Aku bersin sedari tadi melawan penyakitku sendiri, alergi debu, demi tertatanya kamar baruku. Entah sudah berapa jam aku berkutat dengan tumpukan kardus dan barang-barang berserakan. Tinggal sedikit lagi semuanya selesai.
Kriiinnggg..
Telpon genggamku berbunyi. Kulihat tertera nama Ibu pada layarnya.
"Halo..", sapaku.
"Halo May. Gimana di sana, Nduk? Sudah makan?", tanya ibuku.
Selalu pertanyaan itu yang mengawali, pikirku.
"Baik, Bu. Belum, masih beres-beres. Kurang sedikit lagi selesai. Ibu lagi apa?"
"Kalo sudah selesai, ndang beli makan biar nggak lemes. Ini lagi nonton tv. Ada yang kurang, Nduk? Apa Ibu perlu ke sana buat bantu kamu?"
"Nggeh Bu, Untuk sementara ini belum ada Bu. Nggak perlu Bu, Ibu di rumah saja. Lagian belum musim libur juga. Ibu nggak perlu khawatir kan Maya sudah besar bu. Hihihi. Ibu nonton tv sama Ayah?"
"Ya udah kalo gitu. Nggak, Nduk. Ayahmu ada walimah di rumah temannya. Jadi ibu sendirian. Kamu baik-baik ya di sana. Jaga diri. Jangan lupa makan."
"Nggeh Bu, siap."
"Ya udah kalo gitu, teruskan aktivitasmu."
"Nggeh, Bu."
Aku tersenyum sambil mematikan sambungan telpon dengan ibu. Ibu selalu begitu. Mengkhawatirkan anak-anaknya. Aku memaklumi karena Ayah dan Ibu sekarang hanya tinggal berdua. Masku sudah berumah tangga dan tinggal di kota sebelah bersama istrinya. Dan aku masih melanjutkan studiku di tengah pulau Jawa. Tiba-tiba kangen rumah.
***
Kuedarkan pandanganku. Kamar baruku ukuran 3x3. Tidak terlalu luas memang, tapi setidaknya di sini lebih nyaman dari kos kemarin. Pandanganku terhenti pada meja kamarku. Di sana ada beberapa pigura tertata. Aku melangkah ke arah meja. Mengambil salah satunya. Ada sebuah foto yang menarik hatiku.
Dalam pigura ukuran 3R itu terdapat fotoku dan beberapa teman SMAku. Aku bertemu mereka dua bulan lalu saat libur panjang. Bisa dibilang kami mengadakan reuni saat itu. Dalam foto yang kupegang, terdapat dua barisan yang dibuat teman-teman. Baris yang berdiri adalah barisan laki-laki dan yang duduk adalah barisan perempuan. Kami berfoto di sebuah tempat makan lesehan. Seperti biasa, ngumpul-ngumpul tanpa makan itu bagai teh tanpa gula. Aku berada dipojok kanan memegang pundak teman sebangkuku yang saat itu tepat berada di sebelah kiriku sambil tersenyum. Aku melihat mereka satu per satu sampai aku terhenti pada sosok laki-laki yang berada tepat di atasku. Sosok laki-laki berambut cepak, berkulit sawo matang, dengan tinggi rata-rata laki-laki pada umumnya, dan memasang wajah sumringah saat itu. Namanya Arif, Arif Wicaksono. Pikiranku kembali ke masa itu.
Sehari setelah reuni berlangsung kudapati sebuah pesan dalam Facebookku. Arif? Tumben, pikirku.
May?
Iya, Rif. Ada apa?
Tinggal di mana kamu sekarang?
Di Jogja, Rif.
Kamu di mana sekarang?
Aku kerja di Surabaya May. Nggak jauh-jauh. hehe.Kamu di mana sekarang?
Kamu di sana sama suamimu ta?
Hey! Ngawur. Kapan aku nikah?
Haha.. ya mungkin May.Lha liat sendiri kemarin temen-temen kita rata-rata
udah pada nikah jadi banyak yang nggak bisa dateng.
Yang datengpun udah pada lamaran.
Lha aku kan dateng Rif.
Berarti aku belum nikah kan?
Udah lamaran berarti?
Belum juga. hahaha..
Kapan lamaran May?
