"Pulang dulu yaaaaa.. Besok jangan lupa berangkat pagi. Kamu waktunya piket kelas!" Aku cuma nyengir mendengar ocehan teman sebangkuku yang hendak pulang ke rumah.
Aku adalah seorang siswi SMP kelas VIII. Sekolahku tak jauh dari rumah. Cukup berjalan kaki lima menit, melewati kompleks pertokoan, tak jauh di deretan pertokoan itu sekolahku berdiri.
Masih jam satu. Rumah pasti masih sepi. Ayah, Ibu, sama Mas pasti masih belum pulang, pikirku. Aku bosan di rumah sendirian kalo pulang sekolah. Tapi nggak tau mau main ke mana. Aku berjalan santai setiba di kompleks pertokoan. Di sana sebenarnya ada toko buku, tapi aku sedang tak ada uang. Sampai di halaman sebuah toko yang tutup aku berhenti. Terpampang berbagai macam sketsa wajah dengan berbagai macam ukuran. Tergambar ekspresi yang sempurna.
"Mau bikin, Dek?" Dia menepuk bahuku.
"Eh... nggak, Om. Cuma lihat aja. Nggak apa-apa kan?" Aku terjingkat karena ada seseorang yang tiba-tiba menepuk bahuku.
"Iya, nggak apa-apa."
Jika dilihat dari fisiknya, menurut perkiraanku orang yang sekarang di depanku ini sebenarnya seumuran dengan Masku yang sedang kuliah. Tapi aku terlanjur memanggilnya Om. Tak apalah.
"Om baru ya di sini? Perasaan kemaren waktu aku pulang sekolah belum ada."
"Iya, baru hari ini buka. Kebetulan toko ini bukanya malam. Jadi minta ijin yang punya toko dulu ee.. ternyata dibolehin." Dia mengambil sebuah kertas berukuran A4 dengan alasnya dan sebatang pensil.
"Ooo.. Om mau gambar?" Aku lebih mendekat ke arahnya.
"Iya. Ini lagi ada pesenan."
Aku berjongkok di depannya. Dia mulai menggambar sketsa wajah. Sekali gores langsung mulus. Lihai sekali pikirku, aku aja nggak bisa gambar. Sejarah pelajaran gambarku adalah dua buah gunung yang ditengahnya ada jalan yang diintari sawah.
"Kamu nggak pulang? Nggak dicari Ibumu?" Dia menghententikan aktivitasnya menatapku.
Aku mendongak ke arahnya, "Jam segini di rumah sepi Om. Ayah sama Ibu masih kerja. Masku masih kuliah. Males di rumah sendirian."
Dia hanya mengangguk.
"Namamu siapa?"
"Ajeng, Om. Namanya Om siapa?"
"Namaku Bagas." ia melanjutkan sketsanya.
Disana tergambar dua bocah laki-laki bersama ibu dan ayahnya.
"Sudah lama Om kerja ginian?"
"Suka nggambarnya sih udah lama Jeng, Tapi buka usaha gini baru enam bulan."
"Om kok pinter gambar sih?"
"Hahaha... pertanyaanmu susah dijawab, Jeng." Baru kali itu dia tertawa.
Aku cuma garuk-garuk kepala, "Salah Om?"
"Ya kan tiap orang punya bakat sendiri-sendiri, Jeng." Dia tersenyum lebar.
"Iya juga sih."
"Eh, kamu duduk bersila aja. Nih pakai koran. Jangan jongkok gitu. Nggak capek kamu jongkok terus?" Dia memberiku sehelai kertas koran.
"Lumayan capek Om. hehehe.."
Om Bagas melanjutkan sketsanya. Aku melanjutkan melihat sketsanya.
"Jam berapa ini Jeng? Kamu nggak pulang?"
Aku melihat jam tanganku, "Wew.. nggak kerasa Om udah mau sore. Ya udah Ajeng pulang dulu ya Om. Boleh mampir lihat lagi kan Om?"
"Iya, boleh. Ya udah sana pulang. Nanti dikira kamu diculik lagi."
"Sip Om, aku pulang dulu."
Aku berdiri, melipat kertas koran yang diberikan Om Bagas tadi, membuangnya ke tempat sampah, lalu pulang.
0 komentar:
Posting Komentar