RSS

Dear, You (Calon Masa Depanku)

Aku menyayangimu sebelum kamu ada, ketika kamu masih tertulis dalam garis takdirku. Kamu terbayang dalam pantulan senyum anak kecil dari sepupu-sepupuku dan anak-anak kecil di sekelilingku. Aku mulai sadar kenapa kamu disebut buah hati, karena kamu begitu berharga dan memang berharga, semua kasih sayang tercurah untukmu.
Aku begitu menyayangimu karena ibuku dan ibu-ibu yang lain. Kamu tau? Menjadi ibu ternyata tidak mudah tapi itu tidak pernah terucap dari ibuku. Ibuku begitu tulus merawatku dan selalu menunjukkan yang terbaik untukku dan itu untuk kebaikanku. Karena itu aku ingin memperlakukanmu sama seperti itu kelak.
Masa-mu dan masa-ku mungkin akan jauh berbeda, Karena itu aku belajar memahami. Belajar memahami itu bukan hal yang mudah. Aku membutuhkan dua puluh tahun untuk mengerti hal itu. Dan tahun berikutnya aku akan melatih ketidakpahamanku untuk menyambutmu. Aku tidak akan menuntutmu untuk mengerti. Aku akan membiarkanmu berpikir sesuai umurmu dengan pemahaman yang sudah kulatih.
Hey, ada satu cerita pendek kenapa aku begitu perduli kepadamu akhir-akhir ini.
Aku sadar kamu begitu berharga, oleh karena itu aku berusaha menjaga.  Ternyata merawatmu adalah salah satu PR besar untukku dari serentetan masa depanku yang harus aku pelajari. Aku begitu ingin tau, oleh karena itu aku mencari tau, sampai aku temukan kutipan seorang penulis.
Karena kita tidak pernah belajar bagaimana caranya menjadi anak, tapi kita ada waktu untuk belajar menjadi orang tua (Kurniawan Gunadi, 2014).
Dari sini aku mengerti kenapa ada orang bilang bahwa belajar itu dilakukan seumur hidup, mungkin salah satunya karena kamu.
Nah, selagi kamu masih sebentuk garis takdirku, biarkan aku mempersiapkan segala yang terbaik untukmu. Do'akan aku agar bisa mewujudkannya untuk kebaikanmu.

Salam sayang untukmu

Selagi Masih Bisa

Ceritakan apa saja yang kamu mau, apa saja yang ingin kamu sampaikan selagi aku masih bisa mendengarmu.

Jawab saja apa yang aku tanyakan jika kamu berkenan, selagi aku ingin tau.

Aku masih punya cukup waktu untukmu sepagi ini bahkan sampai larut malam nanti, mungkin. Karena aku tak tahu berapa lama waktuku.

Aku memberikanmu waktu untuk datang menghampiriku, mengulas apa saja yang ingin kamu bahas. Entah itu tentang kebiasaan, kesukaan, bahkan kebencian. Jangan heran jika kadang aku mencela, karena sesuatu lebih baik jika pada tempatnya kan?

Aku ingin tahu dan aku punya waktu untuk saat ini. Jangan bertanya jika suatu hari tiba-tiba aku menghilang dari peredaranmu dan tidak punya waktu untukmu. Bukan kah sudah kukatakan tadi? Bicaralah selagi bisa.

Aku jarang bertanya karena kamu sering tak berkenan atas pertanyaanku. Jadi jangan salahkan aku jika kamu kehabisan bahan pembicaraan sedangkan aku hanya diam saja. Aku sudah mencoba menawarkan saat itu, tapi kamu enggan.

Secangkir Candu

Secangkir candu bernama rindu
Ia tertenggak bersama sembilu
Menikam pilu menjadi keluh
Bermuara menjadi sajak bertuliskan Tuan tak bernama
Adakah sendu dalam sebuah candu?
Ia bersarang dalam kubahan rasa yang bersimpuh asa

Ada resah dalam secangkir candu
Ia mengakar tajam bersama rindu
Menawan segala rasa dan mengungkapkannya sebagai tanda seru

Ini rindu bukan pilu
Ia tak pernah bermaksud sendu
Hanya belajar mengerti bersama pilu

Pantai (Kenangan Kita)

Kakiku berpijak di tempat yang sama, setahun yang lalu. Kupejamkan mata memutar kenangan lalu.
"Nanti kita ke sini lagi ya?", ujarmu.
"Kapan?"
"Saat Aku, Kamu, dan Tuhan sudah bersatu.", katamu.
Aku hanya tersenyum saat itu.

