Kebahagiaan terpancar di wajah
Ketika mata adalah jendela hati
Siapapun bisa mengerti
Hari ini saya menjadi saksi. Bahwa kebahagiaan seperti langit, berlapis. Di atas langit masih ada langit, itu juga berlaku pada sebuah kebahagiaan.
Duduklah sepasang orang tua dan anaknya di sebuah ruang tamu. Senyum sang anak begitu merekah, karena besok sewindu perjalanannya di tanah rantau mencapai puncaknya. Ia akan menyandang gelar baru di depan namanya. Gelar yang diimpikan sewaktu menginjakkan kakinya di sini, tanah rantaunya kini. Kebahagiaan terpancar jelas di wajahnya, sangat jelas. Berbeda dari kami yang masih harus berjuang.
Ada yang lebih bahagia dari si anak, kedua orang tuanya. Aura kebahagiaan beliau jelas terpancar walau tak terucap. Ada rasa bangga yang besar pada anaknya, terlihat dari bola mata beliau yang bersinar. Senyumnya yang dari tadi terus bekembang. Mungkin jika senyuman itu bisa dituliskan dengan kata-kata, ia akan menjadi berlembar-lembar.
Kejadian ini mengingatkan saya pada orang tua saya sendiri. Saat saya diterima di tempat asing ini. Kemudian saat saya wisuda empat tahun setelahnya di sini. Senyum emak dan bapak begitu merekah. Wajahnya menunjukkan rasa bangga. Ada kebahagiaan yang tidak bisa diutarakan namun jelas terbaca. Emak tak henti-hentinya bercerita bahwa beliau sudah lega, melihat saya seperti sampai pada titik ini. Bapak yang lebih diam daripada emak, mempunyai aura yang sama, aura kebahagiaan. Mungkin akan terjadi lagi saat saya menyelesaikan apa yang saya tempuh sekarang (aamiin...).
Dari sini saya belajar bahwa, apa yang dicapai seorang anak saat ini mungkin adalah kebahagiaan yang besar buatnya sendiri. Tapi kebahagiaan yang ia punya adalah nikmat yang tak terhingga untuk orang tuanya.
0 komentar:
Posting Komentar