh, pundak emak yang ingin kurengkuh. Namun sebisa mungkin, aku tak akan melakukan itu. 




Jatuh Cinta pada Sunyi

Gelap
Bahasa ketenangan yang tak bisa disampaikan
kepada hingar bingar

Malam
Sebuah pesan damai
yang tak dipunya gemerlap cahaya

Sunyi
adalah pelengkapnya

Aku jatuh cinta pada sunyi
Jatuh cinta tanpa kata
yang memang tak perlu didendangkan

Aku jatuh cinta pada sunyi
Jatuh cinta sebatas pandangan
tanpa perlu kehadiran
tanpa perlu bayangan

Aku jatuh cinta pada sunyi
Jatuh cinta sedalam hati
tanpa perlu mengasihi
bahkan dikasihi

Aku jatuh cinta pada sunyi
Jatuh cinta sendiri
Tanpa perlu takut saling menyakiti
Karena aku jatuh cinta dalam sunyi

Ketika Kebahagiaan seperti Langit

Kebahagiaan terpancar di wajah
Ketika mata adalah jendela hati
Siapapun bisa mengerti

Hari ini saya menjadi saksi. Bahwa kebahagiaan seperti langit, berlapis. Di atas langit masih ada langit, itu juga berlaku pada sebuah kebahagiaan.

Duduklah sepasang orang tua dan anaknya di sebuah ruang tamu. Senyum sang anak begitu merekah, karena besok sewindu perjalanannya di tanah rantau mencapai puncaknya. Ia akan menyandang gelar baru di depan namanya. Gelar yang diimpikan sewaktu menginjakkan kakinya di sini, tanah rantaunya kini. Kebahagiaan terpancar jelas di wajahnya, sangat jelas. Berbeda dari kami yang masih harus berjuang.
Ada yang lebih bahagia dari si anak, kedua orang tuanya. Aura kebahagiaan beliau jelas terpancar walau tak terucap. Ada rasa bangga yang besar pada anaknya, terlihat dari bola mata beliau yang bersinar. Senyumnya yang dari tadi terus bekembang. Mungkin jika senyuman itu bisa dituliskan dengan kata-kata, ia akan menjadi berlembar-lembar.

Kejadian ini mengingatkan saya pada orang tua saya sendiri. Saat saya diterima di tempat asing ini. Kemudian saat saya wisuda empat tahun setelahnya di sini. Senyum emak dan bapak begitu merekah. Wajahnya menunjukkan rasa bangga. Ada kebahagiaan yang tidak bisa diutarakan namun jelas terbaca. Emak tak henti-hentinya bercerita bahwa beliau sudah lega, melihat saya seperti sampai pada titik ini. Bapak yang lebih diam daripada emak, mempunyai aura yang sama, aura kebahagiaan. Mungkin akan terjadi lagi saat saya menyelesaikan apa yang saya tempuh sekarang (aamiin...).

Dari sini saya belajar bahwa, apa yang dicapai seorang anak saat ini mungkin adalah kebahagiaan yang besar buatnya sendiri. Tapi kebahagiaan yang ia punya adalah nikmat yang tak terhingga untuk orang tuanya.

Dia Hanya Ingin Tampil Cantik

Dia hanya ingin tampil cantik.
Tak perlulah melihatnya dari atas sampai bawah. Tak ada yang salah dengan pakaiannya. Dia hanya ingin berpenampilan lebih dari pakaian yang biasa dia kenakan. Kurasa pakaian yang dikenakannya masih sesuai norma yang kita anut.

Dia hanya ingin tampil cantik.
Tak perlulah memandang seperti itu. Memandang dengan tatapan yang membuatnya canggung. Dia hanya ingin terlihat berbeda dari biasanya. Bukankah dia masih perempuan yang sama seperti yang kamu kenal?

Dia hanya ingin tampil cantik.
Tak perlulah kamu berkomentar tentang apa yang ia kenakan. Cukup lihat ia sewajarnya. Jika kamu rasa ada yang kurang pas, bolehlah kamu beri saran di waktu yang tepat. Saat kamu dan dia sedang berdua, bukan di depan banyak orang dengan nada sumbang.

Dia hanya ingin tampil cantik.
Besok atau lusa, belum tentu dia akan berpenampilan seperti ini. Karena hari ini merupakan salah satu hari terbaiknya. Aku harap kamu tidak menyinggungnya dengan kata atau perbuatan apapun.

Dia hanya ingin tampil cantik.
Bisa jadi karena dia ingin menjadi secantik kamu. Walaupun kita tahu, semua perempuan pada dasarnya cantik. Mungkin kamu telah menjadi inspirasinya dalam penampilannya kali ini, karena kita tak bisa membaca pikirannya maka bersikaplah sewajarnya.

Menghapus Keraguan

"Maumu apa?"
Itu adalah pertanyaanmu yang kudiamkan hingga kini. Aku masih sibuk dengan pikiranku. Aku tau dengan pilihanku, tapi sepertinya tidak denganmu.
Seperti wanita pada umumnya, perasaanku lebih dominan daripada logikaku. Mungkin sebagian orang berfikir aku telah melakukan hal gila.
“Kamu ingat berapa sekarang umurmu?”, tanyamu berikutnya.
Aku menghela nafas. Jengah mendengar semua ocehanmu sedari tadi setelah aku ceritakan apa yang telah terjadi. Kamu memang teman kecilku, siap memasang badan untuk setiap masalahku. Aku sempat menjulukimu Satria saat itu. Tapi tidak untuk situasi seperti sekarang. Aku butuh jedah untuk masalah ini. Aku pikir kamu mengerti. Tapi nyatanya tidak demikian.
“Ya, aku ingat”, jawabku singkat.
“Apa kamu juga ingat harapan terbesarmu saat ini? Kamu bercerita padaku berkali-kali dan kenyataannya seperti ini. Aku tidak habis pikir. Wanita memang sulit dimengerti.”
Aku cuma mengangguk.
Sepertinya kamu kewalahan menghadapi sikapku dan memutuskan untuk ikut duduk di sebelahku karena sedari tadi yang kamu lakukan hanya berdiri dan menceramahiku.
Kita diam sejenak. Aku tak tau apa yang kamu pikirkan. Aku hanya yakin dengan pilihanku.
“Kamu sadar nggak siapa dia?”, kamu membuka pertanyaan lagi.
“Ya, aku tau. Dia adalah sosok pria yang dieluh-eluhkan wanita kebanyakan.”
“Lalu, kenapa kamu menolak niat baiknya untuk mendampingimu?”

