Aku
sekarang berada di pusaramu. Bergelut dengan penyesalanku sendiri. Merasa
durhaka walau aku bukan anakmu. Apa yang aku lakukan kemarin sungguh sebuah hal
yang menyakitkan bagi diriku sendiri. Kamu yang sempat menantiku dalam sesekali
pertanyaanmu, tapi aku tak kunjung berada di sana. Dan sekarang aku terkurung
dengan penyesalanku. Andai dulu aku lebih mengindahkanmu disaat kamu berkata.
“Dek, nggak makan?”
“Iya, Mbaaaak…”
Aaarrgghh! Selalu dengan pertanyaan yang sama setiap
harinya. Berasa masih kecil, makan aja pake diingetin berkali-kali. Padahal
kalo aku lapar, bakal makan sendiri.
Itu
pikiranku dulu, saat tak pernah terpikirkan ini akan terjadi. Sayangnya hal ini
terjadi padamu dan berlaku padaku.
Apa
kamu tau, Mbak. Aku kangen kekonyolanmu yang terkesan spontan. Ketika percakapan
antara kamu, Mama, dan aku di dapur.
“Mbak, baksonya sudah diangetin?”
“Sudah Bu, tadi pagi sama barusan saya angetin.”
“Lho ada bakso ta, Ma?”
“Ada, kemarin dikasih tante Mar. Kamu nggak tau?”
“Nggak, Ma. Nggak dikasih tau mbak Jum.”
Yang diomongin cuma mesem aja.
“Pantesan tadi bau sesuatu yang khas di dapur, ternyata
ada bakso.”
“Iya, Dek. Tadi waktu ngangetin bakso di dapur gasnya
tumpah tapi sudah ta’ pel kok jadinya sudah nggak begitu bau gas lagi.”
Mendegar penjelasan mbak Jum aku dan mama tertawa
terbahak-bahak. Ini aku yang salah ngomong apa mbak Jum yang eror.
“Hahaha.. Bau khas, Mbak. Bau yang bisa diketarai. Bukan
bau gas.”, jelas mama ke mbak Jum.
Ucapan
kecil yang menggemparkan telingaku. Kamu bisa mencairkan suasana sesekali tanpa
harus susah payah membuat guyonan.
Salah satu hal terpolos yang pernah kamu lakukan.
Entah
kenapa perasaan takut hinggap saat pertama kali betemu denganmu di rumah.
Mungkin perasaan engganku yang beradaptasi dengan pembantu baru di rumah karena
kebanyakan dari mereka ‘jahat’ denganku sebelumnya. Tapi waktu memusnahkan
semuanya seiring keberadaanmu di rumah.
Kamu
tau bagaimana cara memperlakukanku. Memperlakukan gadis manja yang tak tau apa-apa
seperti aku. Yang bisanya cuma minta tolong ini-itu. Yang bisanya hanya
melihatmu di dapur tanpa bisa membantumu. Kamu cukup sabar dengan kelakuanku
yang sering tak mengindahkan perkataanmu. Orang yang bisa menjadi pengusir
kebosanan ketika tak ada siapapun di rumah. Salah satu orang yang tau makanan
kesukaanku dan akan dengan semangat ’45 memasakkan makanan untukku.
Orang
yang selalu jadi komentator di depan tivi untuk apa yang setiap dilihatnya.
Orang yang dengan senang hati menemaniku menginap di rumah ketika orang tuaku pergi
ke luar kota. Dan orang yang akan rela bercerita apa saja tentang hidupnya,
masalahnya, dan masalah lalunya dengan intonasi seadanya.
Kupikir
kebersamaanku dan kamu akan terus terjaga hingga detik ini. Kupikir umurmu yang
lebih mudah dari Mama tak akan menjadi masalah di hidupmu. Kupikir aku masih
bisa melihatmu di rumah dengan wajah sumringah ketika aku pulang dari
perantauan. Kupikir aku masih bisa menikmati hidangan soto ayam + kentang goreng
yang diiris tipis-tipis dari racikan tanganmu. Kupikir Tuhan masih belum
berniat mencabut kontrak hidupmu sekarang. Aku tergugu dengan semua pikiranku.
Pusaramu
masih basah karena hujan semalam. Aku ke sini sendiri tanpa siapa-siapa, tanpa
ditemani Mama ataupun Bapak. Aku takut jika ke sini bersama seseorang, mereka
akan melihatku menangis seperti sekarang ini. Kehadiranmu begitu membekas,
Mbak. Kenapa kepergianmu begitu tiba-tiba? Apa dunia ini sudah terlalu usang
untuk kamu pijak?
Aku
masih bermimpi tentangmu. Apa kamu sengaja? Aku masih ingat sebelum kepergianmu,
kamu hinggap dalam alam bawah sadarku. Mungkin itu caramu berpamitan pada gadis
yang tak tau diri ini. Gadis yang tak pernah menjenguk saat sakitmu. Kamu hadir
lagi tujuh hari setelah kepergianmu, empat puluh hari setelahnya kemudian
seratus hari dan seterusnya. Aku selalu bercerita pada Mama setiap kedatanganmu
dan Mama selalu menjawab dengan jawaban yang membuat takjub.
“Iya, sekarang tujuh harinya Mbak Jum.”
“Besok memang empat puluh harinya Mbak Jum.”
Dan
kalimat-kalimat serupa yang membuatku tertegun. Kamu mungkin masih belum pergi
dengan tenang di sana karena gadis seperti aku. Gadis cuek seperti aku. Kupikir
jarak yang terlalu jauh antara perantauanku dengan rumah akan bisa menjadi
alasanku tak mengunjungimu sementara namun nyatanya kamu menepis semua itu
dengan kehadiranmu di alam bawah sadarku.