Pantai. Kamu selalu suka itu. Bagimu pantai adalah kegembiraan, hamparan air yang tak punya ujung sejauh matamu memandang. Kamu ibaratkan itu seperti sebuah mimpi yang tak akan ada habisnya. Ombaknya kamu kaitkan dengan gelombang hidup yang setiap saat bisa menerjang. Pemandangannya kamu gambarkan seperti kebahagiaan yang sudah tercecer dalam hidupmu. Dan tepiannya kamu kaitkan dengan tujuan hidupmu. Aku masih menyimpan seraut wajah penuh semangat milikmu ketika bercerita tentang pantai.
Kamu mengajakku berlayar dengan perahu ketika itu.
"Coba kamu lihat itu dan itu!"
Aku mengikuti arahanmu.
"Kenapa?", tanyaku.
"Pantai, perahu, laut, pulau sebrang, dan kita.", kamu tersenyum.
"Terus?", aku memasang wajah tidak paham.
"Pantai adalah duniaku dan duniamu sekarang. Perahu ini adalah bahtera kita nanti, aku nahkoda dan kamu navigatornya, laut adalah gelombang hidup kita, dan pulau sebrang adalah tujuan hidup kita kelak. Bersedia berlayar denganku?"
Aku tertegun mendengar ucapanmu.

Aku membuka mata, detik ini adalah nyata. Bukan setahun kemarin. Aku berjalan menuju tempat dimana alas kakiku kuletakkan, duduk kemudian dan memandangi pemandangan sekitar. Pikiranku beradu.
Kenapa harus kamu?
Kenapa aku dan Tuhan memilihmu?
Bukan, bukan aku yang memilihmu, tetapi hatiku. Aku memilihmu karena kamu adalah kamu. Tuhan memilihmu karena kamu adalah milikNya. Aku bisa apa?

Tuhan mengenalkanku padamu sebagai pelajaran. Aku kira kamu adalah pengajar yang Dia kirim agar kita bisa belajar bersisian. Agar kamu bisa mengajariku banyak hal, agar kamu bisa membatasiku untuk hal-hal yang aku lakukan kelewatan, agar kamu menunjukkan padaku untuk hal yang tidak aku tahu. Tapi itu bukan rencanaNya. Kamu dikirimkan agar aku belajar bahwa rasa bisa mengajarkan segala hal termasuk keikhlasan. Aku tau, Tuhan pasti menyayangi orang sepertimu, dan karena itulah Dia memanggilmu. Membiarkan aku belajar agar terbiasa tak bersisian denganmu. Di sini, sendiri.

Aku tertunduk. Sudut mataku basah. Ternyata aku belum bisa mengikhlaskan kepergianmu. Maafkan aku. Aku bukan orang yang mempunyai jiwa besar sepertimu. 

Kamu tau? Tadi malam kamu dan tempat ini menjadi bunga tidurku. Itulah yang membawaku ke tempat ini lagi. Sepertinya Tuhan sengaja ingin mempertemukan kita lagi. Ajakanmu sekarang menjadi nyata, kita kembali di sini saat Aku, Kamu dan Tuhan sudah bersatu. Aku memandang dua pasang benda yang menjadi satu-satunya kenangan kita di sini. Mereka masih bersisian, menggantikan kita yang sudah bersebrangan. Dua pasang sandal jepit milik kita setahun yang lalu.



Sabtu Bersama Bapak (opini)

Cerita berawal kemarin. Aku menghilangkan penatku dengan mengunjungi tempat favoritku di sini, Gramedia. Niatnya masih sama dengan kunjungan-kunjunganku sebelumnya, baca gratisan :)). Setelah aku menyusuri rak buku, entah kenapa novel bercover biru ini menarik perhatianku. Sabtu Bersama Bapak.

Aku kira novel ini menceritakan tentang seorang bapak, ternyata aku salah. Novel ini lebih dari sekedar novel. Novel ini adalah pelajaran hidup yang dikemas secara ringan tapi berisi. Sabtu Bersama Bapak mengajarkan bagaimana cara menjadi orang tua, anak, wanita, istri, dan menantu yang baik. Novel ini juga mewujudkan salah satu keinginanku. Ya, aku mempunyai keinginan untuk belajar parenting untuk bekalku kelak dan Sabtu Bersama Bapak mengemasnya dengan cara yang menarik. Dan ini adalah novel parenting pertama yang aku baca dan membuatku jatuh cinta.