Tak Ada yang Benar-Benar Berakhir

Tak ada yang benar-benar berakhir, ketika terucap dari bibir, 'ini sudah berakhir'.
Tak ada yang benar-benar berakhir, saat sebuah akhir berubah menjadi kenangan.
Tak ada yang benar-benar berakhir, ketika kenangan tetap hinggap dalam pikiran.

Tentang sebuah akhir yang tak benar- benar menjadi akhir.
Yang diharapkan usai, atau hilang dari peredaran hidup.
Yang sudah tak terlihat mata.
Yang sudah tak ada dalam daftar rutinitas.

Tak akan pernah menjadi akhir bila pada akhirnya ada sepatah angan dalam kenangan.
Yang terus dipikirkan.
Bahkan mungkin sesekali diingat.

Mengakhiri yang sudah berakhir seperti mempelajari bagaimana cara melepaskan dan mengikhlaskan.
Tak akan ada teori atau rujukan dari literatur dengan sumber terpercaya.  Itu adalah pelajaran kehidupan yang tak ada dibangku sekolah. Pelajaran hati agar selau berhati-hati.

Dan kamu tak perlu tahu, seberapa sering aku berucap, 'ini adalah akhir'.
Tapi nyatanya kamu tak pernah benar-benar berakhir seperti ucapanku.

Teman Nostalgi(L)a

Suatu hari, entah esok, lusa atau tahun berikutnya, aku akan tersenyum melihat kumpulan wajah kita dalam bingkai-bingkai foto.
Suatu hari, entah esok, lusa atau tahun berikutnya, aku akan bercerita tentang kalian pada orang-orang yang aku temui.
Suatu hari, entah esok, lusa atau tahun berikutnya, aku akan menuliskan serangkaian kata untuk kalian.

Kita bertemu dalam bentuk seadanya. 
Masih berwujud bocah berseragam sekolah.
Kita bercerita tentang apa saja.
Kita punya bahasa yang tak akan dimengerti oleh mereka.
Kita tak pernah tahu akhir cerita tentang kita, karena pertemuan terakhir kita bukanlah sebenar-benarnya akhir.



Kita adalah bagian masa lalu yang masih diperkenankan untuk bertemu. Semoga masih ada pertemuan-pertemuan lain yang merekam sebingkai kebahagiaan kita seperti ini.

Waktu adalah saksi ketika kita mencari celah satu hari dalam hitungan tiga ratus enam puluh lima hari untuk bisa bercengkrama seperti ini. Semoga akan ada satu hari-satu hari selanjutnya untuk kita.

Sepenggal Impian di Emperan Toko (4)

"Apa itu, Om?" Aku penasaran dengan gulungan kertas yang diikat dengan pita warna merah yang Om Bagas berikan padaku.
"Buka aja." Katanya sambil menyodorkan gulungan kertas itu.
Aku menerimanya. Kulepas ikatan pita merah itu, dan kubuka gulungan kertasnya. Disana terpampang jelas wajahku dalam bentuk sketsa. Aku sedang tertawa lebar dengan jilbab khas anak SMP yang kupakai setiap harinya. Di pojok kanan bawah terdapat tulisan be a good girl as always, tanggal dan simbol yang selalu Om Bagas gunakan untuk setiap karyanya.
"Hwaaaa.. Om Bagaaaasss. Baguuuusss!" Aku memeluk sketsa yang diberi Om Bagas sambil setengah menjerit.
"Ssst, teriaknya jangan kenceng-kenceng! Nanti orang ngira aku ngapa-ngapain kamu." Kata Om Bagas menepuk bahuku.
"Ini bagus, Om. Aku terharu." Aku memandang lekat sketsa yang dibuat Om Bagas.
"Tapi, Om..."
"Apa?"
"Ini nggak bayarkan? Seingetku Aku nggak pernah pesen." Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
"Hahaha.. Kamu mau bayar ini pakek apa? Buat beli komik aja kamu harus nabung dulu berhari-hari, apalagi buat bayar ini." Om Bagas terpingkal.
"Ya kali Om, aku disuruh bayar. Tapi makasih banyak lho Om. Habis ini aku mau minta Ibu buat beliin pigura, mau aku pasang di kamarku." Aku nyengir.
"Bener-bener fans sejati ya kamu? Hahaha..."
"Kan aku udah bilang dari awal kalo aku suka karyanya Om Bagas." Aku menggulung kembali sketsa pembelian Om Bagas.
Entah kenapa suasana tiba-tiba hening. Om Bagas menunduk, entah apa yang dipikirkan.
"Jeng..." Katanya tiba-tiba.
"Apa, Om?"
"Selalu jadi gadis baik ya!"
Aku memasang tampang bingung, tak paham dengan maksud Om Bagas dan hanya mengangguk.
Sore itu adalah hari terakhirku bertemu Om Bagas. Besoknya Om Bagas sudah tak membuka lapak lagi di emperan toko. Terasa aneh memang sepulang sekolah tak ada Om Bagas, tapi mau gimana lagi.

Beberapa waktu setelahnya aku juga disibukkan dengan persiapan masuk pondok. Menguras tenaga dan pikiran. Tapi Alhamdulillah, aku lolos. Aku pulang hanya jika ada libur panjang. Sampai tahun ke dua SMAku, aku pulang dari pondok. Ku buka kamarku.
"Buuu.." teriakku dari dalam kamar.
"Apa, Jeng?"
"Ini apa? Ko' ada bungkusan kado besar banget di kamarku?" Kulihat ada sebidang kotak berukuran besar yang dibungkus kado.
"Buka, aja. Jeng. Itu kado. Sebulan yang lalu dikasih. Kamunya masih di pondok."
Kusobek perlahan kertas kado yang membungkus sebidang kotak itu. Sekarang terlihat jelas isinya. Aku terduduk di lantai, mengangah tak percaya. Kututup mulutku dengan kedua tanganku. Mataku berkaca. Sebuah lukisan berpigora ukuran 30R. Disana berlatar biru muda, ada dua orang di lukisan itu. Seorang laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki sedang sibuk menggambar dan yang perempuan berseragam sekolah sedang duduk di depannya melihat gambar si laki-laki itu. Seketika aku teringat Om Bagas.
Di pojok kiri pigura, terselip sebuah amplop berwarna biru. Ku ambil amplop tersebut, di sana ada tulisan 'untuk Ajeng'. Kubuka amplopnya.

