RSS

Untuk Orang Tuaku Tercinta #1: Bapak

"Pak.. lan jalan yuk!"
itu adalah kalimat andalanku ke Bapak saat aku sumpek atau sekedar ingin menghirup udara segar. Bapak akan dengan senang hati mengeluarkan motor dan membawaku berkeliling desa mengendarainya.

Assalamu'alaikum Pak, ini aku, anak Bapak yang masih Bapak anggap gadis kecil. Apa kabar Pak? Rindu ini rasanya sudah menggunung. Aku yang jauh dari tempat Bapak dan Mama hanya dapat melepas rindu sejauh sinyal ponsel kita masih baik-baik saja dan waktu senggang kita menemukan kedudukan yang tepat.

Pak, ketahuilah. Akhir-akhir ini aku sering melamun dan parahnya aku lakukan di jalan. Kalau dihitung-hitung mungkin sudah tiga kali aku salah jalan. Semuanya karena ini (nunjuk hati dan pikiran). Iya, disela-sela aktivitasku ini, aku menyimpan segudang pertanyaan untuk Bapak dan Mama yang mungkin jika aku tanyakan, waktu seharipun tak akan cukup untuk menjawab, karena aku butuh penjelasan detail dari semua jawabannya. Oleh karena itu, rasa penasaranku yang tak kunjung henti untuk sementara kutuang di sini. Nanti akan kutanya saat kepulanganku ke rumah. Maaf belum bisa pulang, dari telpon terakhir aku tau kalau Bapak sama Mama juga kangen dengan gadis kecil yang nakal ini. Tapi aku menunggu waktu yang pas.

Pak, sepertinya ada yang hilang dari aku. Entah hilang atau kehilangan aku tak tau. Yang berjalan dipikranku adalah untuk apa aku hidup? Sepertinya aku kehilangan fase mimpiku akhir-akhir ini. Jika waktu kecil impianku menggunung namun sekarang aku termenung. Apa sesungguhnnya impianku? Ya, aku mencoba memaknai hidupku yang berujung bingung. Dan aku melihat sosok Bapak yang bisa menjalani hidup dengan semua keinginan dan pikiran positif. Bisakah Bapak jelaskan padaku? Mungkin terlambat aku bertanya pertanyaan ini dengan usiaku yang sudah tidak bisa dibilang dini. Tapi aku memutuskan untuk bertanya daripada aku tersesat. Kurasa Bapak adalah orang yang tepat untuk pertanyaanku.

