RSS

Sepatah-Patah Cerita (Cinta)

Sepatah-patah menjadi kata.
Ejaan pertama tentang asal mula. Tentang pembuka sebuah cerita dalam deretan gerbong kereta. Kita berjumpa, dalam tujuan yang (mungkin) sama . Aku hanya menerka karena kita berada pada satu kereta. Kamu yang entah dari mana, terduduk menghadap jendela. Kita saling sapa ketika kamu melihatku ada. Kamu membuka percakapan antara kita tentang ke mana, berapa lama, dan banyak hal lainnya.

Sepatah-patah menjadi rasa.
Ejaan kedua tentang cinta. Tentang alur sebuah cerita yang mengalir indah. Iramanyapun senada, membuat bunga dalam rasa yang kata orang disebut cinta. Kamu memang seorang manusia yang baru hadir di kehidupan nyata. Yang beberapa waktu lalu hingga detik ini masih membeberkan cerita, tapi tak sadar telah menyebar pesona. Tentang tutur kata yang kamu punya dan sedari tadi telah menyentuh rasa, menjadi secuil suka. Aku terpanah tanpa tahu harus berkata apa. Sungguh sulit dipercaya, mungkin ini yang dinamakan cinta.

Sepatah-patah menjadi luka.
Ejaan ketiga tentang derita. Tentang akhir sebuah cerita yang sudah berbeda dari makna indah. Terpampang di depan mata bahwa tak ada yang sempurna, begitupun dengan rasa. Ketika dering telponmu bergema, ceritamu berhenti seketika. Senyummu merekah membaca sebuah nama. Kamu menjawabnya. Nada bicaramu berubah, menjadi lebih mesra. Aku sadar seketika, ada yang salah tentang apa yang kurasa. Terhanyut oleh jalan cerita membuatku tak berdaya. Hatiku patah, terpecah-pecah.

Mungkin Tuhan ingin mengajarkan bahwa terlalu mudah jatuh cinta itu berbahaya.

Serambi Masjid

Sabtu malam adalah waktu favortiku. Bukan karena uforia yang disebut malam minggu oleh orang kebanyakan. Aku tak begitu suka hingar bingar, hanya sesekali ketika aku ingin. Cuma waktunya saja yang kebetulan sama.

Ketika kebanyakan orang akan pergi ke tempat hiburan, aku beda lagi. Ku kayuh sepedaku menuju masjid dekat rumah. Bertemu kamu seperti biasanya.

Tak tahu sudah berapa lama usia pertemanan kita. Mulai masih berwujud bocah ingusan sampai sudah kenal dandan. Kita memang berbeda tapi pemikiran kita searah. Kamu seorang aktifis, dari dulu aktif di berbagai organisasi dan kegiatan, masih berlaku sampai sekarang. Berbeda denganku yang hanya jadi rakyat jelata. Dunia kita memang sudah berbeda. Kita menimba ilmu di tempat yang berlainan arah. Tapi pertemanan kita masih sama. Walau tak sesering dulu, tapi kita sempatkan untuk bertatap muka. Dan hari Sabtu malam adalah waktu untuk kita.

Seperti biasa aku datang lebih cepat. Menunggumu yang masih di jalan. Adzan Maghrib berkumandang, tepat dengan kehadiranmu di depanku disertai senyum sembari memelukku.

"Walhamdulillahhirabbil'alaamiin." Imam menutup do'a.
Kita yang masih berbalut mukenah menuju serambi masjid, duduk bersila memulai cerita.

Di serambi masjid semua tercurah. Tentang mimpimu yang membuncah. Tentang cerita remeh temehku yang mengundang gelak tawa. Tentang nostalgia masa lalu kita. Tentang apa saja. Kita bercerita tanpa ada jedah kecuali adzan Isya' berkumandang. Dan masih berlanjut setelahnya, haha.. Semoga Allah tidak marah, menjadikan serambi masjidNya sebagai sarana cerita kita.

