RSS

Ambilkan Bulan

Sudah larut, tapi mata masih terjaga. Aaaa.. ini gara-gara kopi tadi sore. Sudah berkali-kali aku ganti posisi. Mulai dari miring, tengkurep, sampai duduk bersandar bantal, hasilnya nihil. Akhirnya aku berjalan menuju jendela kamar. Kusingkap tirai, sebenernya agak horor ngebayangin kalo pas aku singkap tirai dan Dor! ada wajah nempel di jendela. Tapi sepertinya imajinasiku terlalu berlebihan. Diluar sepi, tapi sepertinya ada seseorang di halaman sedang duduk-duduk. Kuambil sweaterku dan menyejajarinya.
"Kak, ko' duduk di sini? Nggak tidur?", kakak menoleh ke arahku.
"Nggak dek, lagi panas.", katanya.
"Panas dari mana Kak? Dingin gini.", aku menunjuk sweaterku.
"Panas pikiran adeeek.", kakak mengacak rambutku.
"Ceritalah kaaaak. Sapa tau aku bisa bantu.", aku merajuk.
"Anak kecil tau apa.", kakak mengangkat sebelah alisnya.
"Diskriminatif banget, walaupun kakak sudah tua dan aku masih imut, aku ini pendengar yang baik lho kak.", aku mengedipkan sebelah mataku.
"Aw! Sakit kaaak.", kakak mencubit pipiku. Kakak, saudara laki-laki yang tidak terlalu banyak bicara kalau nggak dipaksa. Jarang cerita tentang masalahnya, lebih suka mendengarkan ceritaku. Lebih sering mengintimidasiku tepatnya. Walapun begitu, kakak adalah saudara terbaik. Selalu ada buat aku.
"Anak kecil kenapa jam segini belum tidur?", tanyanya.
"Insomnia gara-gara kopi. Udah dimerem-meremin tetep aja nggak bisa. Kesalahan nyeruput kopi punya Ayah."
"Kualat itu namanya, kopi Ayah ko' diminum. Buat sendiri sana, masak anak cewek males."
"Ya kan cuma pengen ngincip aja kak.", belaku.
Hening kemudian. Kakak sepertinya larut lagi dengan pikirannya kali ini menghadap atas.
"Kak.", aku menyenggolnya.
"Hmm..", dia masih melihat atas tak memperhatikanku.
"Liat apaan?", tanyaku.
"Ambilkan bulan dek.", celetuknya.
"Hah? Apa?"
"Ambilkan bulan Dek, ambilkan bulan dek, yang slalu bersinar di langit."
"Malah nyanyi. Minta Ibu lho, Kak. Kan itu lagu buat Ibu.", kataku.
"Pamali nyuruh-nyuruh orang tua, ada yang lebih kecil kenapa nggak, hahaha."
Aku menepuk jidat. Mulai nih penindasan.
"Kakak masih waras kan? Aku nggak mau punya kakak setengah miring.", aku menjulurkan lidah pada kakak.
"Do'ain kakak ya.", katanya tak menanggapi leluconku tadi.
"Buat?"
"Kondisi seperti ini nggak enak, Dek. Kalau ketemu orang mesti ditanya kapan begini, kapan begitu. Ya kakak pengen juga, tapi namanya belum nemu. Udah usaha ke sana ke sini, buktinya?"
Sepertinya aku mulai paham apa yang dipikirkan kakak.
"Sudahlah Kak, nggak usah diambil hati. Anggep aja motivasi, anggep juga do'a dan anggep kalau mereka care sama kakak. Yakin deh, kalo Kakak sudah berhasil dengan apa yang mereka tanyakan, pasti ada pertanyaan lain lagi. Pada dasarnya hidup ini adalah tanda tanya kak, jadi dijalani aja.", aku menepuk bahu kakak.
Kakak tersenyum mendengar jawabanku.


Satu bulan kemudian.
"Adeek anterin ini ke mbak Tri, bu Siamah, bu Hana ya, habis itu jajan yang ada di meja kasihkan pak No di depan, terus minta anter Kakak bawa rantang yang ada di meja ke rumah Mbah sama ke Bu Dhe!", teriak ibu dari dapur.
"Ya bu."
Hari itu, ada syukuran di rumah kami. Syukuran untuk kakak karena sudah diterima kerja. Penempatannya masih belum tahu, tapi untuk training bakal diadakan di ibukota selama dua bulan.
Malam harinya aku masuk kamar kakak.
"Ngapain kamu ngintip-ngintip?", kata kakak melihatku yang hanya tampak kepalanya saja dari balik pintu.
"Lagi apa Kak?", tanyaku.
"Mau packing tapi masih bingung mau packing apa. Itu apa dek?"
"Oh ini, buat Kakak.", aku menyerahkan kotak yang yang agak besar berbungkus kado kepada kakak.
"Aku buka ya?", tanya kakak.
Aku mengangguk.
Kakak membuka kotaknya.
"Baskom?", raut wajah kakak bingung.
"Sini aku tunjukin, Kak.", aku menuju dapur. Mengisi baskom dengan air, kakak mengkutiku.
"Buat apa itu dek?", tanyanya dengan tampang keheranan melihat ulahku.
"Sst! Udah, Kakak diem aja.", jawabku sambil membawa baskom berisi air ke halaman rumah.
"Nah, selesai!", kataku.
"Apa yang selesai?", tanya kakak bingung.
"Haduuh, Kakaak. Itu di baskom ada bayangan apa?", kataku gemes.
Kakak mengamati baskom dan aku ikut di sampingnya. Di sana terdapat bayangan Kakak, aku, dan
"Bulan.", katanya lirih.
"Jempol. PRku sudah selesai kan? Kakak nggak perlu lagi minta orang ambilkan bulan di Jakarta sana. Tinggal ambil baskom, beres.  Kakak juga bisa pegang bulan, ya walaupun cuma bayangan dalam air. Tapi gapapa kan?", tanyaku sembari memberikan baskom berisi air itu ke tangan kakak.
Kakak diam memandangku dan setelah itu berkata, "Kamu memang sudah bukan adek kecilku yang sukanya ngerusuhin aja ya.", sembari mengacak-acak rambutku.
Aku bingung mendengar ucapannya.

0 komentar:

Posting Komentar