Senja di Bali.
Akhirnya aku menapakkan kakiku di sini lagi setelah setahun lalu. Tanah Lot
adalah tempat terbaik versiku untuk menikmati sunset. Seleraku memang selera kebanyakan orang, tapi tak tahu
kenapa aku ingin pergi ke sini lagi. Hahaha... aku menertawai diriku sendiri. Menikmati sunset
adalah tameng yang kuciptakan untuk pergi ke sini. Buat apa jauh-jauh ke Bali
hanya untuk menikmati sunset? Sunset bisa dinikmati dimanapun jika aku
memang menyukainya. Karena sebenarnya aku datang ke sini untuk melepas rindu.
Rindu yang tak mungkin aku katakan apalagi aku teriakkan.
Rindu ini
sangat menyiksa. Rindu yang menyesakkan. Ragaku yang sehat, seolah-olah terkena
asma karenanya. Rindu bisa menimbulkan efek luar biasa. Seperti saat ini, aku
berusaha keras membendung air mata yang sejak tadi sudah ingin lepas dari
pertahanannya. Rindu seseorang yang patah hati bagai menenggak racun yang siap
menggiring mati. Dikatakan tak mungkin, disimpan sendiri menyiksa.
Entah berapa
lama aku duduk di sini. Aku memandang kosong lautan yang menyuguhkan
pemandangan megah, matahari yang kembali ke peraduannya. Sedangkan yang tergambar
olehku adalah bayangan kita setahun lalu. Kita berdiri bersisian, memandang
sunset kala itu.
Aku tertunduk
dalam, menutup mata masih berusaha membendung air mataku. Setelah merasa
tenang, aku kembali membuka mata. Aku menangkap bayangan seseorang yang berdiri
di sampingku. Sepertinya aku mengenal sosok itu, tapi tidak mungkin.
"Wita..."
Belum selesai aku bergulat dengan hatiku, aku menoleh ke sumber suara itu. Dan
ternyata benar, itu kamu.
Alam
sepertinya bersekongkol untuk membuat hatiku sesak berkali-kali lipat.
Bagaimana mungkin di hari yang sama dengan tempat yang begini luas, kamu
berdiri di sini bertemu denganku.
Mata kita
beradu beberapa detik. Tak ada kata yang keluar. Kamu duduk di sebelahku diam.
Wajahku pucat pasih. Aku memang rindu tapi tak berharap untuk bertemu. Situasi
seperti ini adalah situasi yang sulit untukku.
"Apa
kabar?" Tanyamu memecah keheningan.
"Seperti
yang kamu lihat." Aku tak mungkin mengatakan aku baik-baik saja setelah
melihatmu dalam keadaan seperti ini.
Ada jeda
diantara kita. Hening yang begitu lama karena aku tak bertanya balik kepadamu.
Hanya deru ombak yang terdengar mewakili perasaan kita masing-masing, mungkin.
"Terima
kasih ya, Wit." Kamu memecah keheningan kembali.
"Untuk?"
Aku memandang heran ke arahmu.
"Karena
masih mau menyimpan rahasiaku walau kita sudah tidak lagi bersama. Terima kasih
karena tidak menceritakannya kepada orang-orang. Hal itu sempat menghantuiku.
Aku bersiap-siap menerima resiko jika hal itu sampai terjadi. Tapi hingga detik
ini, semua baik-baik saja. Jadi, terima kasih untuk kebaikanmu."
Aku tertegun
mendengar pernyataanmu.
"Kamu
tidak perlu khawatir tentang itu. Seharusnya kamu sudah tau bahwa aku orang
yang bisa menjaga rahasia." Semakin lama nada bicara semakin tak
terdengar. Sial, kenapa aku seolah memaksa dia untuk memahamiku. Sudah bukan
waktunya.
"Rahasiamu
sepenuhnya hakmu. Aku tak punya andil untuk berbagi pada siapapun. Kamu tak
perlu khawatir tentang itu." Aku memperbaiki sikap dan nada bicaraku.
Kamu
menyunggingkan senyum. Senyum yang dulu selalu menentramkan hati, tapi lain hal
sekarang. Raut mukamu memancarkan kelegaan.
"Aku
harus pergi. Besok aku akan kembali dengan penerbangan pertama." Aku
bergegas memungut sandal yang tergeletak disampingku berlalu tanpa minta
persetujuanmu.
"Sampai
ketemu lagi Wit." Katamu lirih yang masih bisa terdengar olehku.
Aku tak
menyahuti.
Sebaiknya kita
tak bertemu untuk waktu yang lama. Aku sudah cukup paham kenapa kita
dipertemukan sekarang. Awalnya aku bahagia karena aku tahu kita sama-sama saling memikirkan. Tapi kenyataannya adalah kamu memikirkanku hanya karena kamu takut rahasia yang
kuketahui seluk beluknya dengan gampangnya kuceritakan kepada orang banyak.
Sedangkan aku memikirkanmu karena perasaan ini masih ada. Kita memang dari dulu tak pernah sejalan.
Aku sudah tak
kuasa menahan bendungan air mata. Aku tak perlu takut orang sekitar melihatku
karena malam telah tiba. Tak ada yang bisa melihat wajahku dalam gelap.
0 komentar:
Posting Komentar