Halo, Jeng. Gimana kabarnya? Masih inget aku, yang biasanya kamu panggil Om? hehe..
Maaf ya, tak sempat menemuimu secara langsung. Aku tau, mungkin aku memberi ini di waktu yang kurang tepat, sewaktu kamu masih di pondok. Tapi ini memang harus aku berikan sebelum aku kembali ke rutinitasku buat kamu yang sangat berjasa. Ini adalah sebuah lukisan yang khusus aku hadiahkan buat kamu. Mungkin ini nggak sebanding dengan apa yang sudah kamu lakukan buat aku. Di hari terakhir kita ketemu dulu, aku belum ngucapin terima kasih ke kamu. Terima kasih sebesar-besarnya buat kamu. Di hari pertama kamu singgah ke lapakku, aku pikir kamu cuma bocah ingusan sambil lalu. Datang karena tertarik sesaat. Itu awal pikiranku. Tapi ternyata tidak. Kamu memang fans sejatiku, Jeng. Fans nomer satuku.
Apa kamu tahu, Jeng?
Kenapa aku buka lapak di emper toko itu? Aku tidak punya tempat untuk berkreasi. Ekspektasi orang-orang sekitarku terlalu tinggi. Mereka hanya melihatku sebagai penerus usaha orang tuaku. Tak ada yang menghargai hobiku, termasuk orang tuaku sampai aku bertemu kamu. Enam bulan sebelum bertemu kamu aku merintis orderanku di kalangan teman-temanku. Aku berkilah kalau itu usaha temanku dan aku hanya mempromosikannya. Mereka tak ada yang tahu kalau itu hasil buatanku. Ya setidaknya dari sana aku merasa karyaku dihargai. Enam bulan setelahnya aku bertemu kamu. Seorang anak kecil yang masih polos yang terkagum-kagum melihat karyaku. Kamu dengan karakter dan kepolosanmu menjadi motivasiku kalau karyaku masih dapat terus berkembang. Aku tersadar saat kamu pernah berkata 'kenapa Om nggak jadi komikus aja? sebagai fans yang baik, aku bakal beli karya Om.' Aku semakin percaya saat aku memberikan sketsa wajah ke kamu. Ekspresimu nggak akan aku lupa. Matamu yang terbelalak senang dan jeritanmu. Aku semakin yakin untuk memulai hal besar.
Dan dari hari itulah semuanya dimulai, Jeng. Aku mengembangkan minatku ke sanggar lukis sehari setelah pertemuan terakhir kita. Aku bercita-cita menjadi pelukis sejak kecil Jeng, tapi tak ada yang bisa mengerti. Bulan-bulan awal aku sembunyi-sembunyi. Tapi setahun setelahnya aku bisa meyakinkan orang tuaku. Aku berhenti kuliah, fokus pada apa yang aku impikan. 
Sekarang aku sudah punya galeri sendiri di Jakarta. Aku menjadi guru seni di sanggarku sendiri. dan sudah beberapa kali mengadakan pameran di sana. 
Maaf untuk pertanyaanmu yang kadang tidak aku jawab. Aku pikir kamu tak perlu tahu masalahku. Aku juga nggak mau jika pada akhirnya kamu menyukai karyaku karena belas kasihan dan ujung-ujungnya memotivasiku untuk terus maju. Aku cuma butuh sebuah penghargaan tulus seperti yang kamu lakukan selama ini. Terima kasih sudah hadir di masa sulitku, terima kasih sudah dengan terang-terangan menjadi fansku. Tanpa kamu sadari, kamu adalah motivator handal yang terbungkus dalam wujud bocah, aku dapat banyak pelajaran dari kamu. Sekolah yang rajin ya. Kalo nanti main ke Jakarta jangan lupa mampir ke sanggarku. Ini alamat dan nomer telpon yang bisa kamu hubungi kalo kamu ke sana.
Salam bahagia,
Idolamu :p

nb: Mungkin pada akhirnya aku nggak jadi komikus seperti yang kamu bayangkan. Tapi apa yang kamu lihat sekarang adalah hasil karyaku. Lagi-lagi ini gratis, kamu nggak perlu nabung untuk beli lukisanku. hahaha...

Aku terpaku melihat lukisan di depanku, terbayang masa SMPku saat bertemu Om Bagas. Semoga selalu sukses Om :)

Sepenggal Impian di Emperan Toko (3)

Sudah setahun aku mampir ke lapak milik Om Bagas. Dia sudah seperti kakakku sendiri. Banyak sekali hal yang diceritakan ke aku. Tapi lebih tepatnya aku yang lebih banyak cerita. Om Bagas adalah tipikal lelaki pendiam. Kadang aku mengerjakan PR di lapak Om Bagas kalo sedang malas pulang cepat.
"Om, do'ain aku ya?"
"Do'ain apa?"
"Minggu depan aku mau Ujian Nasional Om. Deg deg an nih."
"Kamu belajar nggak?"
"Ya belajar Om, tapi sekolah tiga tahun ditentukan tiga hari itu rasanya gimana gitu."
"Ya jadiin itu motivasi. Aku do'ain moga kamu bisa ngerjainnya. Dapet nilai bagus. Terus satu lagi."
"Apa Om?"
"Mulai besok, mending kamu langsung pulang ke rumah. Istirahat yang cukup, biar bisa dibuat belajar malemnya. Main ke sininya kalo kamu sudah selesai ujian. Oke?"
"Iya Om."
Aku menuruti kata Om Bagas. Esoknya, sepulang sekolah aku hanya menyapa Om Bagas di lapaknya tidak mampir seperti biasa. Dan seminggupun berlalu.
"Halo Ooomm.." Aku tertsenyum sumringah.
"Yang seneng udah selesai ujian. Sini sini." Om Bagas mempersilahkanku duduk di bangku kecil sebelahnya.
"Gimana ujiannya? Sukses?"
"Alhamdulillah, Om. Do'ain nilainya bagus ya."
"Pasti, selalu itu." Dia mengangkat jempolnya.
"Lagi nggak ada orderan, Om?" Kulihat Om Bagas tidak sedang meyelesaikan sketsanya.
"Hari ini sepi, Jeng. Ada si tadi, tapi sudah diambil orangnya. Btw, habis ini kamu mau lanjut sekolah di mana?"
"Ada sekolah bagus Om, tapi harus sekalian mondok di sana. Jadi mungkin habis ini aku mondok, Om."
"Jadi bu Nyai dong habis itu? hehe.."
"Apaan sih, Om. Orang masih bau kencur gini."
"Haha.. anak ingusan lebih tepatnya. Eh, rumahmu sebelah mana?"
"Om tau pojokan kompleks toko ini? Belok kanan, nanti ketemu minimarket kiri jalan. Nah, rumahku sebelahnya pas yang cat ijo. Mau main?"
"Nggak, cuma tanya aja."
"Nggak kerasa ya, Om?"
"Apanya?" Dia memasang wajah bingung.
"Aku maen-maen ke sini udah setahunan lebih.  Terus bentar lagi aku nggak ke sini. Om nanti jangan lupain aku ya? Kalo nerbitin komik kabarin aku ya. Hihihi..." Aku tergelak.
"Beres, nanti kalo komikku jadi, kamu orang pertama yang aku kasih tahu." Dia tersenyum lebar, "Aku juga habis ini tutup lapak, Jeng. Besok udah nggak jualan di sini"
"Lho, ko' gitu? Om mau ke mana?" Tanyaku dengan nada sedih.
"Aku ada proyek, Jeng. Jadi sudah nggak bisa nyambi di sini lagi." Om Bagas mengangkat alisnya.
Aku cuma diam mendengar jawaban Om Bagas.
"Oh ya Jeng, ini buat kamu." Tiba-tiba Om Bagas mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.