Lagu yang Tak Pernah Jadi

Aku seorang musisi. Ratusan lagu aku ciptakan. Banyak yang sedang didendangkan di radio dan media lainnya. Tak sedikit yang memintaku menciptakan lagu untuk mereka. Aku tak pernah kehabisan kata menulis syair, aku tak pernah kehabisan nada menjadikannya melodi yang mengalun syahdu. Tapi lagu untukmu tak pernah jadi karena menggambarkanmu dalam sebuah kata menjadi hal yang teramat susah. 

Aku seorang musisi. Beberapa penghargaan aku dapat untuk karyaku. Dalam kategori yang berbeda mereka mejadi hits. Bertahan menjadi playlist di radio dan acara musik berminggu-minggu. Katanya laguku mengalun pilu, tepat dengan suasana hati yang sedang kacau. Tapi sebuah lagu untukmu tak pernah jadi. Entah apa yang aku cari, mungkin ekspaktasi laguku untukmu yang terlalu tinggi.

Aku seorang musisi. Inspirasiku tercecer sebatas penglihatan mata. Apa yang aku lihat bisa aku sulap menjadi sebuah lagu. Tak ada yang meragukan kemampuanku. Mereka berkata seperti itu. Tapi menciptakan lagu untukmu aku tak bisa. Melihatmu justru membuatku kehilangan kata, terbata.

Sampai detik ini, saat aku mengetik tulisan ini. Lagu untukmu tak pernah jadi. Entah, mungkin suatu hari nanti.

Kemana Bukitku Kau Ambil?

Pagi ini begitu sejuk, matahari belum nampak. Aku mengayuh sepedaku semenjak tadi, sendiri. Area persawahan terbentang di depan mata, padi yang menguning terhampar luas siap untuk di panen. Tiga puluh menit berlalu, aku berhenti mengayuh. Aku menepi, berhenti sejenak melepas dahaga. Duduk seenaknya di trotoar sebuah perumahan, menenggak air di botol minuman yang aku bawa dari rumah. Sekarang aku menghadap pada sebuah lahan kosong, sebuah bukit kecil berdiri tegak di depanku. Rumputnya dikerumuni kambing-kambing milik warga sekitar. Walaupun sedikit berbau kambing, aku suka duduk di tempat ini. Karena dari sini aku bisa melihat matahari menyingsing, keluar dari singgasananya untuk menampakkan diri.

Hari ini adalah hari terakhirku bersepeda seperti ini. Menikmati pemandangan sebatas jangkauan mata. Aku harus bersiap meninggalkan tempat ini menuju kota orang untuk menjemput mimpi. Aku berlama-lama duduk menghadap bukit kecil ini. Mengabadikan moment kesukaanku dengan kamera di handphoneku, matahari terbit. Suatu hari aku akan kembali ke sini saat waktu memberikan kesempatan.
***
Tiga tahun berlalu sejak saat itu. Aku memang sering pulang ke rumah, tapi tak sempat ke mana-mana. Istirahat di rumah jauh lebih menyenangkan. Entah kenapa hari ini aku rindu pada kebiasaan lamaku. Sehabis subuh kukayuh sepedaku. Masih terlalu pagi, sejauh mata memandang aku masih berpapasan dengan ibu-ibu yang hendak berangkat ke pasar. Rute bersepedaku aku rubah, agak memutar jauh agar aku bisa sampai bukit kesukaanku tepat pada waktunya. Lama tak bersepeda cukup membuat kakiku payah. Tapi kakiku masih terus saja mengayuh, melaju.

Semua sudah berubah. Aku sedikit tak percaya, hamparan sawah yang biasanya ku lihat sekarang tak sehijau dulu. Sejuknya memudar lantaran berdiri beberapa bangunan rumah. Manusia bertambah banyak, tetapi lahannya tidak. Sawah sudah termakan zaman, kalah dengan bangunan kokoh bernama rumah. Itu adalah pemandangan lumrah yang terjadi sekarang.

Aku tiba pada bukit kesukaanku. Sepi, tak ada kambing merumput. Aku terhenyak seketika. Mencoba menerka, apa aku salah tujuan? Aku melihat sekitar. Ini perumahan yang sama, tapi dengan bukit yang berbeda. Bukit yang tinggal separuh, digerus mesin besar penggali tanah.