Ibu Kedua Setelah Mama



Aku sekarang berada di pusaramu. Bergelut dengan penyesalanku sendiri. Merasa durhaka walau aku bukan anakmu. Apa yang aku lakukan kemarin sungguh sebuah hal yang menyakitkan bagi diriku sendiri. Kamu yang sempat menantiku dalam sesekali pertanyaanmu, tapi aku tak kunjung berada di sana. Dan sekarang aku terkurung dengan penyesalanku. Andai dulu aku lebih mengindahkanmu disaat kamu berkata.
“Dek, nggak makan?”
“Iya, Mbaaaak…”
Aaarrgghh! Selalu dengan pertanyaan yang sama setiap harinya. Berasa masih kecil, makan aja pake diingetin berkali-kali. Padahal kalo aku lapar, bakal makan sendiri.
Itu pikiranku dulu, saat tak pernah terpikirkan ini akan terjadi. Sayangnya hal ini terjadi padamu dan berlaku padaku.
Apa kamu tau, Mbak. Aku kangen kekonyolanmu yang terkesan spontan. Ketika percakapan antara kamu, Mama, dan aku di dapur.
“Mbak, baksonya sudah diangetin?”
“Sudah Bu, tadi pagi sama barusan saya angetin.”
“Lho ada bakso ta, Ma?”
“Ada, kemarin dikasih tante Mar. Kamu nggak tau?”
“Nggak, Ma. Nggak dikasih tau mbak Jum.”
Yang diomongin cuma mesem aja.
“Pantesan tadi bau sesuatu yang khas di dapur, ternyata ada bakso.”
“Iya, Dek. Tadi waktu ngangetin bakso di dapur gasnya tumpah tapi sudah ta’ pel kok jadinya sudah nggak begitu bau gas lagi.”
Mendegar penjelasan mbak Jum aku dan mama tertawa terbahak-bahak. Ini aku yang salah ngomong apa mbak Jum yang eror.
“Hahaha.. Bau khas, Mbak. Bau yang bisa diketarai. Bukan bau gas.”, jelas mama ke mbak Jum.
Ucapan kecil yang menggemparkan telingaku. Kamu bisa mencairkan suasana sesekali tanpa harus susah payah membuat guyonan. Salah satu hal terpolos yang pernah kamu lakukan.
Entah kenapa perasaan takut hinggap saat pertama kali betemu denganmu di rumah. Mungkin perasaan engganku yang beradaptasi dengan pembantu baru di rumah karena kebanyakan dari mereka ‘jahat’ denganku sebelumnya. Tapi waktu memusnahkan semuanya seiring keberadaanmu di rumah.
Kamu tau bagaimana cara memperlakukanku. Memperlakukan gadis manja yang tak tau apa-apa seperti aku. Yang bisanya cuma minta tolong ini-itu. Yang bisanya hanya melihatmu di dapur tanpa bisa membantumu. Kamu cukup sabar dengan kelakuanku yang sering tak mengindahkan perkataanmu. Orang yang bisa menjadi pengusir kebosanan ketika tak ada siapapun di rumah. Salah satu orang yang tau makanan kesukaanku dan akan dengan semangat ’45 memasakkan makanan untukku.
Orang yang selalu jadi komentator di depan tivi untuk apa yang setiap dilihatnya. Orang yang dengan senang hati menemaniku menginap di rumah ketika orang tuaku pergi ke luar kota. Dan orang yang akan rela bercerita apa saja tentang hidupnya, masalahnya, dan masalah lalunya dengan intonasi seadanya.
Kupikir kebersamaanku dan kamu akan terus terjaga hingga detik ini. Kupikir umurmu yang lebih mudah dari Mama tak akan menjadi masalah di hidupmu. Kupikir aku masih bisa melihatmu di rumah dengan wajah sumringah ketika aku pulang dari perantauan. Kupikir aku masih bisa menikmati hidangan soto ayam + kentang goreng yang diiris tipis-tipis dari racikan tanganmu. Kupikir Tuhan masih belum berniat mencabut kontrak hidupmu sekarang. Aku tergugu dengan semua pikiranku.
Pusaramu masih basah karena hujan semalam. Aku ke sini sendiri tanpa siapa-siapa, tanpa ditemani Mama ataupun Bapak. Aku takut jika ke sini bersama seseorang, mereka akan melihatku menangis seperti sekarang ini. Kehadiranmu begitu membekas, Mbak. Kenapa kepergianmu begitu tiba-tiba? Apa dunia ini sudah terlalu usang untuk kamu pijak?
Aku masih bermimpi tentangmu. Apa kamu sengaja? Aku masih ingat sebelum kepergianmu, kamu hinggap dalam alam bawah sadarku. Mungkin itu caramu berpamitan pada gadis yang tak tau diri ini. Gadis yang tak pernah menjenguk saat sakitmu. Kamu hadir lagi tujuh hari setelah kepergianmu, empat puluh hari setelahnya kemudian seratus hari dan seterusnya. Aku selalu bercerita pada Mama setiap kedatanganmu dan Mama selalu menjawab dengan jawaban yang membuat takjub.
“Iya, sekarang tujuh harinya Mbak Jum.”
“Besok memang empat puluh harinya Mbak Jum.”
Dan kalimat-kalimat serupa yang membuatku tertegun. Kamu mungkin masih belum pergi dengan tenang di sana karena gadis seperti aku. Gadis cuek seperti aku. Kupikir jarak yang terlalu jauh antara perantauanku dengan rumah akan bisa menjadi alasanku tak mengunjungimu sementara namun nyatanya kamu menepis semua itu dengan kehadiranmu di alam bawah sadarku.
Hari ini matahari tak bersinar terang. Redup cahayanya hilang entah ke mana, mungkin ia mengerti ada kesedihan di sini. Aku tertunduk memanjatkan do’a untukmu. Do’a untuk kebahagiaanmu di sana, do’a atas kebaikanmu yang kamu beri untukku. Do’a untuk semua pengorbananmu. Langit sepertinya mengerti, ia menemani dengan mendungnya. Angin sepertinya menyadari, ia berhembus dingin dengan pelannya. Aku berharap bisa bertemu denganmu lagi, mungkin hanya sekali, dan saat ini. Aku ingin mengatakan apa yang belum aku katakan. Aku ingin memelukmu sebentar. Aku ingin melihat parasmu yang berbinar sekali lagi. Ini permintaan hatiku yang sedang rindu. Tapi aku sadar, permintaanku terlalu tinggi untuk dikabulkan. Mana ada seseorang yang telah meninggalkan jasadnya bangkit dari pusaranya?
Aku memegang nisanmu. Nisan yang masih bersih, yang terukir namamu, Jumainah binti Manaf. Waktu tak akan kembali seperti dulu. Aku yakin kamu bahagia di sana. Aku yakin kamu sudah bertemu dengan adikku yang sudah mendahuluiku. Aku yakin kamu sedang berada di sini sekarang, menemaniku menjenguk pusaramu.
Aku tak tau sudah berapa lama aku di sini. Rasanya waktu terlalu singkat untukku menemuimu. Maaf, aku hanya bisa menemuimu dengan cara seperti ini. Aku juga tak menyangka akan menemuimu dengan cara seperti ini karena kupikir sakitmu akan berujung dengan sembuh dan kita akan bertemu dengan cara seperti biasanya. Tapi nyatanya apa yang kupikirkan tak sama dengan apa yang Tuhan tetapkan.
Aku harus pergi saat ini, maaf harus membiarkanmu sendiri lagi dalam tanah berpetak 2x1 meter ini. Aku janji akan lebih rajin mengunjungi pusaramu. Semoga kamu istirahat dengan tenang Mbak.
Aku berdiri dari pusaranya, merogoh saku jaket untuk mengambil secarik kertas yang berisi tulisan yang kutulis di rumah tadi. Kuselipkan secarik kertas itu tepat di depan nisannya yang tegak berdiri.