Sepenggal Impian di Emperan Toko (2)

Sesampainya di rumah, ternyata Mas sudah pulang. Sedang melihat tv. Aku duduk di sebelahnya.
"Dari mana aja kamu jam segini baru pulang?"
"Nangkring di emperan toko Mas. hehe.."
"Ngapain?" Mas mengangkat alisnya heran.
"Terpesona sama orang. hahaha."
"Ngomong yang bener. Ditanyain masnya kok." Mas mencubit pipiku.
"Aduh Maaas.. sakit." Aku mengusap-usap pipiku.
Aku melanjutkan obrolanku, "Terpesonanya si bener Mas. Tapi sama karyanya orang. Jadi tadi di komplek toko itu ada orang kerjaannya gambar sketsa gitu. Bagus banget mas. Kayak di komik-komik gitu cuma itu real. Aku berhenti di sana. Tanya-tanya. Kalo tafsiranku sih yang gambar itu seumuran Mas. Tapi tadi taku panggil Om. Lha dia ngagetin nepuk pundakku, akunya reflek."
"Hati-hati lho sama orang yang nggak dikenal, dek. Awas diculik!" Mas menakutiku.
"Kelihatannya baik Mas orangnya, lagian kalo diculik nggak mungkin. Di sana kan rame. Tenang aja, kalo nanti kenapa-kenapa aku bisa teriak."
"Bagus, kalo ada apa-apa bilang aku ya!"
"Beres, Mas."

Esoknya selepas sekolah aku langsung menuju emperan toko.
"Halo, Om." Aku nyengir lebar.
"Eh, kamu Jeng."
Kulihat Om Bagas hampir menyelesaikan sketsanya.
"Laris ya, Om?"
Dia tersenyum lebar, "Alhamdulillah, ini pesenan temanku di kampus, Jeng."
"Lho, Om ini mahasiswa?"
Dia mengangguk.
"Kampusnya di mana?" Aku menggelar koran yang sudah kubawa dari rumah, duduk disampingnya.
"Tuh, di depan kantor kedutaan."
"Anak teknik dong? Nggak nyangka. Tapi kalo anak seni bisa gambar itu udah biasa ya Om. Lanjutkan Om." cerocosku.
"Iya, aku anak teknik."
"Tapi kenapa nggak buka lapak di kampus aja, Om? Pasti lebih laris. Kan banyak temen-temennya Om Bagas di sana?"
Dia diam saja,  masih melanjutkan aktivitasnya mungkin sedang fokus. Aku bisa memaklumi.
"Tapi jam segini apa nggak kuliah Om?" Tanyaku tiba-tiba.
"Kebetulan jam segini aku nggak ada jam kuliah, jadi bisa di sini sampai sore."
Om Bagas sudah selesai dengan sketsanya. Dia mengambil botol air mineral kemudian meminumnya.
"Om kenapa nggak jadi komikus aja? Kalo Om bikin komik, pasti aku beli. Tenang Om, aku nggak bakal minta gratisan. Sebagai fans yang baik, aku bakal beli karyanya Om."
Dia sedikit tertgun kemudian tertawa.
"Hahaha.. beneran mau beli?"
"Iya, Om. Aku punya banyak komik di rumah tapi kebanyakan komikus Jepang kayak Aoyama Gosho dll. Yang lokal cuma dua, karyanya Om Sweta Kartika sama Om Alex Irzaqi. Mungkin Om Bagas mau jadi komikus lokal ketiga favoritku? Gambar Om Bagas bagus lho, kerasa hidup. Makanya aku suka di sini. Selain alasan karena nggak bisa gambar, jadinya aku suka lihat orang-orang yang pinter gambar. Sedikit iri sih Om." cerocosku
"Ya kalo kamu suka liatin orang gambar ke sini setiap hari aja."
"Beneran nggak apa-apa Om?" Mataku terbelalak senang.
Dia tersenyum.
Sejak hari itu, hampir setiap hari aku menyempatkan diri mampir ke lapak Om Bagas.

Sepenggal Impian di Emperan Toko (1)

