Kakiku berpijak di tempat yang sama, setahun yang lalu. Kupejamkan mata memutar kenangan lalu.
"Nanti kita ke sini lagi ya?", ujarmu.
"Kapan?"
"Saat Aku, Kamu, dan Tuhan sudah bersatu.", katamu.
Aku hanya tersenyum saat itu.
Pantai. Kamu selalu suka itu. Bagimu pantai adalah kegembiraan, hamparan air yang tak punya ujung sejauh matamu memandang. Kamu ibaratkan itu seperti sebuah mimpi yang tak akan ada habisnya. Ombaknya kamu kaitkan dengan gelombang hidup yang setiap saat bisa menerjang. Pemandangannya kamu gambarkan seperti kebahagiaan yang sudah tercecer dalam hidupmu. Dan tepiannya kamu kaitkan dengan tujuan hidupmu. Aku masih menyimpan seraut wajah penuh semangat milikmu ketika bercerita tentang pantai.
Kamu mengajakku berlayar dengan perahu ketika itu.
"Coba kamu lihat itu dan itu!"
Aku mengikuti arahanmu.
"Kenapa?", tanyaku.
"Pantai, perahu, laut, pulau sebrang, dan kita.", kamu tersenyum.
"Terus?", aku memasang wajah tidak paham.
"Pantai adalah duniaku dan duniamu sekarang. Perahu ini adalah bahtera kita nanti, aku nahkoda dan kamu navigatornya, laut adalah gelombang hidup kita, dan pulau sebrang adalah tujuan hidup kita kelak. Bersedia berlayar denganku?"
Aku tertegun mendengar ucapanmu.
Aku membuka mata, detik ini adalah nyata. Bukan setahun kemarin. Aku berjalan menuju tempat dimana alas kakiku kuletakkan, duduk kemudian dan memandangi pemandangan sekitar. Pikiranku beradu.
Kenapa harus kamu?
Kenapa aku dan Tuhan memilihmu?
Bukan, bukan aku yang memilihmu, tetapi hatiku. Aku memilihmu karena kamu adalah kamu. Tuhan memilihmu karena kamu adalah milikNya. Aku bisa apa?
Tuhan mengenalkanku padamu sebagai pelajaran. Aku kira kamu adalah pengajar yang Dia kirim agar kita bisa belajar bersisian. Agar kamu bisa mengajariku banyak hal, agar kamu bisa membatasiku untuk hal-hal yang aku lakukan kelewatan, agar kamu menunjukkan padaku untuk hal yang tidak aku tahu. Tapi itu bukan rencanaNya. Kamu dikirimkan agar aku belajar bahwa rasa bisa mengajarkan segala hal termasuk keikhlasan. Aku tau, Tuhan pasti menyayangi orang sepertimu, dan karena itulah Dia memanggilmu. Membiarkan aku belajar agar terbiasa tak bersisian denganmu. Di sini, sendiri.
Aku tertunduk. Sudut mataku basah. Ternyata aku belum bisa mengikhlaskan kepergianmu. Maafkan aku. Aku bukan orang yang mempunyai jiwa besar sepertimu.
Kamu tau? Tadi malam kamu dan tempat ini menjadi bunga tidurku. Itulah yang membawaku ke tempat ini lagi. Sepertinya Tuhan sengaja ingin mempertemukan kita lagi. Ajakanmu sekarang menjadi nyata, kita kembali di sini saat Aku, Kamu dan Tuhan sudah bersatu. Aku memandang dua pasang benda yang menjadi satu-satunya kenangan kita di sini. Mereka masih bersisian, menggantikan kita yang sudah bersebrangan. Dua pasang sandal jepit milik kita setahun yang lalu.
0 komentar:
Posting Komentar