Nunggu Rif.
Nunggu Apa?Emang anak mana?
Nggak tau.
Lha ko' nggak tau?
Hanya Allah yang tau.
Bilang aja jomblo May,
susah amat. hahaha..
Dasar. Lha kamu kapan nikah Rif?
Bentar lagi May. Do'ain ya.
Hwee.. selamat-selamat.
Undang-undang lho Rif.
Beres
Anak mana?
Deket rumah May :D
Enak dong.
Haha,, begitulah.
Kamu di rumah sampai kapan?
Dua minggu lagi sebenernya.
Tapi Minggu mau balik ke Jogja bentar
buat KRSan.
Lha kamu masih kuliah toh?
Iya Rif lanjut S2.
Ya udah kalo gitu.
Aku mau off dulu.
Oke
Percakapan terhenti. Dan aku masih heran. Walau kami sekelas, tapi kami hanya bercakap seperlunya saja karena aliran kami berbeda. Reuni kemarin kami hanya bertegur sapa. Entahlah, akupun kembali ke Jogja untuk KRSan beberapa hari. Sesampainya di rumah aku makan sambil menonton tv.
"May."
Aku menoleh ke Ayah.
"Temenmu ada yang namanya Arif?"
"Iya Yah. Kok Ayah tau?"
"Kemarin dia ke sini."
"Ngapain?", aku agak terkejut.
"Dia minta kamu ke Ayah."
Uhuk.. Uhuk.
Aku tersedak mendengar ucapan Ayah.
"Hati-hati dong kalau makan, Nduk. Sudah, habiskan dulu makananmu. Nanti baru dilanjutkan ngobrolnya."
"Iya, Yah."
Aku melahap cepat makananku. Penasaran dengan perkataan Ayah. Setelah itu aku langsung menghampiri ayah.
"Yah, ceritanya gimana?"
"Waktu itu, setelah Ayah sama Ibu nganter kamu ke stasiun, ada yang ketuk-ketuk pintu rumah. Ternyata anak laki-laki. Dia memperkenalkan diri, namanya Arif teman SMAmu. Ya Ayah bilang kalau kamu nggak ada. Tapi ternyata dia malah jawab kalo dia nggak nyari kamu tapi nyari Ayah."
"Terus, Yah?"
"Ya dia bilang, kalau kedatangannya ke sini mau ngelamar kamu, Jadi dia minta izin dulu ke Ayah. itu katanya. Ya Ayah agak kaget juga. Kamu nggak pernah cerita apa-apa tapi tiba-tiba ada laki-laki datang ke Ayah mau minta kamu. Akhirnya Ayah tanya dia siapa, latar belakangnya gimana, banyak lah. Sampai akhirnya Ayah bilang. Kalau Ayah terserah Maya, kalau Maya setuju ya Ayah sama Ibu cuma bisa ngedo'ain dan ngasih restu. Dan Arifnya bilang kalo sebenernya kedatangan dia ke sini kamu nggak tahu apa-apa. Dia datang atas inisiatifnya sendiri. Kalau Ayah memperbolehkan dia bakal datang ke sini lagi buat nemuin kamu. Tapi kalo nggak ya dia bakal stop sampai di sini karena tujuan dia ke sini minta izin dulu ke Ayah sebagai walimu."
"Terus Ayah jawab apa?"
"Setelah Ayah ngobrol sama Arif, sepertinya dia anak baik, Nduk. Lha caranya seperti ini aja sudah ngasih nilai plus di mata Ayah. Sekarang tinggal kamu saja yang memutuskan. Dia temanmu kan? Setidaknya kamu tau dia bagaimana. Dia bilang ke Ayah mungkin hari Sabtu dia mau ke sini."
"Iya, Yah"
Setelah percakapan dengan Ayah, pikiranku kacau. Banyak pertanyaan yang membuatku bingung. Mau kirim pesan ke Arif, tapi dia sepertinya adem ayem aja. Akhirnya kuurungkan.
***
Dan tibalah hari Sabtu. Aku semakin gelisah. Tak tau jam berapa dia datang. Aku sudah beberapa kali tanya ke Ayah tapi Ayah tetap dengan jawaban yang sama, Ayah tidak tau.
Sampai pada akhirnya.