"Pulang dulu yaaaaa.. Besok jangan lupa berangkat pagi. Kamu waktunya piket kelas!" Aku cuma nyengir mendengar ocehan teman sebangkuku yang hendak pulang ke rumah.
Aku adalah seorang siswi SMP kelas VIII. Sekolahku tak jauh dari rumah. Cukup berjalan kaki lima menit, melewati kompleks pertokoan, tak jauh di deretan pertokoan itu sekolahku berdiri.
Masih jam satu. Rumah pasti masih sepi. Ayah, Ibu, sama Mas pasti masih belum pulang, pikirku. Aku bosan di rumah sendirian kalo pulang sekolah. Tapi nggak tau mau main ke mana. Aku berjalan santai setiba di kompleks pertokoan. Di sana sebenarnya ada toko buku, tapi aku sedang tak ada uang. Sampai di halaman sebuah toko yang tutup aku berhenti. Terpampang berbagai macam sketsa wajah dengan berbagai macam ukuran. Tergambar ekspresi yang sempurna.
"Mau bikin, Dek?" Dia menepuk bahuku.
"Eh... nggak, Om. Cuma lihat aja. Nggak apa-apa kan?" Aku terjingkat karena ada seseorang yang tiba-tiba menepuk bahuku.
"Iya, nggak apa-apa."
Jika dilihat dari fisiknya, menurut perkiraanku orang yang sekarang di depanku ini sebenarnya seumuran dengan Masku yang sedang kuliah. Tapi aku terlanjur memanggilnya Om. Tak apalah.
"Om baru ya di sini? Perasaan kemaren waktu aku pulang sekolah belum ada."
"Iya, baru hari ini buka. Kebetulan toko ini bukanya malam. Jadi minta ijin yang punya toko dulu ee.. ternyata dibolehin." Dia mengambil sebuah kertas berukuran A4 dengan alasnya dan sebatang pensil.
"Ooo.. Om mau gambar?" Aku lebih mendekat ke arahnya.
"Iya. Ini lagi ada pesenan."
Aku berjongkok di depannya. Dia mulai menggambar sketsa wajah. Sekali gores langsung mulus. Lihai sekali pikirku, aku aja nggak bisa gambar. Sejarah pelajaran gambarku adalah dua buah gunung yang ditengahnya ada jalan yang diintari sawah.
"Kamu nggak pulang? Nggak dicari Ibumu?" Dia menghententikan aktivitasnya menatapku.
Aku mendongak ke arahnya, "Jam segini di rumah sepi Om. Ayah sama Ibu masih kerja. Masku masih kuliah. Males di rumah sendirian."
Dia hanya mengangguk.
"Namamu siapa?"
"Ajeng, Om. Namanya Om siapa?"
"Namaku Bagas." ia melanjutkan sketsanya.
Disana tergambar dua bocah laki-laki bersama ibu dan ayahnya.
"Sudah lama Om kerja ginian?"
"Suka nggambarnya sih udah lama Jeng, Tapi buka usaha gini baru enam bulan."
"Om kok pinter gambar sih?"
"Hahaha... pertanyaanmu susah dijawab, Jeng." Baru kali itu dia tertawa.
Aku cuma garuk-garuk kepala, "Salah Om?"
"Ya kan tiap orang punya bakat sendiri-sendiri, Jeng." Dia tersenyum lebar.
"Iya juga sih."
"Eh, kamu duduk bersila aja. Nih pakai koran. Jangan jongkok gitu. Nggak capek kamu jongkok terus?" Dia memberiku sehelai kertas koran.
"Lumayan capek Om. hehehe.."
Om Bagas melanjutkan sketsanya. Aku melanjutkan melihat sketsanya.
"Jam berapa ini Jeng? Kamu nggak pulang?"
Aku melihat jam tanganku, "Wew.. nggak kerasa Om udah mau sore. Ya udah Ajeng pulang dulu ya Om. Boleh mampir lihat lagi kan Om?"
"Iya, boleh. Ya udah sana pulang. Nanti dikira kamu diculik lagi."
"Sip Om, aku pulang dulu."
Aku berdiri, melipat kertas koran yang diberikan Om Bagas tadi, membuangnya ke tempat sampah, lalu pulang.

Terima Kasih

Terima kasih sudah memberi kesan
Walau hanya separuh jalan
Tapi sudah cukup sebagai pelajaran

Terima kasih telah menjadi kenangan
Walau hanya untaian angan
Akan selalu terpatri dalam ingatan

Terima kasih telah mejadi cerita
Walau sekarang sudah tak di depan mata
Akan kurangkum menjadi rentetan kata

Terima kasih sudah pernah singgah
Walau hanya sementara
Tapi sudah cukup untuk mengenal asa

Terima kasih pernah menjadi candu
Walau sempat didekap rindu
Tapi itu hanya masa lalu

Membersamai Masa Lalu

Setiap orang meletakkan masa lalu pada tiga tempat yang berbeda.

Ada orang yang meletakkan masa lalunya di depan. Ia meletakkannya di depan agar selalu terlihat. Bukan karena ingin berkaca, tapi karena memang ia menikmati masa lalunya. Entah itu kebahagiaan yang luar biasa atau bisa jadi tentang penyesalan yang mendalam. Ditatapnya kemana-mana, mungkin karena sangat berarti dan sangat tertancap di hati.

Ada orang yang meletakkan masa lalunya di samping. Alih-alih bukan sebagai pendamping, hanya saja ingin masa lalunya hadir sebagai pengingat. Tak harus dilihat, tapi harus selalu dekat.

Ada orang yang meletakkan masa lalunya di belakang. Dijadikannya sebagai pelajaran agar tak terulang. Masih ingatkah dengan teka-teki kenapa kaca mobil di depan lebih besar daripada kaca spion? Mungkin itu paham mereka yang digunakan sebagai acuan menghadapi masa lalu. Agar masa lalu dilihat sesekali karena jelas terpampang masa depan di depan mata yang harus dijalani.

Penyair Patah Hati

Malam itu, di kamarmu. Aku yang tak tahu harus melakukan apa di akhir pekan, memilih bermalam di rumahmu walau hanya sekedar berbincang atau sibuk dengan gadget masing-masing, tapi setidaknya aku tak sendirian.
"Nih..", kamu menyodorkan 'ponsel pintarmu' kepadaku. Dan aku menerimanya. Sebuah quote dari blog yang kamu suguhkan padaku.
Patahkan hati seorang penulis, karyanya akan menggema.
(ahmadkrishar, 2015)
"Terus?", aku bertanya bingung padamu.
"Itu tulisan kamu banget. hahahaha..", jawabmu.
"Maksudmu? Aku bukan seorang penulis sekelas penulis-penulis yang kamu baca tulisannya. Yang karyanya terkenal dimana-mana", ujarku.
"Iya, kamu memang bukan penulis seperti itu, tapi kamu penyair. Penyair patah hati. hahaha..", kamu terus menertawaiku.
"Patah hati? Aku nggak sedang patah hati, Buktinya sekarang aku baik-baik saja, nggak keliatan galau kan?", aku mengeryitkan dahi.
"Kamu memang sekarang nggak sedang galau, tapi ketika masa galaumu tiba, tulisanmu menggema seperti penyair dan isinya terkesan sedih seperti orang yang patah hati. Sebentar-sebentar aku tunjukkan salah satu karyamu.", katamu.
Aku menunggumu yang berkutat dengan gadgetmu. Aku masih belum bisa terima tentang julukan Penyair patah hati dari-mu.
"Nih, coba baca tulisanmu sendiri.", katamu tak berapa lama.
Aku menerima 'ponsel pintarmu' dan segera kubaca. Tulisan yang ada di blogku beberapa waktu silam.