Aku mengacungi jempol untuk karya mas Adhitya Mulya yang satu ini. Dia mempunyai alur cerita yang bagus dengan beberapa kejutan di dalamnya. Aku lebih suka menyebutnya novel yang mempunyai benang merah. Dari segi emosi, mas Adhitya menyuguhkan emosi yang dinamis pada pembacanya karena saat membaca Sabtu Bersama Bapak, ada saatnya aku dibuat menitikkan air mata dan ada saatnya aku tertawa terpingkal (jujur, jarang ada novel yang membuat aku tertawa terpingkal beberapa kali) dan bisa dibayangkan kan gimana menahan luapan emosi itu di tempat umum? hahaha..

Well, this novel very recomended to read buat yang jadi orang tua, mau menjadi orang tua, seorang anak, wanita, pria, istri, menantu, dan mau jadi menantu :D

Sabtu Bersama Bapak, dibaca di hari Sabtu. Sebuah kebetulan yang menyenangkan :)

Mimpiku Tentangmu

Coretan lama (19 Februari 2013) untuk dia yang sekarang berada di surga.


Kamu singgah tadi malam. Di mimpiku. Aku tak tau apa itu kamu, yang tak pernah bertemu aku. Aku, Mama, Bapak, dan Kamu. Berada dalam satu dimensi yang sama. Ya, untuk pertama kalinya aku memimpikanmu utuh bersama orang tercinta kita. Kamu hanya diam, tak bersuara. Hanya berjalan-jalan dalam dimensi itu. Mengikuti kemana aku pergi. Aku nyata di sampingmu, duduk tertidur di sebelahmu. Kamu yang membisu membiarkanku terlelap. Hey, apa itu mimpi semata? Kamu tak ayal seperti bayangan nyata yang hidup dalam satu dimensi duniaku. 
Hey, tinggimu melampauiku, dan aku tetap yang paling hitam diantara kita semua :)

Peluk hangat untukmu, adekku.

Pertemananku

Pagi yang dingin ini aku menyeduh teh hangat. Sendirian di teras rumah yang lengang. Kudapati bapak dan ibuku akan berangkat kerja. Aku mencium tangan mereka.
"Hari ini mau ke mana?", tanya bapak.
Aku tersenyum dan mengangkat bahu.


Aku terduduk setelahnya. Biasanya tanpa ditanya aku akan menceritakan akan ke mana saja aku pergi. Dulu, setidaknya aku selalu punya jawaban untuk pertanyaan semacam ini. Nyatanya sekarang aku cuma duduk di rumah tanpa rencana apapun. Aku berada pada masa di mana teman-temanku sudah menemukan hidup mereka sendiri. Seiring berjalannya waktu aku menyadari bahwa tak ada yang abadi dan itu berlaku dalam kebersamaan pertemanan kami. Dari sini aku belajar bahwa pertemanan mempunyai fase. Kami dipertemukan dalam perkenalan yang unik. Tak selalu diawali dengan jabat tangan dan ucapan "kenalkan namaku Erma". Kadang percakapan ringan atau masalah PR adalah bagian dari perkenalan kami waktu itu. Seiring berjalannya waktu, pertemanan kami semakin erat dan kami dengan semangat empat lima merencanakan banyak hal untuk dilakukan bahkan untuk hal yang tak terduga sekalipun. Mulai yang hanya duduk-duduk tidak jelas sampai rencana melancong ke berbagai tempat. 
Dan sampailah aku pada fase ini. 
"Aku mau cerita, Aku akan menikah."
"Aku diterima kerja di Jakarta." 
Pernyataan semacam itu yang akhir-akhir ini hinggap di telinga. Antara senang dan bingung setelahnya. Bingung seperti ini. Terbiasa bersama mereka dan tiba-tiba mereka menghilang. Yang bisa dilakukan cuma menghela nafas. Aku menyadari bahwa mereka juga punya mimpi. Berpisah bukan berarti tidak akan pernah bertemu lagi kan? Ini hanya masalah jarak. Saat waktu berpihak, jarak tidak akan punya arti. Aku yang sedari tadi sibuk dengan lamunanku masih mencoba menerima. Menerima bahwa pertemanan adalah bagian dari pelajaran hidupku. Selama fase ini aku juga paham bahwa dalam pertemanan sering berlaku kejadian sedetik lalu berselisih paham, sedetik kemudian bergelak tawa.
Jika aku mengingat kembali masa kebersamaan kami, yang terlintas adalah kami pernah sama-sama menjadi gila dan kemudian tergelak setelahnya. Kami pernah dirundung lara dan saling menopang kemudian.

