Pagi yang dingin ini aku menyeduh teh hangat. Sendirian di teras rumah yang lengang. Kudapati bapak dan ibuku akan berangkat kerja. Aku mencium tangan mereka.
"Hari ini mau ke mana?", tanya bapak.
Aku tersenyum dan mengangkat bahu.
Aku terduduk setelahnya. Biasanya tanpa ditanya aku akan menceritakan akan ke mana saja aku pergi. Dulu, setidaknya aku selalu punya jawaban untuk pertanyaan semacam ini. Nyatanya sekarang aku cuma duduk di rumah tanpa rencana apapun. Aku berada pada masa di mana teman-temanku sudah menemukan hidup mereka sendiri. Seiring berjalannya waktu aku menyadari bahwa tak ada yang abadi dan itu berlaku dalam kebersamaan pertemanan kami. Dari sini aku belajar bahwa pertemanan mempunyai fase. Kami dipertemukan dalam perkenalan yang unik. Tak selalu diawali dengan jabat tangan dan ucapan "kenalkan namaku Erma". Kadang percakapan ringan atau masalah PR adalah bagian dari perkenalan kami waktu itu. Seiring berjalannya waktu, pertemanan kami semakin erat dan kami dengan semangat empat lima merencanakan banyak hal untuk dilakukan bahkan untuk hal yang tak terduga sekalipun. Mulai yang hanya duduk-duduk tidak jelas sampai rencana melancong ke berbagai tempat.
Dan sampailah aku pada fase ini.
"Aku mau cerita, Aku akan menikah.",
"Aku diterima kerja di Jakarta."
Pernyataan semacam itu yang akhir-akhir ini hinggap di telinga. Antara senang dan bingung setelahnya. Bingung seperti ini. Terbiasa bersama mereka dan tiba-tiba mereka menghilang. Yang bisa dilakukan cuma menghela nafas. Aku menyadari bahwa mereka juga punya mimpi. Berpisah bukan berarti tidak akan pernah bertemu lagi kan? Ini hanya masalah jarak. Saat waktu berpihak, jarak tidak akan punya arti. Aku yang sedari tadi sibuk dengan lamunanku masih mencoba menerima. Menerima bahwa pertemanan adalah bagian dari pelajaran hidupku. Selama fase ini aku juga paham bahwa dalam pertemanan sering berlaku kejadian sedetik lalu berselisih paham, sedetik kemudian bergelak tawa.
Jika aku mengingat kembali masa kebersamaan kami, yang terlintas adalah kami pernah sama-sama menjadi gila dan kemudian tergelak setelahnya. Kami pernah dirundung lara dan saling menopang kemudian.
0 komentar:
Posting Komentar