Sudah kutitipkan pada-Nya sebentuk benda bernama hati
yang sangat perasa dan
sering mendamba

Sudah kutitipkan pada-Nya sebentuk rasa bernama cinta
yang katanya indah dan
membuat buta

Sudah kutitipkan pada-Nya ukiran nama bertulis kasih
entah untuk yang terkasih, atau
sang pengasih

Dan sepertinya sudah kutitipkan pada-Nya semua hal yang berhubungan dengan rasa
manis, asam, asin
rame rasanya
*eh, fokus ヽ( ・∀・)ノ┌┛( ゚д゚)・∵

Pada akhirnya memang sudah kutitipkan pada-Nya, serangkaian kata bernama hati, cinta, kasih, dan rasa
yang membawa kata dag.dig.dug di sela hurufnya. Yang membuat gelisah dalam rentetan suku katanya. Karena mungkin hati sudah lelah mencari, menunggu, dan terluka.

Coretan ini ada ketika seseorang benar-benar pasrah. Bukan ia tidak mau berusaha. Hanya saja belum terpikir olehnya terusik kembali dengan kata bernama rasa.
Coretan ini ada ketika rasa belum benar-benar berbentuk rasa, ia takut akan menjelma menjadi segores luka
Coretan ini ada karena sekelumit rasa percaya bahwa apa yang sudah dititipkan pada-Nya akan benar.benar kembali berbentuk sebuah rasa
coretan bulan April, 2012. Sudah kutitipkan pada-Nya

Aku meninju pundaknya pelan sambil tersenyum.
"Sial.."
'Betul apa katanya', batinku.

Adakah Pertemanan Abadi?

Siang ini aku terbangun. Kuambil telpon genggamku kemudian kuketik sebuah pesan
'aku bangun tidur
mimpi main ke rumahmu
kebangun gara-gara mimpi sholat, dan memang belum sholat
kangeeeen'

Aku sekarang hanya bisa mengenang kisah.
Masa di mana aku dan kalian masih bersama.
Masa di mana bertemu tak menjadi persoalan.
Sekarang hal itu menjadi berbeda, setelah kalian menikah.

Kedekatan terakhirku dengan kalian adalah ketika kalian memintaku menjadi sie. humas. Mengantar satu persatu undangan ke rumah teman-teman. Kedekatan berikutnya adalah ketika acara akad kalian terlaksana dan terlegelarnya resepsi pernikahan.
Disaat seperti itulah pertemanan kita baru terasa.
Memang benar kata orang, 'kau tak pernah tahu apa yang kau miliki hingga nanti kau kehilangan'

Perasaan suka itu ada, ketika kamu telah menemukan belahan jiwamu.
Perasaan dukapun demikian, ketika jelas nampak di depan mata kita tak akan bisa seperti dulu lagi.

Aku belajar, saat satu persatu dari kalian memutuskan untuk membina rumah tangga.
Pertemanan mempunyai siklus. Kita adalah beberapa orang asing yang dipertemukan untuk menjadi bagian dari perjalanan hidup kita. Kita juga seorang manusia yang mempunyai mimpi. Pertemanan kita memang sejalan, tetapi tujuan hidup kita berbeda. Bukankah kita berjalan bersama untuk saling mendukung mimpi kita?

Teringat olehku pada sebuah sore, saat aku main ke rumahmu
Kita memang sudah jarang bertemu. Prioritasku sudah tak seperti dulu. Aku tak bisa sering menghubungimu. Tapi kita masih bisa saling mendo'akan.
Kata-kata itu selalu terngiang saat aku mulai merasa sendiri. Saat aku rindu kebersamaan kita.

Tak ada yang abadi di dunia ini. Begitupun dengan kebersamaan kita. Tapi pertemanan kita akan selalu ada. Karena kita masih bisa saling menyapa meski lewat do'a.

Kenapa Aku Mengenalmu?

Aku bukan seorang yang berpaham bahwa ada kebetulan di dunia ini. Semua sudah digariskan olehNya. Begitupun dengan pertemuanku denganmu.
Pertemuanku denganmu bukan sebuah kebetulan. Ia telah digariskan pada hari, jam, dan detik itu juga. Aku tak menyangka bisa mengenalmu hari itu. Kamu menyuguhkan sekotak perkenalan yang menyenangkan, dan aku suka. Kamu berhasil membuatku menerima kehadiranmu, dan aku terbiasa. Banyak hal baru yang kamu tunjukkan buatku. Tentang apa yang tak ku mengerti dan apa yang tak ku tahu.
Kupikir tetap berada bersamamu adalah hal yang tak terlalu sulit. Tak perlu segala hal ihwal untuk menjaga eksistensi keberadaanku untukmu. Tapi ternyata aku salah. Kamu menjaga jarak seketika. Perlahan tapi pasti. Aku merasakannya. Kamu seolah sudah tak nyata, menjadi bayangan, kemudian menghilang.
Sempat bertanya aku salah apa? Tapi kamu sudah tak terkejar dan aku masih berteman dengan penasaran. Dan tiba-tiba ada yang datang memberi penjelasan. Lidahku peluh, ternyata aku belum benar-benar mengenalmu. Ia mengindahkan, memberi masukan, mengubah pemikiran bahwa tak selamanya hitam benar-benar gelap.
Aku sadar, mengenalmu bukanlah sebuah kesakitan. Ia adalah terima kasih yang tak perlu dimengerti.

Hujan Matahari

Buku Hujan Matahari karya Mas Kurniawan Gunadi saya beli tahun lalu sekitar delapan bulan lalu. Kenapa saya beli bukunya? Karena saya suka tulisan Mas Gun. Saya tidak setiap hari membuka blog, tapi setiap kali membuka blog dan membaca tulisan Mas Gun, saya selalu tertegun. Tulisan yang saya baca di hari itu, pas dengan suasana hati. Entah sebuah kebetulan atau apa tapi sering terulang seperti itu.

Baiklah, ijinkan saya mulai mereview Hujan Matahari. Saya pernah mendengar istilah menulislah dengan hati, maka akan sampai ke hati. Mungkin seperti itulah Hujan Matahari tercipta. Buku karya Mas Gun ini sarat dengan rasa. 

Ada tiga point besar yang ingin saya utarakan tentang Hujan Matahari.
Yang pertama tentang sudut pandang. Dalam Hujan Matahari ini tertulis berbagai sudut pandang, mulai dari sudut pandang seorang laki-laki, perempuan, ayah, ibu, hujan, dll. Saya terkesan, Mas Gun mampu menuliskannya secara sempurna. Kalo boleh jujur, saya sebagai perempuan heran dengan tulisan-tulisan Mas Gun yang memakai sudut pandang perempuan.  Seperti tulisannya yang berjudul Suatu Sore di Bawah Pohon Randu misalnya. Apakah Mas Gun sangat mengerti perempuan? Hehe..

