RSS

Menghapus Keraguan

"Maumu apa?"
Itu adalah pertanyaanmu yang kudiamkan hingga kini. Aku masih sibuk dengan pikiranku. Aku tau dengan pilihanku, tapi sepertinya tidak denganmu.
Seperti wanita pada umumnya, perasaanku lebih dominan daripada logikaku. Mungkin sebagian orang berfikir aku telah melakukan hal gila.
“Kamu ingat berapa sekarang umurmu?”, tanyamu berikutnya.
Aku menghela nafas. Jengah mendengar semua ocehanmu sedari tadi setelah aku ceritakan apa yang telah terjadi. Kamu memang teman kecilku, siap memasang badan untuk setiap masalahku. Aku sempat menjulukimu Satria saat itu. Tapi tidak untuk situasi seperti sekarang. Aku butuh jedah untuk masalah ini. Aku pikir kamu mengerti. Tapi nyatanya tidak demikian.
“Ya, aku ingat”, jawabku singkat.
“Apa kamu juga ingat harapan terbesarmu saat ini? Kamu bercerita padaku berkali-kali dan kenyataannya seperti ini. Aku tidak habis pikir. Wanita memang sulit dimengerti.”
Aku cuma mengangguk.
Sepertinya kamu kewalahan menghadapi sikapku dan memutuskan untuk ikut duduk di sebelahku karena sedari tadi yang kamu lakukan hanya berdiri dan menceramahiku.
Kita diam sejenak. Aku tak tau apa yang kamu pikirkan. Aku hanya yakin dengan pilihanku.
“Kamu sadar nggak siapa dia?”, kamu membuka pertanyaan lagi.
“Ya, aku tau. Dia adalah sosok pria yang dieluh-eluhkan wanita kebanyakan.”
“Lalu, kenapa kamu menolak niat baiknya untuk mendampingimu?”

Tak Ada yang Benar-Benar Berakhir

Tak ada yang benar-benar berakhir, ketika terucap dari bibir, 'ini sudah berakhir'.
Tak ada yang benar-benar berakhir, saat sebuah akhir berubah menjadi kenangan.
Tak ada yang benar-benar berakhir, ketika kenangan tetap hinggap dalam pikiran.

Tentang sebuah akhir yang tak benar- benar menjadi akhir.
Yang diharapkan usai, atau hilang dari peredaran hidup.
Yang sudah tak terlihat mata.
Yang sudah tak ada dalam daftar rutinitas.

Tak akan pernah menjadi akhir bila pada akhirnya ada sepatah angan dalam kenangan.
Yang terus dipikirkan.
Bahkan mungkin sesekali diingat.

Mengakhiri yang sudah berakhir seperti mempelajari bagaimana cara melepaskan dan mengikhlaskan.
Tak akan ada teori atau rujukan dari literatur dengan sumber terpercaya.  Itu adalah pelajaran kehidupan yang tak ada dibangku sekolah. Pelajaran hati agar selau berhati-hati.

Dan kamu tak perlu tahu, seberapa sering aku berucap, 'ini adalah akhir'.
Tapi nyatanya kamu tak pernah benar-benar berakhir seperti ucapanku.

Teman Nostalgi(L)a

Suatu hari, entah esok, lusa atau tahun berikutnya, aku akan tersenyum melihat kumpulan wajah kita dalam bingkai-bingkai foto.
Suatu hari, entah esok, lusa atau tahun berikutnya, aku akan bercerita tentang kalian pada orang-orang yang aku temui.
Suatu hari, entah esok, lusa atau tahun berikutnya, aku akan menuliskan serangkaian kata untuk kalian.

Kita bertemu dalam bentuk seadanya. 
Masih berwujud bocah berseragam sekolah.
Kita bercerita tentang apa saja.
Kita punya bahasa yang tak akan dimengerti oleh mereka.
Kita tak pernah tahu akhir cerita tentang kita, karena pertemuan terakhir kita bukanlah sebenar-benarnya akhir.



Kita adalah bagian masa lalu yang masih diperkenankan untuk bertemu. Semoga masih ada pertemuan-pertemuan lain yang merekam sebingkai kebahagiaan kita seperti ini.

Waktu adalah saksi ketika kita mencari celah satu hari dalam hitungan tiga ratus enam puluh lima hari untuk bisa bercengkrama seperti ini. Semoga akan ada satu hari-satu hari selanjutnya untuk kita.