Aku tergugu rasa bersalah
Melihatmu terdiam di sini tanpa suara
Di mana kau letakkan wajah sumringahmu selama ini?
Bolehkah kusimpan rapi dihati?
Belum kuucap terima kasih
Atas apa yang kamu beri
Tapi kamu terlanjur pergi
Aku memagut diri disini
Merasakan kamu yang sungguh berarti
Aku tau semua tak akan berarti ketika aku memintamu untuk ada lagi di sini
Aku tau rasa ini tak akan mati
Rindu ini akan selalu bersemayam di hati

 
Sewindu sisa hidupnya Engkau letakkan dalam garis cerita keluargaku, Wanita setengah baya yang mencari rezeki untuk kehidupannya dan keluarganya. Sewindu perjalanannya ternyata begitu membekas di hati. Seseorang yang kupanggil "mbak..." dan seseorang yang seperti ibu keduaku. Sewindu berlalu, dan sekarang adalah awal bulan pertama perpisahanku dengan mbak. Dia sudah tak di sini sekarang, Tak di bumi ini.
Wanita yang selalu bertanya, "Dek, nggak makan?" setiap menit. Ia akan berhenti bertanya ketika aku makan. Kadang kesel rasanya mendengar pertanyaan itu terlontar terus menerus mengingat aku sekarang bukan anak kecil lagi yang harus selalu diingatkan. Dan sekarang aku kangen dengan pertanyaan itu.
Wanita separuh baya yang terkadang menjadi pembicaraan keluargaku. Wanita super yang jarang mangkel ketika teguran dari keluargaku terlontar. Wanita hebat yang bisa diandalkan dalam keluargaku. Wanita yang rajin mengunjungi alam mimpiku sampai sekarang.
Mbak, terima kasih untuk sewindu yang mbak berikan pada keluargaku. terima kasih untuk semua pengorbanan dan pengabdian mbak yang nggak bisa aku sebut satu persatu disini. Terima kasih telah menjadi bagian dari keluargaku, Terima kasih telah merawat gadis yang nakal ini mulai dari ia berseragam merah putih sampai ia masuk ke bangku kuliah sekarang. Terima kasih buat kesabarannya, sewindu bersama dalam keluargaku, Mbak nggak pernah sekalipun memarahiku. Terima kasih tak terhingga.
Mbak, maaf untuk segala salahku dan keluargaku ke mbak. Maaf untuk detik-detik terakhir sewindu mbak yang luput dari perhatianku. Itu adalah penyesalan terbesarku.
Tuhan, mbak ini orang yang baik. Maafkan segala kesalahan mbakku ini, berilah ia tempat terbaik di sisiMu. Engkau tau apa yang aku keluhkan dan apa yang aku sesalkan.
Tuhan, aku kangen mbakku ini, sampaikan salam kangenku pada mbak. biarkan ia tetap rajin berkunjung dalam mimpiku, karena itu satu-satunya cara aku dapat bertemu dengannya.
Tuhan, terima kasih telah menghadirkan mbak dalam keluargaku, ia akan selalu dapat tempat tersendiri dalam hidupku dan keluargaku.