Yang kedua adalah tentang pesan dan pemahaman yang disampaikan dalam Hujan Matahari. Hujan Matahari tidak hanya sekedar bacaan. Selalu ada pesan yang tekandung dalam setiap judulnya. Bukan hanya pesan, tapi juga pemahaman yang terkandung di dalamnya. Hal-hal yang sering terlupakan atau malah sudah lelah dipikirkan diangkat oleh Mas Gun dalam beberapa tulisan. Setiap akhir tulisan yang dibuat Mas Gun di Hujan Matahari, selalu membuat saya berhenti sejenak. Berpikir. Buku ini sarat makna. Seperti tulisan Belum Waktunya dan Memastikan Rasa contohnya. Mungkin Mas Gun telah melewati banyak pengalaman. Sehingga bisa mengemas buku ini dengan baik.

Yang ketiga adalah masa lalu (ini adalah pendapat saya pribadi, bukan secara umum tentang buku ini, hihi..). Membaca Hujan Matahari seperti membuka diary saya sendiri dalam beberapa tulisannya. Saya seperti digiring mundur pada masa itu, pada perasaan kala itu. Ada bagian yang sudah terlupa kini dan sekarang kembali teringat. Masa lalu dan kehidupan saya kini, ternyata hadir juga dalam Hujan Matahari. Mencari Sahabat dan Tidak Selalu contohnya.

Hujan Matahari bisa dibaca di segala suasana, terik, mendung, semangat, atau galau sekalipun. Hujan Matahari memang perpaduan yang tepat untuk segala suasana. Terakhir yang ingin saya ucapkan kepada Mas Gun. Terima kasih sudah menciptakan Hujan Matahari dan karya-karya lainnya. ditunggu buku selanjutnya dan karya-karya yang lainnya. Semoga selalu meginspirasi

Pantai-Pantai di Perantauanku

Sudah lama ingin mengekspose tempat-tempat ini tapi baru keturutan sekarang. Aku masih menjadi anak rantau, di sini memang bukan kota besar. Tak sepadat  kota kelahiranku. Tapi kota perantauanku ini memiliki keindahan alam yang bagus (menurutku). Kali ini aku akan berbicara tentang pantainya. Pantai-pantai di kota Jember yang sudah pernah aku kunjungi.

1. Watu Ulo
Watu Ulo merupakan sebuah pantai yang berada di sebelah selatan kota Jember tepatnya di kec. Ambulu. Berjarak sekitar 40 km atau kurang lebih satu setengah jam kalo dari dari kampus. Watu Ulo jika diartikan dalam bahasa Indonesia artinya batu ular, batu yang berbentuk ular. Kalau tidak salah begini kisah yang pernah aku dengar. Ada seekor ular naga raksasa yang menjelma menjadi penunggu pantai selatan pulau Jawa. Ekornya berada di Banyuwangi, badannya berada di Watu Ulo ini dan kepalanya berada di pantai Puger.

Dapat dilihat ada batu besar memanjang di sana (abaikan penampakan perempuan berbaju hitam), kemungkinan itu badan yang diceritakan karena bentuk batu itu bersisik menyerupai sisik ular. Sayangnya aku tidak mengambil foto batu tersebut dari jarak dekat.
Menurut pendapatku, pemandangan di Watu Ulo seperti standart pemandangan pantai biasa. Pasir di sini berwana coklat seperti tanah.

2. Papuma
Papuma sebenarnya merupakan sebuah tanjung, bukan pantai tapi kebanyakan orang-orang menyebutnya pantai. Letak Papuma ini persis di sebelah Watu Ulo. Hanya saja jalannya sedikit menanjak, semacam ada pantai di bukit. Tapi pemandangan di Papuma patut di acungi jempol. Aku sudah beberapa kali ke sana. Mulai dari jadi pengunjung sampai jadi tour guide. Beda dengan Watu Ulo, pasir di Papuma berwarna putih walau mereka bersebelahan. Dan bagi teman-teman yang suka berfoto ria, di sini recomended untuk foto-foto. hihi..

Pohon kelapanya lagi meranggas. Kalau lagi hijau, bagus banget.



3. Payangan
Payangan adalah pantai yang akhir-akhir ini sedang booming di kalangan teman-teman sekitarku. Pantai ini berjarak sekitar dua km dari Watu Ulo. Pantainya si biasa, tapi pemandangan dari atas bukitnya yang jempol. Disarankan sebelum ke sini sarapan dulu. Karena kemarin aku dan teman-temanku nggak tahu medan, kami memutuskan sarapan (kami membawa bekal) di atas bukit sedangkan bukit di Payangan cocok sebagai area pemanasan untuk mendaki gunung. Kalo aku inget Payangan tiba-tiba muncul backsound 'mendaki gunung lewati lembah, sungai mengalir indah ke samudra, bersama teman berpetualang'.
Disana ada dua bukit jika kita menghadap ke pantai. Aku sarankan naik ke bukit yang sebelah kanan karena sepertinya tidak seterjal bukit yang aku dan teman-temanku naiki. Kami belum sempat naik ke bukit satunya, sudah terlalu lelah. Disarankan juga berangkat pagi, cuaca di sana sangat menyengat jika matahari sudah mulai naik, dibandingkan Watu Ulo dan Papuma.
Bukit yang terlihat di sana adalah bukit yang aku sarankan


4. Puger
Puger sebenarnya lebih terkenal dengan TPInya (Tempat Pelelangan Ikan) karena hasil lautnya yang cukup dominan. Beberapa ratus meter dari TPI, terdapat pantai Puger yang aku ceritakan merupakan bagian dari kisah ular naga raksasa tadi. Pantai Puger terletak di selatan Jember tepatnya di kec. Puger, 35 km dari kampus atau lebih kurang satu setengah jam. Medan untuk ke sana lumayan terjal karena jalan menuju sana belum diaspal hanya tertata batuan-batuan kapur (Puger juga terkenal dengan produksi batu kapur, terdapat gunung kapur di sana). Di Puger kita juga dapat menikmati pemandangan pulau Nusa Barong, bahkan menyebrang ke sana. Tapi ombak dan angin di Puger cukup kencang, jadi jika ingin menyebrang harus menunggu saat ombak tidak besar.
Aku tau pantai Puger ini secara kebetulan. Dikarenakan beberapa tahun yang lalu aku KKN di kecamatan Puger. Tapi karena laptop sempat eror, foto-foto Puger dan foto-foto KKN yang lain hangus :'(
Ini gambaran pantai Puger yang aku ambil di google (abaikan bapak-bapak yang bersarung).