Bersediakah Kamu Mewujudkan Mimpi Kecilku?

Kita duduk berhadapan, memegang kertas yang masih putih bersih. Bersepakat berdiam lima belas menit untuk menuliskan mimpi kita di waktu akan datang. Aku memberikan secarik kertas yang bertuliskan mimpiku setelah itu, demikian denganmu. 

Kubaca pelan coretan tanganmu. Impian sempurna versimu. Kamu menitinya pelan tapi pasti. Itu terbukti dari keadaanmu saat ini. Dan kamu membuat jarak untuk mencapai itu, perlahan. Kamu memilih tanah rantau sebagai muara dalam mimpimu. Sepertinya kamu berkeinginan membuat kehidupan di sana. Tanah rantau adalah batu loncatan untuk apa yang kamu cita-citakan kelak. Itu yang aku tangkap dari tulisanmu. Aku termenung masih memegang kertas darimu dan terlintas apa yang aku tulis tadi.

Aku ingin pulang. 

Itu adalah rangkuman dari seretentan poin mimpiku. Jika kamu memakai tanah rantau sebagai batu loncatan, maka aku memakainya untuk pulang. Kamu tahu kenapa? Aku masih punya mimpi di sana. Hidupku berawal dari sana, sendirian. Aku tahu, mendampingimu adalah kewajibanku kelak. Tapi aku berhak kan memintamu untuk tinggal atas mimpiku ini? Aku hanya beranggapan jika kebahagiaan bisa dirasa bersamaan, kenapa tidak? Aku tidak ingin memilih, memilih kamu atau mereka. Karena kalian adalah bagian dari mimpiku juga. Mungkin terlalu kekanak-kanakan, tapi aku memang anak mereka yang ingin berterima kasih dengan cara berbakti dan aku harap kamu mengerti.


Mimpiku bagimu mungkin hanya setinggi ilalang, tak sepertimu yang tinggi menjulang. Kita berdua terdiam, membaca impian kita satu sama lain. Aku melihatmu masih tertunduk membaca kertas milikku. Alismu terangkat lambat laun dan kamu masih diam. Aku beradu dengan pikiranku. Mimpimu yang setinggi langit dan mimpiku yang sebatas ilalang, bisakah bertemu?

Untuk Orang Tuaku Tercinta #2: Mama

Mamaaaa.. dimanaaa?
itu adalah ucapan pertama yang selalu aku tanyakan ke mama. Karena aku tau mama tidak selalu berada di rumah, jadi hal yang aku tanyakan terlebih dahulu adalah itu. Tapi ada satu ciri khas yang akan menandai apakah mama sedang repot atau santai. Dari nada bicaranya waktu pertama kali menjawab telpon. Sangat. Sulit digambarkan dengan kata tapi ada perbedaan yang bermakna.

Asslamau'alaikum Ma, kangeeeen.. ini aku, anak Mama yang selalu merajuk. Apa kabar Ma? Maaf ya Ma, bulan kemarin belum sempet pulang. Sebenernya bingung mau pulang apa nggak, tapi aku memutuskan untuk sementara di sini dulu. Nggak apaapa ya untuk saat ini hanya bisa bicara lewat telpon. Moga Mama sama Bapak ngerti. hehe..

Maaa.. aku selalu punya pertanyaan untuk Mama dari dulu. Entah itu serentetan peluh atau segudang rasa penasaran. Tapi bibirku selalu terkatup saat bertemu Mama. Mama tau kenapa? Segala rasa itu seakan lenyap terganti oleh perasaaan bahagia saat bertemu Mama. Tapi sepertinya dalam waktu ini harus benar-benar aku utarakan. Isi kepalaku rasanya sudah penuh, penuh dengan segala pikiranku.

Ma, bisakah aku setegar Mama? Cara apa yang bisa aku lakukan untuk menjadi tegar seperti Mama? Mama adalah orang tertegar yang aku kenal. Ya walaupun beberapa masalah pernah Mama ceritakan kepadaku, tapi Mama tau cara menghadapinya. Mama selalu mengajarkanku agar tidak mengeluh tapi nyatanya aku berteman dengan peluh dan pada akhirnya akupun mengeluh. Berat rasanya menjalani apa yang terjadi sekarang. Tapi aku sadar bahwa masalahku tak seberat Mama. Jadi bisakah Mama bantu aku?

