Seharusnya tanganku sudah tak menengadah lagi. Terus menerus meminta tanpa bisa memberi sedikitpun. Tapi sepertinya Tuhan berkata lain.
Seharusnya aku sudah bisa berdampingan. Tak terpisah beratus-ratus kilometer dari tempatku sekarang berada. Andai aku bisa memeluk jarak.
Seharusnya aku sudah melangkah di atas pijakanku sendiri. Nyatanya berjalan tertatih menuju tempat terakhir. Akan seberapa kuat aku?
Aku terlalu banyak mengeluh! Berceloteh tentang ini itu dengan diriku sendiri. Merasa belum puas dengan apa yang ada dan berharap kepada yang seharusnya. Tapi lambat laun tergugu dengan pikiran sendiri. Hey! Aku tidak hidup dalam pikiran sendiri. Menyesalpun tak ada guna. Yang harus dilakukan adalah tetap bertahan bukan tertahan.
Mengeluh bukan jalan keluar. Mau mengeluh pada siapa? Pada orang yang biasanya menjadi tempat berkeluh kesah? Apa selamanya bakal mengeluh pada mereka? Hey, ingat! Mereka bahkan tak pernah sedikitpun mengeluhkanku. Mereka mati-matian bertahan demi aku! Merasa berat dengan bukan yang seharusnya? Coba pikir seribu kali. Mereka tak pernah keberatan sekalipun menerima tengadah tanganku. Berteman dengan jarak dan menuntun jalanku demi aku!
Tanganku memang masih menengadah. Seharusnya beri kabar gembira. Bukan segunung keluh yang tiada tara.
Aku memang tak bisa memeluk jarak. Seharusnya pahami bahwa jarak mengajarkan betapa pentingnya mereka dalam hidup.
Aku memang masih tertatih. Menapak sejengkal demi sejengkal jalan di depan. Seharusnya aku bisa sabar.
Hidup tak selalu berjalan sesuai dengan pikiran. Seharusnya aku bisa menerima.
0 komentar:
Posting Komentar