Nah, itu adalah pantai-pantai di Jember yang sudah pernah aku kunjungi. Jika kalian berminat datang kemari dan butuh tour guide, insyaAllah aku siap membantu :D

Kado Untukmu

Aku termenung di depan wastafel kamar mandi penginapan. Lusa adalah ulang tahunmu dan aku belum punya ide apapun untuk kado ulang tahunmu.
Aku teringat kejadian tiga bulan yang lalu, saat mendekati hari ulang tahunku.
"Kamu pengen kado apa? Aku bingung kado apa yang cocok untuk pria sepertimu. Kamu sudah bisa membeli apapun sendiri. Ada sebuah permintaan mungkin?", tanyamu kala itu.
"Hey, aku bukan anak kecil yang selalu harus kamu beri kado setiap ulang tahunku tiba. Tapi karena kamu bertanya seperti itu dan mulai minggu depan kita jarang bertemu, aku ingin benda yang bermanfaat dan setiap hari aku butuhkan. Terserah apapun itu, aku akan menerimanya.", jawabku saat itu.

Di hari ulang tahunku, kamu menyerahkan sebuah kotak kecil padaku.
"Buka sewaktu kamu di jalan ya. Selamat ulang tahun.", katamu sambil tersenyum.
Hari itu memang ulang tahunku dan juga hari dimana aku berangkat ke luar kota untuk urusan pekerjaanku. Kamu mengantarku ke stasiun kereta sembari menyerahkan hadiah ini padaku.
Kubuka kotak hadiahmu, dan isinya adalah sikat gigi bersama pasta giginya. Aku tersenyum membuka hadiahmu. Disitu terdapat secarik surat darimu
Selamat Ulang Tahun,
Kaget ya dengan hadiah yang aku beri sebagai hadiah ulang tahunmu? Maaf ya, aku tidak bisa memberi hadiah mahal untukmu karena aku yakin kamu bisa membelinya sendiri. Sikat dan pasta gigi ini adalah hadiah yang menurutku bermanfaat untukmu. Sengaja aku beri sikat dan pasta gigi yang didesaian khusus untuk orang-orang yang sering berpergian sepertimu. Aku cuma ingin harimu menyenangkan, bertemu banyak orang adalah salah satu tugasmu. Mungkin benda ini bisa membantu. Senyum sehat, senyum Indonesia :)
Tatapanku tertuju pada sikat gigi pemberianmu. Kamu memang seorang wanita yang menyenangkan dengan pemikiran tak terduga.

Aku memutuskan untuk mengirim pesan padamu. Kuambil ponselku yang terletak dimeja samping tempat tidur.
Mau kado apa? Aku belum punya ide untuk kado ulang tahunmu.

Tak lama ponselku bergetar. Pesan darimu. Kubaca balasanmu.
Kepastian.

Ambilkan Bulan

Sudah larut, tapi mata masih terjaga. Aaaa.. ini gara-gara kopi tadi sore. Sudah berkali-kali aku ganti posisi. Mulai dari miring, tengkurep, sampai duduk bersandar bantal, hasilnya nihil. Akhirnya aku berjalan menuju jendela kamar. Kusingkap tirai, sebenernya agak horor ngebayangin kalo pas aku singkap tirai dan Dor! ada wajah nempel di jendela. Tapi sepertinya imajinasiku terlalu berlebihan. Diluar sepi, tapi sepertinya ada seseorang di halaman sedang duduk-duduk. Kuambil sweaterku dan menyejajarinya.
"Kak, ko' duduk di sini? Nggak tidur?", kakak menoleh ke arahku.
"Nggak dek, lagi panas.", katanya.
"Panas dari mana Kak? Dingin gini.", aku menunjuk sweaterku.
"Panas pikiran adeeek.", kakak mengacak rambutku.
"Ceritalah kaaaak. Sapa tau aku bisa bantu.", aku merajuk.
"Anak kecil tau apa.", kakak mengangkat sebelah alisnya.
"Diskriminatif banget, walaupun kakak sudah tua dan aku masih imut, aku ini pendengar yang baik lho kak.", aku mengedipkan sebelah mataku.
"Aw! Sakit kaaak.", kakak mencubit pipiku. Kakak, saudara laki-laki yang tidak terlalu banyak bicara kalau nggak dipaksa. Jarang cerita tentang masalahnya, lebih suka mendengarkan ceritaku. Lebih sering mengintimidasiku tepatnya. Walapun begitu, kakak adalah saudara terbaik. Selalu ada buat aku.
"Anak kecil kenapa jam segini belum tidur?", tanyanya.
"Insomnia gara-gara kopi. Udah dimerem-meremin tetep aja nggak bisa. Kesalahan nyeruput kopi punya Ayah."
"Kualat itu namanya, kopi Ayah ko' diminum. Buat sendiri sana, masak anak cewek males."
"Ya kan cuma pengen ngincip aja kak.", belaku.
Hening kemudian. Kakak sepertinya larut lagi dengan pikirannya kali ini menghadap atas.
"Kak.", aku menyenggolnya.
"Hmm..", dia masih melihat atas tak memperhatikanku.
"Liat apaan?", tanyaku.
"Ambilkan bulan dek.", celetuknya.
"Hah? Apa?"
"Ambilkan bulan Dek, ambilkan bulan dek, yang slalu bersinar di langit."
"Malah nyanyi. Minta Ibu lho, Kak. Kan itu lagu buat Ibu.", kataku.
"Pamali nyuruh-nyuruh orang tua, ada yang lebih kecil kenapa nggak, hahaha."
Aku menepuk jidat. Mulai nih penindasan.
"Kakak masih waras kan? Aku nggak mau punya kakak setengah miring.", aku menjulurkan lidah pada kakak.
"Do'ain kakak ya.", katanya tak menanggapi leluconku tadi.
"Buat?"
"Kondisi seperti ini nggak enak, Dek. Kalau ketemu orang mesti ditanya kapan begini, kapan begitu. Ya kakak pengen juga, tapi namanya belum nemu. Udah usaha ke sana ke sini, buktinya?"
Sepertinya aku mulai paham apa yang dipikirkan kakak.
"Sudahlah Kak, nggak usah diambil hati. Anggep aja motivasi, anggep juga do'a dan anggep kalau mereka care sama kakak. Yakin deh, kalo Kakak sudah berhasil dengan apa yang mereka tanyakan, pasti ada pertanyaan lain lagi. Pada dasarnya hidup ini adalah tanda tanya kak, jadi dijalani aja.", aku menepuk bahu kakak.
Kakak tersenyum mendengar jawabanku.