"Apa itu, Om?" Aku penasaran dengan gulungan kertas yang diikat dengan pita warna merah yang Om Bagas berikan padaku.
"Buka aja." Katanya sambil menyodorkan gulungan kertas itu.
Aku menerimanya. Kulepas ikatan pita merah itu, dan kubuka gulungan kertasnya. Disana terpampang jelas wajahku dalam bentuk sketsa. Aku sedang tertawa lebar dengan jilbab khas anak SMP yang kupakai setiap harinya. Di pojok kanan bawah terdapat tulisan be a good girl as always, tanggal dan simbol yang selalu Om Bagas gunakan untuk setiap karyanya.
"Hwaaaa.. Om Bagaaaasss. Baguuuusss!" Aku memeluk sketsa yang diberi Om Bagas sambil setengah menjerit.
"Ssst, teriaknya jangan kenceng-kenceng! Nanti orang ngira aku ngapa-ngapain kamu." Kata Om Bagas menepuk bahuku.
"Ini bagus, Om. Aku terharu." Aku memandang lekat sketsa yang dibuat Om Bagas.
"Tapi, Om..."
"Apa?"
"Ini nggak bayarkan? Seingetku Aku nggak pernah pesen." Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
"Hahaha.. Kamu mau bayar ini pakek apa? Buat beli komik aja kamu harus nabung dulu berhari-hari, apalagi buat bayar ini." Om Bagas terpingkal.
"Ya kali Om, aku disuruh bayar. Tapi makasih banyak lho Om. Habis ini aku mau minta Ibu buat beliin pigura, mau aku pasang di kamarku." Aku nyengir.
"Bener-bener fans sejati ya kamu? Hahaha..."
"Kan aku udah bilang dari awal kalo aku suka karyanya Om Bagas." Aku menggulung kembali sketsa pembelian Om Bagas.
Entah kenapa suasana tiba-tiba hening. Om Bagas menunduk, entah apa yang dipikirkan.
"Jeng..." Katanya tiba-tiba.
"Apa, Om?"
"Selalu jadi gadis baik ya!"
Aku memasang tampang bingung, tak paham dengan maksud Om Bagas dan hanya mengangguk.
Sore itu adalah hari terakhirku bertemu Om Bagas. Besoknya Om Bagas sudah tak membuka lapak lagi di emperan toko. Terasa aneh memang sepulang sekolah tak ada Om Bagas, tapi mau gimana lagi.
Beberapa waktu setelahnya aku juga disibukkan dengan persiapan masuk pondok. Menguras tenaga dan pikiran. Tapi Alhamdulillah, aku lolos. Aku pulang hanya jika ada libur panjang. Sampai tahun ke dua SMAku, aku pulang dari pondok. Ku buka kamarku.
"Buuu.." teriakku dari dalam kamar.
"Apa, Jeng?"
"Ini apa? Ko' ada bungkusan kado besar banget di kamarku?" Kulihat ada sebidang kotak berukuran besar yang dibungkus kado.
"Buka, aja. Jeng. Itu kado. Sebulan yang lalu dikasih. Kamunya masih di pondok."
Kusobek perlahan kertas kado yang membungkus sebidang kotak itu. Sekarang terlihat jelas isinya. Aku terduduk di lantai, mengangah tak percaya. Kututup mulutku dengan kedua tanganku. Mataku berkaca. Sebuah lukisan berpigora ukuran 30R. Disana berlatar biru muda, ada dua orang di lukisan itu. Seorang laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki sedang sibuk menggambar dan yang perempuan berseragam sekolah sedang duduk di depannya melihat gambar si laki-laki itu. Seketika aku teringat Om Bagas.
Di pojok kiri pigura, terselip sebuah amplop berwarna biru. Ku ambil amplop tersebut, di sana ada tulisan 'untuk Ajeng'. Kubuka amplopnya.
Halo, Jeng. Gimana kabarnya? Masih inget aku, yang biasanya kamu panggil Om? hehe..