Tok tok tok,
Aku hampir terlonjak karena kaget.
"Tuh May, buka gih.", kata Ayah.
"Nggak ah, Ayah saja."
"Lha yang dari tadi tanya jam berapa dia ke sini siapa?", Ayah setengah menggodaku.
Aku memasang wajah cemberut.
"Iya deh Ayah yang buka."
Ayah bergegas membuka pintu.
Terdengar samar-samar suara Ayah.
"Masuk Le, sudah ditunggu daritadi."
Aku menepuk jidat.
Ayah bercakap dengan Arif. Entah apa yang dibicarakan aku tak bisa mendengarnya.
"Nduk, sini!", tiba-tiba Ayah memanggilku.
Jantungku berdegup kencang rasanya mau copot. Perasaan kemaren waktu reuni biasa aja kenapa sekarang seperti ini?
Aku mengampiri Ayah dan duduk di sebelah Ayah. Arif memandangku sekilas dan tersenyum. Aku membalasnya dengan senyum canggung.
"Nah, Ayah tinggal ke belakang dulu ya. Biar kalian bisa ngobrol."
"Nggeh, Pak.", hanya Arif yang menjawab. Aku cuma terdiam.
Keadaan hening pada detik berikutnya. Tidak ada yang membuka percakapan. Aku semakin kikuk.
Aku hanya memandang meja, bayangan Arif terpantul di sana, dia memandangku. Sial. Apa yang harus aku lakukan? Pertanyaan-pertanyaan yang hinggap di kepalaku serasa menguap oleh perasaan gugupku sendiri. Pingin lari rasanya.
"Kamu masih tetep ya?", katanya sembari tersenyum. Aku sedikit lega karena dia lebih dulu membuka obrolan.
"Tetep apanya?", aku memasang wajah bingung.
"Diem, seperti dulu."
Aku hanya tersenyum.
Kami memang berbeda. Kata orang, aku adalah seorang yang pendiam. Sebenarnya bukan seperti itu. Aku hanya perlu waktu adaptasi untuk bisa 'bicara' dengan orang yang baru aku kenal. Ya bisa dibilang aku sulit beradaptasi dengan lingkungan baru. Dan hanya beberapa orang yang bisa akrab denganku. Tidak seperti dia yang bisa membawa diri dan hiperaktif waktu sekolah dulu.
"Aku bingung.", kataku.
"Bingung kenapa?"
"Bukannya kamu bilang akan menikah?"
"Iya benar."
"Terus kenapa kamu ke sini menemui Ayah dan bilang bahwa kamu mau melamar aku?"
"Karena wanita yang akan dan ingin aku nikahi adalah kamu."
Lidahku keluh. Pikiranku terbang saat kami chating di Facebook.
"Kamu nggak keliru?"
"Nggak, sama sekali nggak.", jawabnya tegas.
"Kenapa? Aku sama kamu seperti langit sama bumi. Kamu yang bisa membawa diri, kamu dengan kepercayaan diri yang tinggi dan kamu yang menurutku mempunyai selera tinggi apa nggak salah memilih orang yang miskin kosakata dan dingin seperti aku?"
Dia tersenyum.
"Apa kamu sadar kalau kita masih berpijak di bumi yang sama? Oke, aku akan membuat sebuah pengakuan."
Arif membenarkan posisi duduknya.
"Aku mengenalmu bukan sehari dua hari. Kita pernah satu kelas saat kelas 3. Kamu bagiku unik. Di kelas miskin kosakata seperti katamu, tapi kalo di dunia maya selalu pasang status dengan kata-kata yang nggak biasa. Sebenarnya sedari dulu aku memperhatikanmu, tapi karena kamu terlalu pendiam, aku jadi mengurungkan niatku. Aku juga pernah berpikir bagaimana jadinya kalau nanti aku menjalin hubungan denganmu? Bisa jadi aku yang banyak cerita, atau bisa jadi pula kita yang sama-sama diam. Tapi lambat laun aku sadar bahwa diammu nggak mutlak. Kamu masih bisa bercanda, tertawa dan berbagi cerita dengan orang lain. Seperti Dian, teman sebangkumu, Raya, dan Doni. Dan ketertarikanku memuncak pada malam itu. Kamu ingat waktu kita kerja kelompok di rumah Adi sampai maghrib?"