Apakah Aku Siap Untuk Do'aku?

Do'a, apa itu do'a? Deretan kalimat dan pengharapan yang aku minta pada Sang Pencipta.
Kenapa aku berdo'a? Agar apa yang aku inginkan bisa tercapai dengan bantuanNya.

Kala do'a dipanjatkan, yang ada adalah pengharapan kepadaNya agar apa yang aku ingin bisa dicapai. Karena aku tau Dia Sang Pemilik Hidup dan Dia yang berkuasa atas segalanya. Do'a terpanjat dengan lancarnya, entah itu rentetan keluh kesah atau segudang pengharapan. Aku yakin Dia Maha Tahu karena itu aku berdo'a. Dan faktanya, aku tidak setahu Dia. Apa yang aku panjatkan tidak selalu Dia kabulkan. Dia punya cara sendiri untuk menjawabnya. Ketika aku meminta kemudahan, Dia memberiku hambatan agar aku tahu apa artinya kemudahan itu. Ketika aku minta kebahagiaan, Dia menghadiahkanku setetes air mata agar aku bisa bersyukur bahwa masih ada yang bisa aku nikmati dibalik setetes air mata. Ya, itu adalah cara lain Dia menjawab do'aku.

Aku juga ingat bahwa Dia Sang Maha Mendengar. Entah sudah berapa kali Dia berbaik hati mendegar dan mengabulkan do'aku sampai kadang aku terperanjat dan mulai berpikir. Apakah aku sudah siap untuk do'aku? Ya, aku meminta ini itu tanpa tau kapabilitasku terhadap do'aku sendiri. Ketika Allah menjawab apa yang aku minta, aku merasa enggan. Nah, repot kan? Yang minta siapa yang enggan siapa. Ternyata berdo'a juga butuh kerealistisan akal, bukan semata karena impian dan keinginan. Tau rasanya terperanjat karena do'a sendiri? Ketika yang diminta ada dihadapan mata tapi aku masih bertanya, bukankah ini yang kuminta, tapi kenapa aku merasa enggan? Apa ada yang salah dengan do'aku? atau aku belum siap untuk do'a yang telah aku panjatkan? Aaaarrgghh.. repot ya jadi aku? Banyak mintanya. Sering merenung gara-gara ini. Apa aku terlalu mendikte Tuhanku senidiri tanpa aku peduli bahwa sebenarnya Dia bisa menunjukkanku ke jalan yang sesuai untukku?

Dan akhirnya aku sadar bahwa dalam berdo'a kapabilitasku sebagai pendo'a harus diperhitungkan. Apa aku sanggup memperjuangkan apa yang aku panjatkan dan menerima segala konsekuensinya.

Ketika Matamu Berbicara

Jika bertemu denganmu adalah sebuah keharusan, bertatap mata denganmu adalah sebuah keseganan. Aku tak berani mengeja satu per satu apa yang kulihat dengan mataku. Sepertinya seketika itu juga aku menjadi buta. Aku menjadi kaku dan memilih menunduk untuk tidak melihatmu.

Hey, entah untuk keberapa kalinya aku merasa bersalah. Bukannya enggan bertemu denganmu, hanya saja lebih baik menjaga untuk tidak saling menyakiti. Bukan kamu yang menyakiti, tetapi aku.

Aku tahu, ketika dua pasang matamu menatap ke arahku, dalam. Dan aku berpura-pura tak mengetahuinya. Itu kebiasaanmu yang selalu kuhindari karena itu aku mohon maaf karena sering memunggungimu.


Kamu tahu? aku sering mengamati perasaan orang dari matanya, tapi aku terlalu takut menatapmu. Tanpa kulihatpun aku bisa mengartikannya. Dan aku masih memilih untuk pura-pura tidak tahu.

Andai matamu tak menatap dalam, tak terhenti beberapa detik ke arahku. Mungkin aku bisa menyuguhkan sesungging senyum seperti biasanya. Bukan sesungging senyum canggung. Aahhhh.. semua terasa kaku bagiku, aku tak menyukainya!!

Hey, jika pikiranku sesederhana perasaanmu, mungkin waktu akan berpihak kepada kita. Tapi itu hanya sebatas jika. 

Untuk Orang Tuaku Tercinta #1: Bapak

"Pak.. lan jalan yuk!"
itu adalah kalimat andalanku ke Bapak saat aku sumpek atau sekedar ingin menghirup udara segar. Bapak akan dengan senang hati mengeluarkan motor dan membawaku berkeliling desa mengendarainya.