Maaf ya, tak sempat menemuimu secara langsung. Aku tau, mungkin aku memberi ini di waktu yang kurang tepat, sewaktu kamu masih di pondok. Tapi ini memang harus aku berikan sebelum aku kembali ke rutinitasku buat kamu yang sangat berjasa. Ini adalah sebuah lukisan yang khusus aku hadiahkan buat kamu. Mungkin ini nggak sebanding dengan apa yang sudah kamu lakukan buat aku. Di hari terakhir kita ketemu dulu, aku belum ngucapin terima kasih ke kamu. Terima kasih sebesar-besarnya buat kamu. Di hari pertama kamu singgah ke lapakku, aku pikir kamu cuma bocah ingusan sambil lalu. Datang karena tertarik sesaat. Itu awal pikiranku. Tapi ternyata tidak. Kamu memang fans sejatiku, Jeng. Fans nomer satuku.
Apa kamu tahu, Jeng?
Kenapa aku buka lapak di emper toko itu? Aku tidak punya tempat untuk berkreasi. Ekspektasi orang-orang sekitarku terlalu tinggi. Mereka hanya melihatku sebagai penerus usaha orang tuaku. Tak ada yang menghargai hobiku, termasuk orang tuaku sampai aku bertemu kamu. Enam bulan sebelum bertemu kamu aku merintis orderanku di kalangan teman-temanku. Aku berkilah kalau itu usaha temanku dan aku hanya mempromosikannya. Mereka tak ada yang tahu kalau itu hasil buatanku. Ya setidaknya dari sana aku merasa karyaku dihargai. Enam bulan setelahnya aku bertemu kamu. Seorang anak kecil yang masih polos yang terkagum-kagum melihat karyaku. Kamu dengan karakter dan kepolosanmu menjadi motivasiku kalau karyaku masih dapat terus berkembang. Aku tersadar saat kamu pernah berkata 'kenapa Om nggak jadi komikus aja? sebagai fans yang baik, aku bakal beli karya Om.' Aku semakin percaya saat aku memberikan sketsa wajah ke kamu. Ekspresimu nggak akan aku lupa. Matamu yang terbelalak senang dan jeritanmu. Aku semakin yakin untuk memulai hal besar.
Dan dari hari itulah semuanya dimulai, Jeng. Aku mengembangkan minatku ke sanggar lukis sehari setelah pertemuan terakhir kita. Aku bercita-cita menjadi pelukis sejak kecil Jeng, tapi tak ada yang bisa mengerti. Bulan-bulan awal aku sembunyi-sembunyi. Tapi setahun setelahnya aku bisa meyakinkan orang tuaku. Aku berhenti kuliah, fokus pada apa yang aku impikan.
Sekarang aku sudah punya galeri sendiri di Jakarta. Aku menjadi guru seni di sanggarku sendiri. dan sudah beberapa kali mengadakan pameran di sana.
Maaf untuk pertanyaanmu yang kadang tidak aku jawab. Aku pikir kamu tak perlu tahu masalahku. Aku juga nggak mau jika pada akhirnya kamu menyukai karyaku karena belas kasihan dan ujung-ujungnya memotivasiku untuk terus maju. Aku cuma butuh sebuah penghargaan tulus seperti yang kamu lakukan selama ini. Terima kasih sudah hadir di masa sulitku, terima kasih sudah dengan terang-terangan menjadi fansku. Tanpa kamu sadari, kamu adalah motivator handal yang terbungkus dalam wujud bocah, aku dapat banyak pelajaran dari kamu. Sekolah yang rajin ya. Kalo nanti main ke Jakarta jangan lupa mampir ke sanggarku. Ini alamat dan nomer telpon yang bisa kamu hubungi kalo kamu ke sana.
Salam bahagia,
Idolamu :p
nb: Mungkin pada akhirnya aku nggak jadi komikus seperti yang kamu bayangkan. Tapi apa yang kamu lihat sekarang adalah hasil karyaku. Lagi-lagi ini gratis, kamu nggak perlu nabung untuk beli lukisanku. hahaha...
Aku terpaku melihat lukisan di depanku, terbayang masa SMPku saat bertemu Om Bagas. Semoga selalu sukses Om :)
0 komentar:
Posting Komentar