Hari
ini matahari tak bersinar terang. Redup cahayanya hilang entah ke mana, mungkin
ia mengerti ada kesedihan di sini. Aku tertunduk memanjatkan do’a untukmu. Do’a
untuk kebahagiaanmu di sana, do’a atas kebaikanmu yang kamu beri untukku. Do’a
untuk semua pengorbananmu. Langit sepertinya mengerti, ia menemani dengan
mendungnya. Angin sepertinya menyadari, ia berhembus dingin dengan pelannya.
Aku berharap bisa bertemu denganmu lagi, mungkin hanya sekali, dan saat ini.
Aku ingin mengatakan apa yang belum aku katakan. Aku ingin memelukmu sebentar.
Aku ingin melihat parasmu yang berbinar sekali lagi. Ini permintaan hatiku yang
sedang rindu. Tapi aku sadar, permintaanku terlalu tinggi untuk dikabulkan.
Mana ada seseorang yang telah meninggalkan jasadnya bangkit dari pusaranya?
Aku
memegang nisanmu. Nisan yang masih bersih, yang terukir namamu, Jumainah binti
Manaf. Waktu tak akan kembali seperti dulu. Aku yakin kamu bahagia di sana. Aku
yakin kamu sudah bertemu dengan adikku yang sudah mendahuluiku. Aku yakin kamu
sedang berada di sini sekarang, menemaniku menjenguk pusaramu.
Aku
tak tau sudah berapa lama aku di sini. Rasanya waktu terlalu singkat untukku
menemuimu. Maaf, aku hanya bisa menemuimu dengan cara seperti ini. Aku juga tak
menyangka akan menemuimu dengan cara seperti ini karena kupikir sakitmu akan
berujung dengan sembuh dan kita akan bertemu dengan cara seperti biasanya. Tapi
nyatanya apa yang kupikirkan tak sama dengan apa yang Tuhan tetapkan.
Aku
harus pergi saat ini, maaf harus membiarkanmu sendiri lagi dalam tanah berpetak
2x1 meter ini. Aku janji akan lebih rajin mengunjungi pusaramu. Semoga kamu
istirahat dengan tenang Mbak.
Aku
berdiri dari pusaranya, merogoh saku jaket untuk mengambil secarik kertas yang
berisi tulisan yang kutulis di rumah tadi. Kuselipkan secarik kertas itu tepat
di depan nisannya yang tegak berdiri.
Aku tergugu rasa bersalahMelihatmu terdiam di sini tanpa suaraDi mana kau letakkan wajah sumringahmu selama ini?Bolehkah kusimpan rapi dihati?Belum kuucap terima kasihAtas apa yang kamu beriTapi kamu terlanjur pergiAku memagut diri disiniMerasakan kamu yang sungguh berartiAku tau semua tak akan berarti ketika aku memintamu untuk ada lagi di siniAku tau rasa ini tak akan matiRindu ini akan selalu bersemayam di hati
Sewindu sisa hidupnya Engkau letakkan dalam garis cerita
keluargaku, Wanita setengah baya yang mencari rezeki untuk kehidupannya dan
keluarganya. Sewindu perjalanannya ternyata begitu membekas di hati. Seseorang
yang kupanggil "mbak..." dan seseorang yang seperti ibu
keduaku. Sewindu berlalu, dan sekarang adalah awal bulan pertama perpisahanku
dengan mbak. Dia sudah tak di sini sekarang, Tak di bumi ini.
Wanita yang selalu bertanya, "Dek,
nggak makan?" setiap
menit. Ia akan berhenti bertanya ketika aku makan. Kadang kesel rasanya
mendengar pertanyaan itu terlontar terus menerus mengingat aku sekarang bukan
anak kecil lagi yang harus selalu diingatkan. Dan sekarang aku kangen dengan
pertanyaan itu.
Wanita separuh baya yang terkadang menjadi pembicaraan keluargaku.
Wanita super yang jarang mangkel ketika teguran dari keluargaku
terlontar. Wanita hebat yang bisa diandalkan dalam keluargaku. Wanita yang
rajin mengunjungi alam mimpiku sampai sekarang.
Mbak, terima kasih untuk sewindu yang mbak berikan pada keluargaku. terima kasih
untuk semua pengorbanan dan pengabdian mbak yang nggak bisa aku
sebut satu persatu disini. Terima kasih telah menjadi bagian dari
keluargaku, Terima kasih telah merawat gadis yang nakal ini mulai dari ia berseragam merah
putih sampai ia masuk ke bangku kuliah sekarang. Terima kasih buat
kesabarannya, sewindu bersama dalam keluargaku, Mbak nggak pernah sekalipun
memarahiku. Terima kasih tak terhingga.
Mbak, maaf untuk segala salahku dan keluargaku ke mbak.
Maaf untuk detik-detik terakhir sewindu mbak yang luput dari perhatianku. Itu
adalah penyesalan terbesarku.
Tuhan, mbak ini orang yang baik. Maafkan segala kesalahan mbakku
ini, berilah ia tempat terbaik di sisiMu. Engkau tau apa yang aku keluhkan dan
apa yang aku sesalkan.
Tuhan, aku kangen mbakku ini, sampaikan salam kangenku pada mbak.
biarkan ia tetap rajin berkunjung dalam mimpiku, karena itu satu-satunya cara
aku dapat bertemu dengannya.
Tuhan, terima kasih telah menghadirkan mbak
dalam keluargaku, ia akan selalu dapat tempat tersendiri dalam hidupku dan
keluargaku.
0 komentar:
Posting Komentar