Assalamu'alaikum Pak, ini aku, anak Bapak yang masih Bapak anggap gadis kecil. Apa kabar Pak? Rindu ini rasanya sudah menggunung. Aku yang jauh dari tempat Bapak dan Mama hanya dapat melepas rindu sejauh sinyal ponsel kita masih baik-baik saja dan waktu senggang kita menemukan kedudukan yang tepat.

Pak, ketahuilah. Akhir-akhir ini aku sering melamun dan parahnya aku lakukan di jalan. Kalau dihitung-hitung mungkin sudah tiga kali aku salah jalan. Semuanya karena ini (nunjuk hati dan pikiran). Iya, disela-sela aktivitasku ini, aku menyimpan segudang pertanyaan untuk Bapak dan Mama yang mungkin jika aku tanyakan, waktu seharipun tak akan cukup untuk menjawab, karena aku butuh penjelasan detail dari semua jawabannya. Oleh karena itu, rasa penasaranku yang tak kunjung henti untuk sementara kutuang di sini. Nanti akan kutanya saat kepulanganku ke rumah. Maaf belum bisa pulang, dari telpon terakhir aku tau kalau Bapak sama Mama juga kangen dengan gadis kecil yang nakal ini. Tapi aku menunggu waktu yang pas.

Pak, sepertinya ada yang hilang dari aku. Entah hilang atau kehilangan aku tak tau. Yang berjalan dipikranku adalah untuk apa aku hidup? Sepertinya aku kehilangan fase mimpiku akhir-akhir ini. Jika waktu kecil impianku menggunung namun sekarang aku termenung. Apa sesungguhnnya impianku? Ya, aku mencoba memaknai hidupku yang berujung bingung. Dan aku melihat sosok Bapak yang bisa menjalani hidup dengan semua keinginan dan pikiran positif. Bisakah Bapak jelaskan padaku? Mungkin terlambat aku bertanya pertanyaan ini dengan usiaku yang sudah tidak bisa dibilang dini. Tapi aku memutuskan untuk bertanya daripada aku tersesat. Kurasa Bapak adalah orang yang tepat untuk pertanyaanku.