Aku mengingatnya sebentar.
"Iya, aku ingat. Kenapa?"
"Saat itu hujan, dan kerja kelompok sudah selesai. Kamu dan Dian entah berbicara apa aku tak tau. Dan aku bertanya pada kalian,
"Nggak pulang?"
"Bentar nunggu hujan reda." jawabmu.
"Kenapa?"
"Ini si Dian kan motornya rusak. Lha dia tadi ke sekolah naik becak. Kalo dia pulang sekarang, susah. Pangkalan becak diujung sana, sedangkan dia nggak bawa payung. Pinjem payung ke Adipun hujan kayak gini. Di depan genangan air di mana-mana, takutnya kalo ada lubang dia nggak tau. Sepatunya tinggal satu. Yang satunya kemarin kehujanan. Jadi ya mending nunggu terang."
"Lha kan ada Adi, tinggal minta tolong anter pulang aja pakek jas hujan. Terus itu sepatu dikresekin. Kan beres.", jawabku saat itu.
"Hehe.. sungkan Rif, udah ngerepotin Adi. Kita tadi aja udah dikasih makan segala macem masak ya disuruh nganter aku pulang?", jawab Dian.
"Ya elah, repot amat kalian berdua. Ya udah, biar Dian aku anter sampek rumahnya. Terus kamu sekarang pulang, keburu malem. Berani kan pulang sendiri?"
"Ya berani, biasanya juga pulang sendiri. Tinggal nyegat angkot aja dari sini."
"Dari kejadian itu aku berpikir bahwa kamu adalah orang yang perhatian dan itu menambah ketertarikanku. Apa kamu tau? Apa yang sebenernya ingin aku lakukan saat itu?"
"Apa?", tanyaku.
"Saat itu aku hendak menawarkan tumpangan untukmu. Karena aku tau rumahmu adalah rumah terjauh diantara kita. Tapi niat itu urung karena kejadian itu. Setelah kejadian itu, aku semakin tidak tau bagaimana mencari celah untuk bisa mendekatimu. Dan sampai akhirnya aku menyerah. Aku berpikir mungkin kamu hanya dihadirkan sebagai teman sekelasku."
Arif berhenti sejenak, dia meminum air mineral yang diberikan Ayah, kemudian melanjutkan ceritanya.
"Perasaanku pelan-pelan sudah tidak bergejolak karena kesibukan kita menghadapi ujian ditambah lagi jarak kita yang semakin jauh. Aku tau kamu diterima di perguruan tinggi di Bandung sedangkan aku harus menempuh studiku di Surabaya. Kita terpisah, lost kontak sampai acara kemarin. Jujur aku agak terkejut melihat kedatanganmu. Ternyata aku masih memandangmu dengan perasaan yang sama. Tapi lagi-lagi aku tidak dapat mencari celah, hehe. Malang ya nasibku?"
Aku ikut tersenyum mendengarnya.
"Tapi ada satu cara yang setidaknya bisa membuatku sedikit bahagia."
"Oh ya, apa itu?"
"Waktu kita foto bersama, aku berusaha tepat di atasmu. Itu bukan sebuah kebetulan, tapi tak-tikku. Aku menuju barisan paling akhir pura-pura masih menghabiskan minum, padahal aku ingin melihat posisimu ada di mana. Ternyata dipojokan, hal itu lebih memudahkanku karena saat itu yang hadir juga tidak seberapa."
"Terus, apa yang membuatmu sampai ke sini?"
"Hmm.. sehabis acara reuni itu aku berpikir keras. Bagaimana cara mendekatimu. Aku takut kamu sudah punya pendamping hidup. Akhirnya aku putuskan untuk memberanikan diri mengirimmu pesan via Facebook. Eh, ternyata kamu pas online. Ya sudah terjadilah percakapan seperti kemarin. Aku jadi semakin yakin dan akhirnya aku datang ke sini."
"Kamu dapet alamat rumahku dari mana? Bukannya sebelumnya kamu belum pernah ke sini?"
"Kamu lupa ya kalau kita punya album kenangan? haha.."
"Oh iya ya."
"Jadi gimana?"
"Apanya?"
"Ya permintaanku ke Ayahmu? Kata Ayahmu aku disuruh tanya kamu langsung?"
