Aku tak pernah berusaha memperpendek jarak yang terbentang antara aku dan kamu. Bukan karena tak punya keinginan. Sebenarnya sangat ingin tapi aku sadar, terkadang keinginan tak selalu sebanding dengan kebahagiaan yang diharapkan. Jadi aku memutuskan membiarkan jarak di antara kita.
Aku membungkam sendiri ingatanku, mengobrak-ngabrik semuanya dan menjadikan mereka hal yang tak sepatunya untuk diingat. Kamu tau? Ketika hati dan pikiran berlawanan, aku mengacuhkan semuanya dan lebih memilih untuk menuruti egoku saja.
Jika waktu bersedia kembali untukku, aku tak akan mengindahkannya. Aku lebih suka membiarkan apa yang terjadi saat ini. Mengkotak-kotakkan apa yang aku rasa dan menatanya pada tempat yang tersedia.
Jika suatu hari kita bertemu pada satu titik persimpangan, silahkan lanjutkan jalanmu. Aku rasa kita ditakdirkan hanya untuk sekedar bertemu, bukan untuk berjalan bersama. Rasanya jika memaksakan berjalan denganmu dunia yang aku harapkan tak akan pernah terjadi. Kadang terbesit pikiran bahwa setiap orang berhak untuk bahagia, tapi mengharapkan bahagia denganmu sepertinya hanya angan-angan belaka. Tertawa bersamamu seolah hanya sebuah mimpi yang tak terealisasi dalam nyata. Aku beranggapan bahwa kedekatan seseorang dengan seorang lainnya dapat terlihat ketika mereka sedang berdua, dan lihatlah kita yang seperti ini, diam dengan pikiran masing-masing. Aku tersenyum getir dengan anggapanku sendiri.
Kupikir kita memiliki dunia yang sama, mimpi dan kesukaan yang sejalan tapi nyatanya kita ibarat kutub utara dengan kutub utara. Kita memang searah, tapi tak ada yang bisa menerima.
Ketika sekarang harapanku sudah menua, ringkih dan menjadi rentah yang artinya aku harus berhenti dan menerima apa yang ada. Aku tak pernah menyalahkan keadaan untuk yang terjadi sekarang. Aku selalu menganggapmu sebagai pelajaran berharga yang tak tertutur oleh kata-kata, yang tak terangkum dalam potongan kalimat sang pujangga ataupun tuturan bijak seorang Maha Guru.
Rasanya aku sudah kehabisan kata untuk menenggak apa yang aku rasa. Sekali lagi aku ucapkan terima kasih. Semoga kamu menua dengan orang yang tepat.
Jika suatu hari kita bertemu pada satu titik persimpangan, silahkan lanjutkan jalanmu. Aku rasa kita ditakdirkan hanya untuk sekedar bertemu, bukan untuk berjalan bersama. Rasanya jika memaksakan berjalan denganmu dunia yang aku harapkan tak akan pernah terjadi. Kadang terbesit pikiran bahwa setiap orang berhak untuk bahagia, tapi mengharapkan bahagia denganmu sepertinya hanya angan-angan belaka. Tertawa bersamamu seolah hanya sebuah mimpi yang tak terealisasi dalam nyata. Aku beranggapan bahwa kedekatan seseorang dengan seorang lainnya dapat terlihat ketika mereka sedang berdua, dan lihatlah kita yang seperti ini, diam dengan pikiran masing-masing. Aku tersenyum getir dengan anggapanku sendiri.
Kupikir kita memiliki dunia yang sama, mimpi dan kesukaan yang sejalan tapi nyatanya kita ibarat kutub utara dengan kutub utara. Kita memang searah, tapi tak ada yang bisa menerima.
Ketika sekarang harapanku sudah menua, ringkih dan menjadi rentah yang artinya aku harus berhenti dan menerima apa yang ada. Aku tak pernah menyalahkan keadaan untuk yang terjadi sekarang. Aku selalu menganggapmu sebagai pelajaran berharga yang tak tertutur oleh kata-kata, yang tak terangkum dalam potongan kalimat sang pujangga ataupun tuturan bijak seorang Maha Guru.
Rasanya aku sudah kehabisan kata untuk menenggak apa yang aku rasa. Sekali lagi aku ucapkan terima kasih. Semoga kamu menua dengan orang yang tepat.
Salam,
Jarak Usang
2 komentar:
iki koyok dudu tulisan sampean mbak ngek
terus tulisane sopo? blogku dihack? :p
Posting Komentar