Ibu Kedua Setelah Mama



Aku sekarang berada di pusaramu. Bergelut dengan penyesalanku sendiri. Merasa durhaka walau aku bukan anakmu. Apa yang aku lakukan kemarin sungguh sebuah hal yang menyakitkan bagi diriku sendiri. Kamu yang sempat menantiku dalam sesekali pertanyaanmu, tapi aku tak kunjung berada di sana. Dan sekarang aku terkurung dengan penyesalanku. Andai dulu aku lebih mengindahkanmu disaat kamu berkata.
“Dek, nggak makan?”
“Iya, Mbaaaak…”
Aaarrgghh! Selalu dengan pertanyaan yang sama setiap harinya. Berasa masih kecil, makan aja pake diingetin berkali-kali. Padahal kalo aku lapar, bakal makan sendiri.
Itu pikiranku dulu, saat tak pernah terpikirkan ini akan terjadi. Sayangnya hal ini terjadi padamu dan berlaku padaku.
Apa kamu tau, Mbak. Aku kangen kekonyolanmu yang terkesan spontan. Ketika percakapan antara kamu, Mama, dan aku di dapur.
“Mbak, baksonya sudah diangetin?”
“Sudah Bu, tadi pagi sama barusan saya angetin.”
“Lho ada bakso ta, Ma?”
“Ada, kemarin dikasih tante Mar. Kamu nggak tau?”
“Nggak, Ma. Nggak dikasih tau mbak Jum.”
Yang diomongin cuma mesem aja.
“Pantesan tadi bau sesuatu yang khas di dapur, ternyata ada bakso.”
“Iya, Dek. Tadi waktu ngangetin bakso di dapur gasnya tumpah tapi sudah ta’ pel kok jadinya sudah nggak begitu bau gas lagi.”
Mendegar penjelasan mbak Jum aku dan mama tertawa terbahak-bahak. Ini aku yang salah ngomong apa mbak Jum yang eror.
“Hahaha.. Bau khas, Mbak. Bau yang bisa diketarai. Bukan bau gas.”, jelas mama ke mbak Jum.
Ucapan kecil yang menggemparkan telingaku. Kamu bisa mencairkan suasana sesekali tanpa harus susah payah membuat guyonan. Salah satu hal terpolos yang pernah kamu lakukan.
Entah kenapa perasaan takut hinggap saat pertama kali betemu denganmu di rumah. Mungkin perasaan engganku yang beradaptasi dengan pembantu baru di rumah karena kebanyakan dari mereka ‘jahat’ denganku sebelumnya. Tapi waktu memusnahkan semuanya seiring keberadaanmu di rumah.
Kamu tau bagaimana cara memperlakukanku. Memperlakukan gadis manja yang tak tau apa-apa seperti aku. Yang bisanya cuma minta tolong ini-itu. Yang bisanya hanya melihatmu di dapur tanpa bisa membantumu. Kamu cukup sabar dengan kelakuanku yang sering tak mengindahkan perkataanmu. Orang yang bisa menjadi pengusir kebosanan ketika tak ada siapapun di rumah. Salah satu orang yang tau makanan kesukaanku dan akan dengan semangat ’45 memasakkan makanan untukku.
Orang yang selalu jadi komentator di depan tivi untuk apa yang setiap dilihatnya. Orang yang dengan senang hati menemaniku menginap di rumah ketika orang tuaku pergi ke luar kota. Dan orang yang akan rela bercerita apa saja tentang hidupnya, masalahnya, dan masalah lalunya dengan intonasi seadanya.
Kupikir kebersamaanku dan kamu akan terus terjaga hingga detik ini. Kupikir umurmu yang lebih mudah dari Mama tak akan menjadi masalah di hidupmu. Kupikir aku masih bisa melihatmu di rumah dengan wajah sumringah ketika aku pulang dari perantauan. Kupikir aku masih bisa menikmati hidangan soto ayam + kentang goreng yang diiris tipis-tipis dari racikan tanganmu. Kupikir Tuhan masih belum berniat mencabut kontrak hidupmu sekarang. Aku tergugu dengan semua pikiranku.
Pusaramu masih basah karena hujan semalam. Aku ke sini sendiri tanpa siapa-siapa, tanpa ditemani Mama ataupun Bapak. Aku takut jika ke sini bersama seseorang, mereka akan melihatku menangis seperti sekarang ini. Kehadiranmu begitu membekas, Mbak. Kenapa kepergianmu begitu tiba-tiba? Apa dunia ini sudah terlalu usang untuk kamu pijak?
Aku masih bermimpi tentangmu. Apa kamu sengaja? Aku masih ingat sebelum kepergianmu, kamu hinggap dalam alam bawah sadarku. Mungkin itu caramu berpamitan pada gadis yang tak tau diri ini. Gadis yang tak pernah menjenguk saat sakitmu. Kamu hadir lagi tujuh hari setelah kepergianmu, empat puluh hari setelahnya kemudian seratus hari dan seterusnya. Aku selalu bercerita pada Mama setiap kedatanganmu dan Mama selalu menjawab dengan jawaban yang membuat takjub.
“Iya, sekarang tujuh harinya Mbak Jum.”
“Besok memang empat puluh harinya Mbak Jum.”
Dan kalimat-kalimat serupa yang membuatku tertegun. Kamu mungkin masih belum pergi dengan tenang di sana karena gadis seperti aku. Gadis cuek seperti aku. Kupikir jarak yang terlalu jauh antara perantauanku dengan rumah akan bisa menjadi alasanku tak mengunjungimu sementara namun nyatanya kamu menepis semua itu dengan kehadiranmu di alam bawah sadarku.
Hari ini matahari tak bersinar terang. Redup cahayanya hilang entah ke mana, mungkin ia mengerti ada kesedihan di sini. Aku tertunduk memanjatkan do’a untukmu. Do’a untuk kebahagiaanmu di sana, do’a atas kebaikanmu yang kamu beri untukku. Do’a untuk semua pengorbananmu. Langit sepertinya mengerti, ia menemani dengan mendungnya. Angin sepertinya menyadari, ia berhembus dingin dengan pelannya. Aku berharap bisa bertemu denganmu lagi, mungkin hanya sekali, dan saat ini. Aku ingin mengatakan apa yang belum aku katakan. Aku ingin memelukmu sebentar. Aku ingin melihat parasmu yang berbinar sekali lagi. Ini permintaan hatiku yang sedang rindu. Tapi aku sadar, permintaanku terlalu tinggi untuk dikabulkan. Mana ada seseorang yang telah meninggalkan jasadnya bangkit dari pusaranya?
Aku memegang nisanmu. Nisan yang masih bersih, yang terukir namamu, Jumainah binti Manaf. Waktu tak akan kembali seperti dulu. Aku yakin kamu bahagia di sana. Aku yakin kamu sudah bertemu dengan adikku yang sudah mendahuluiku. Aku yakin kamu sedang berada di sini sekarang, menemaniku menjenguk pusaramu.
Aku tak tau sudah berapa lama aku di sini. Rasanya waktu terlalu singkat untukku menemuimu. Maaf, aku hanya bisa menemuimu dengan cara seperti ini. Aku juga tak menyangka akan menemuimu dengan cara seperti ini karena kupikir sakitmu akan berujung dengan sembuh dan kita akan bertemu dengan cara seperti biasanya. Tapi nyatanya apa yang kupikirkan tak sama dengan apa yang Tuhan tetapkan.
Aku harus pergi saat ini, maaf harus membiarkanmu sendiri lagi dalam tanah berpetak 2x1 meter ini. Aku janji akan lebih rajin mengunjungi pusaramu. Semoga kamu istirahat dengan tenang Mbak.
Aku berdiri dari pusaranya, merogoh saku jaket untuk mengambil secarik kertas yang berisi tulisan yang kutulis di rumah tadi. Kuselipkan secarik kertas itu tepat di depan nisannya yang tegak berdiri.