"Aku boleh minta waktu nggak buat jawab ini? Ini semua terasa begitu tiba-tiba buatku."
"Nggak. Aku maunya sekarang. Aku mau kamu jawab dari kamu sendiri. Aku nggak mau kalo aku ngasih waktu akan ada banyak faktor yang mempengaruhi jawabanmu, entah itu internal atau eksternal. Kalo kamu mengijinkan aku menjadi bagian hidupmu, aku akan mempersiapkan diri mulai dari sekarang. kalo memang kamu menolak, aku akan menerimanya. Aku nggak apa-apa."
Aku terdiam, berpikir sejenak. Memejamkan mata sejenak.
"Rif..."
"Ya?"
"Aku harap kamu nggak menyesal dengan apa yang kamu perbuat seperti ini. Dan aku memberimu kesempatan buat jadi bagian dari hidupku."
Matanya terbelalak, senyumnya mengembang dan sepertinya dia kehabisan kata.
"A..a..a..ku boleh numpang ke kamar mandi May?"
"Iya, kamu masuk aja. Nanti belok kiri. Kamar mandinya dipojok sebelah kanan."
Dia bergegas dan sedikit salah tingkah.
Aku hanya tersenyum. Semoga pilihanku tidak salah.
Tak berapa lama dia kembali ke ruang tamu. Kulihat dia mengusap sudut matanya kemudian kembali duduk.
"Aku speechless.", katanya.
"Kenapa harus speechless?"
"Aku masih nggak percaya."
"Berarti kita seri?"
"Maksudnya?"
"Kita sama-sama nggak percaya dengan apa yang lawan bicara kita lakukan, haha.."
"Haha.. iya betul. Makasih ya May. Aku nggak bisa menjanjikan apa-apa ke kamu. Mungkin hubungan kita tidak seperti yang lain. Aku mengharap komitmen dari kamu. Kita akan terpisah oleh jarak demi kehidupan yang lebih baik. Aku akan mempersiapkan diriku untuk kehidupan kita mendatang. Mungkin aku nggak bakal sering-sering menghubungimu, aku harap kamu mengerti dengan rutinitasku. Aku akan mengambil banyak lembur. Jika aku rasa waktunya sudah tepat, aku akan kembali ke sini, as soon as possible."
"Baiklah, jika itu maumu. Tapi jangan pernah lagi ngelakuin hal semacam ini ya! Bikin jantungan anak orang."
"Surprise itu perlu dilakukan, May. hahaha.. Tapi boleh ku tanya satu hal?"
"Baiklah, jika itu maumu. Tapi jangan pernah lagi ngelakuin hal semacam ini ya! Bikin jantungan anak orang."
"Surprise itu perlu dilakukan, May. hahaha.. Tapi boleh ku tanya satu hal?"
"Dasar. Mau tanya apa?."
"Apa yang membuatmu mengijinkanku bersamamu?"
"Mau tau?"
"Iyaaa.."
"Caramu. Aku suka caramu memperlakukanku. Kamu tau apa yang harus kamu lakukan dan kamu berjuang untuk itu. Aku tau, pasti membutuhkan nyali yang besar untuk bisa sampai ke sini dan itu tidak mudah. Kamu mengawali semua ini dengan cara yang baik. Karena itu, apakah aku punya alasan untuk menghalangi niat baikmu? Tidak ada."
Arif tersenyum menatapku.
"Minta tolong panggil Ayah bisa?"
"Iya, tunggu sebentar ya?"
Aku beranjak memanggil Ayah. Setelah itu kami bertiga berbincang. Arif mengutarakan niatnya untuk membawa orang tuanya besok. Sekedar untuk memperkenalkanku pada orang tuanya. Dia bilang kalo ini adalah acara informal. Acara formalnya nanti setelah semuanya siap.
Esoknya semua berjalan sesuai rencana. Aku masih merasa ini sebuah mimpi.
***
Ting..
Sebuah pesan masuk di telpon genggamku, membuyarkan semua lamunanku.
Kubuka dan kubaca. Aku tersenyum membacanya. Pesan dari Arif.
'Satu bulan dari sekarang, bersiaplah. Aku akan kembali ke rumahmu.'
0 komentar:
Posting Komentar