Pemandangan indah sepertinya mulai tumbang dimakan zaman. Semua yang bisa dijadikan lahan akan tergerus menjadi deretan bangunan. Termasuk bukit kecil di depanku sekarang, yang hampir rata dengan tanah. Jika paku bumi dihilangkan, lantas nikmat apa yang bisa membuatnya tertancap bertahan? 

Matahari mulai menampakkan wujudnya, tak segagah dulu seperti pemandangan yang kuabadikan di galeri handphoneku, menyising dibalik bukit, menghangatkan. Sekarang dia menyinsing dibalik traktor besar penggerus tanah, menyengat.

Cincin Jari Manis

Melingkar sebuah cincin di jari manis kiri. Sejak kecil hingga kini. Ia tersemat hampir satu seperempat dasawarsa hingga merekam jejak putih melingkar pada kulit. Banyak yang mengartikan bahwa ia merupakan simbol termiliki. Padahal itu hanya sebuah aksesoris namun terkadang berfungsi sebagai penjagaan diri.

Hari ini semua berubah, termasuk cincin di jari manis. Semenjak kehadiran seseorang dari dunia lain. Dia bukan alien, dia seseorang yang berasal dari luar orbit 'duniaku'. Seseorang yang mempunyai niat baik membina hubungan denganku. Seseorang yang sekarang duduk disampingku, mengucap janji di hadapan Ayah dan Bapak penghulu. Semenit lalu kami bertatap muka. Tak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya. Ia memandangku lekat, tampias wajahnya menggambarkan ketegangan namun ia menutupinya dengan senyuman tanggung yang canggung. Aku mengerti maksud eskpresi wajahnya yang seperti itu, aku hanya membalasnya dengan senyum.
"Saya terima nikah dan kawinnya..."
Kalimat itu terdengar jelas dalam indera pendengaranku. Jantungku berdegup tak beraturan. Air mata menggenang di pelupuk. Dia mengucapkan sebuah janji yang tak hanya di hadapan Ayah, bapak penghulu juga saksi-saksi, tapi sebuah janji yang terikrar di hadapan sang Ilahi.
"Sah.." terucap dari bibir para saksi.
Dia menghembuskan nafas lega, tersenyum sumringah kemudian memanjatkan do'a.

Tersemat selingkar cincin dalam jari manis. Cincin pengganti ia terdahulu yang melingkar satu seperempat dasawarsa. Tersemat cincin jari manis, bukan hanya sebuah aksesoris tapi sebenar-benar bukti bahwa hati sudah termiliki.

Tempat itu Bernama Pundak Emak

Sore ini aku merenung di sebuah emperan toko tempatku singgah. Akhir-akhir ini semua terasa berat. Aku berhenti sejenak untuk melepas dahaga. Pikiranku bergumul dengan peluh.

Apa yang kamu tunggu dari sebuah peluh?
Tempat berteduh

Aku ingin bercerita
Mengeja satu per satu bilangan peluh
yang hampir terangkum dalam barisan kata
bernama mengeluh

Aku menepis pikiranku sendiri. Emak tak mengajariku begitu.

Kring.. kring..
Telpon genggamku berbunyi
Emak menelponku.
Telepati terhubung. batinku.

"Halo Assalamu'alaikum." Jawabku
"Wa'alaikumsalam. Lagi dimana, Nduk?"
"Ini di supermarket beli minum."
"Sudah makan?" Pertanyaan rutin terdengar dari mulut emak.
"Belum Mak. Habis ini." Jawabanku yang sering begitu. Untuk menenangkan hati emak. haha..
"Emak lagi apa?"
"Ini lagi nunggu Bapakmu, mau ke kondangan. Ya udah, dilanjut nanti aja ya kalo kamu sudah sampai kos. Ada pesen?"
"Iya, Mak. Nggak ada."
"Hati-hati kalo pulang. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Emak memutus sambungan telponnya.