Aku tergugu rasa bersalah
Melihatmu terdiam di sini tanpa suara
Di mana kau letakkan wajah sumringahmu selama ini?
Bolehkah kusimpan rapi dihati?
Belum kuucap terima kasih
Atas apa yang kamu beri
Tapi kamu terlanjur pergi
Aku memagut diri disini
Merasakan kamu yang sungguh berarti
Aku tau semua tak akan berarti ketika aku memintamu untuk ada lagi di sini
Aku tau rasa ini tak akan mati
Rindu ini akan selalu bersemayam di hati

 
Sewindu sisa hidupnya Engkau letakkan dalam garis cerita keluargaku, Wanita setengah baya yang mencari rezeki untuk kehidupannya dan keluarganya. Sewindu perjalanannya ternyata begitu membekas di hati. Seseorang yang kupanggil "mbak..." dan seseorang yang seperti ibu keduaku. Sewindu berlalu, dan sekarang adalah awal bulan pertama perpisahanku dengan mbak. Dia sudah tak di sini sekarang, Tak di bumi ini.
Wanita yang selalu bertanya, "Dek, nggak makan?" setiap menit. Ia akan berhenti bertanya ketika aku makan. Kadang kesel rasanya mendengar pertanyaan itu terlontar terus menerus mengingat aku sekarang bukan anak kecil lagi yang harus selalu diingatkan. Dan sekarang aku kangen dengan pertanyaan itu.
Wanita separuh baya yang terkadang menjadi pembicaraan keluargaku. Wanita super yang jarang mangkel ketika teguran dari keluargaku terlontar. Wanita hebat yang bisa diandalkan dalam keluargaku. Wanita yang rajin mengunjungi alam mimpiku sampai sekarang.
Mbak, terima kasih untuk sewindu yang mbak berikan pada keluargaku. terima kasih untuk semua pengorbanan dan pengabdian mbak yang nggak bisa aku sebut satu persatu disini. Terima kasih telah menjadi bagian dari keluargaku, Terima kasih telah merawat gadis yang nakal ini mulai dari ia berseragam merah putih sampai ia masuk ke bangku kuliah sekarang. Terima kasih buat kesabarannya, sewindu bersama dalam keluargaku, Mbak nggak pernah sekalipun memarahiku. Terima kasih tak terhingga.
Mbak, maaf untuk segala salahku dan keluargaku ke mbak. Maaf untuk detik-detik terakhir sewindu mbak yang luput dari perhatianku. Itu adalah penyesalan terbesarku.
Tuhan, mbak ini orang yang baik. Maafkan segala kesalahan mbakku ini, berilah ia tempat terbaik di sisiMu. Engkau tau apa yang aku keluhkan dan apa yang aku sesalkan.
Tuhan, aku kangen mbakku ini, sampaikan salam kangenku pada mbak. biarkan ia tetap rajin berkunjung dalam mimpiku, karena itu satu-satunya cara aku dapat bertemu dengannya.
Tuhan, terima kasih telah menghadirkan mbak dalam keluargaku, ia akan selalu dapat tempat tersendiri dalam hidupku dan keluargaku.