Aku terpisah ratusan kilometer dari rumah, dari Emak dan Bapak. Emak selalu begitu. Bertanya hal yang bisa ditebak, tapi itulah seninya. Sebuah perhatian khas seorang ibu. Ibu mana yang tega membiarkan anaknya kelaparan? Hihi...

Sebenarnya ada satu hal yang tak bisa aku jawab. Ada pesen? Pertanyaan itu yang tak bisa aku jawab lancar. Semua menguap tatkala suara emak terdengar.

Aku ingin bercerita, tentang apa yang aku rasa. Walau hanya sekedar resah, tapi hatiku mencegah. Jika boleh kuminta satu hal, aku ingin berada pada satu tempat. Tempat itu bernama pundak emak. Aku ingin bersandar pada pundak emak, memeluknya, menangis. Aku tak tahu apa yang aku tangisi, yang aku tahu itu bisa melegakan semuanya. Peluh mungkin hanya tinggal peluh, pundak emak yang ingin kurengkuh. Namun sebisa mungkin, aku tak akan melakukan itu. 




Jatuh Cinta pada Sunyi

Gelap
Bahasa ketenangan yang tak bisa disampaikan
kepada hingar bingar

Malam
Sebuah pesan damai
yang tak dipunya gemerlap cahaya

Sunyi
adalah pelengkapnya

Aku jatuh cinta pada sunyi
Jatuh cinta tanpa kata
yang memang tak perlu didendangkan

Aku jatuh cinta pada sunyi
Jatuh cinta sebatas pandangan
tanpa perlu kehadiran
tanpa perlu bayangan

Aku jatuh cinta pada sunyi
Jatuh cinta sedalam hati
tanpa perlu mengasihi
bahkan dikasihi

Aku jatuh cinta pada sunyi
Jatuh cinta sendiri
Tanpa perlu takut saling menyakiti
Karena aku jatuh cinta dalam sunyi

Ketika Kebahagiaan seperti Langit

Kebahagiaan terpancar di wajah
Ketika mata adalah jendela hati
Siapapun bisa mengerti

Hari ini saya menjadi saksi. Bahwa kebahagiaan seperti langit, berlapis. Di atas langit masih ada langit, itu juga berlaku pada sebuah kebahagiaan.

Duduklah sepasang orang tua dan anaknya di sebuah ruang tamu. Senyum sang anak begitu merekah, karena besok sewindu perjalanannya di tanah rantau mencapai puncaknya. Ia akan menyandang gelar baru di depan namanya. Gelar yang diimpikan sewaktu menginjakkan kakinya di sini, tanah rantaunya kini. Kebahagiaan terpancar jelas di wajahnya, sangat jelas. Berbeda dari kami yang masih harus berjuang.
Ada yang lebih bahagia dari si anak, kedua orang tuanya. Aura kebahagiaan beliau jelas terpancar walau tak terucap. Ada rasa bangga yang besar pada anaknya, terlihat dari bola mata beliau yang bersinar. Senyumnya yang dari tadi terus bekembang. Mungkin jika senyuman itu bisa dituliskan dengan kata-kata, ia akan menjadi berlembar-lembar.

Kejadian ini mengingatkan saya pada orang tua saya sendiri. Saat saya diterima di tempat asing ini. Kemudian saat saya wisuda empat tahun setelahnya di sini. Senyum emak dan bapak begitu merekah. Wajahnya menunjukkan rasa bangga. Ada kebahagiaan yang tidak bisa diutarakan namun jelas terbaca. Emak tak henti-hentinya bercerita bahwa beliau sudah lega, melihat saya seperti sampai pada titik ini. Bapak yang lebih diam daripada emak, mempunyai aura yang sama, aura kebahagiaan. Mungkin akan terjadi lagi saat saya menyelesaikan apa yang saya tempuh sekarang (aamiin...).

Dari sini saya belajar bahwa, apa yang dicapai seorang anak saat ini mungkin adalah kebahagiaan yang besar buatnya sendiri. Tapi kebahagiaan yang ia punya adalah nikmat yang tak terhingga untuk orang tuanya.